Ketika seorang muslim dihadapi kondisi genting di tengah-tengah pengamalan salatnya, apa yang harus dilakukan? Kondisi genting yang dimaksud adalah kondisi bencana alam seperti gempa, banjir, dan sebagainya.
Menurut Syeikh Izzuddin Abdus Salam dalam Kitab Qawaidul Ahkam, membatalkan salat adalah hal utama yang dilakukan saat terjadi bencana alam. Sebab, ada kekhawatiran bangunan masjid atau rumah hancur hingga mencelakai diri sendiri saat melanjutkan salat.
Di samping itu. Syeikh Izzuddin Abdus Salam berpendapat, mendahulukan nyawa orang lain itu lebih baik di sisi Allah SWT ketimbang tetap melanjutkan salat. Keterangan ini juga didasarkan oleh salah satu firman-Nya dalam surah Al Baqarah ayat 195,
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: Berinfaklah di jalan Allah, janganlah jerumuskan dirimu ke dalam kebinasaan, dan berbuatbaiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Selain itu, dalam salah satu riwayat, Rasulullah SAW pernah bersabda,
لَا ضَرَرَ وَلا ضِرَارَ
Artinya: Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan (untuk orang lain). (HR Ahmad dan Ibnu Majah)
Melansir dari laman Islam Q&A, melanjutkan salat padahal masih mengkhawatirkan keselamatan dan nyawa orang yang hendak ditolong adalah perkara yang tidak dibolehkan. Lebih lanjut, orang yang bersangkutan bisa berdosa bila tetap meneruskan salatnya hingga terkena musibah tersebut karena dianggap tergolong sebagai orang yang menceburkan diri dalam kebinasaan.
Keterangan ini dilandasi dari Kitab Kasyfy Al Qana yang menyebutkan kewajiban seorang muslim untuk menyelamatkan nyawa orang lain bila memungkinkan dalam situasi musibah seperti kebakaran dan lainnya. Perkara meninggalkan salatnya adalah perkara yang diutamakan sekalipun waktu salatnya sempit.
"Hendaknya ia menghentikan shalatnya disebabkan kejadian tersebut, baik saat shalat fardhu maupun shalat sunnah, dan secara dzahir meskipun waktunya sempit; karena ia masih bisa mengejarnya dengan cara mengqadha', berbeda dengan orang yang tenggelam dan yang serupa dengannya," demikian penjelasan dari kitab tersebut.
Ditambah lagi, Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi--kini menjabat sebagai wakil menteri agama--mengatakan, seorang muslim diwajibkan membatalkan salatnya agar selamat dari bahaya. Menurutnya, hal itu sudah termaktub dalam fatwa dari sebagian besar ulama terkait keadaan yang membolekan untuk membatalkan salat.
"Saat menolong yang sedang kena musibah, menyelamatkan yang tenggelam, gempa, memadamkan api, atau membatalkan salat karena untuk menyelamatkan anak kecil atau orang buta yang akan tercebur sumur atau kobaran api," kata Zainut, dikutip dari arsip detikcom, Kamis (9/2/2023).
Berdasarkan penuturan Zainut, secara garis besar, ada tiga hal yang membolehkan seseorang membatalkan salatnya sesuai dengan kesepakatan ulama. Tiga hal yang dimaksud adalah kekhawatiran terhadap keselamatan diri sendiri, misalnya karena ada serangan manusia atau binatang atau karena gempa, atau bencana lainnya.
Lalu, kekhawatiran terhadap keselamatan harta, misalnya ada orang yang mengambil barang kita dan juga saat kondisi menyelamatkan orang lain yang butuh pertolongan segera. Misalnya, seorang dokter diminta melakukan tindakan darurat terhadap pasien.
"Jadi pada prinsipnya orang tidak boleh membatalkan salat, kecuali karena ada uzur syari, yaitu berkaitan dengan keselamatan diri sendiri, harta, atau orang lain, dan terkait kekhusyukan salat, seperti membatalkan salat karena keinginan untuk buang hajat atau berhadas," tandasnya.
(rah/lus)
Komentar Terbanyak
MUI Kecam Rencana Israel Ambil Alih Masjid Al Ibrahimi di Hebron
Pengumuman! BP Haji Buka Lowongan, Rekrut Banyak SDM untuk Persiapan Haji 2026
Merapat! Lowongan di BP Haji Bisa untuk Nonmuslim