Jumhur ulama menyatakan waktu terlarang untuk tersebut hanya berlaku bagi salat sunnah mutlak saja. Sebaliknya, waktu terlarang tersebut tidak berlaku bila salatnya dikerjakan karena sebab tertentu seperti menyalati jenazah.
Alasan dari larangan mendirikan salat pada ketiga waktu yang telah disebutkan karena ketiga waktu tersebut dianggap menyerupai ibadah orang-orang yang menyembah matahari. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda,
فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ، ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ، عَنِ الصَّلَاةِ فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ، فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ، عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
Artinya: "Sesungguhnya matahari terbit bersamaan dengan tanduk setan, apabila telah naik ke atas, tanduk setan meninggalkannya, kemudian apabila matahari telah berada di tengah-tengah langit, tanduk setan muncul lagi bersamanya. apabila matahari telah bergeser, tanduk setan meninggalkannya, kemudian apabila matahari akan terbenam, tanduk setan muncul lagi bersamanya, apabila matahari telah terbenam, tanduk setan meninggalkannya." (HR Muslim)
3 Waktu Terlarang untuk Salat Menurut Rasulullah SAW
Menurut Dr. Abdul Qadir Muhammad Manshur dalam buku Panduan Shalat an-Nisaa Menurut Empat Mazhab, waktu terlarang pertama untuk menunaikan salat adalah matahari terbit hingga meninggi. Dalam artian, matahari terbit sampai setinggi tombak atau dua tombak dalam pandangan mata sebagaimana disetujui oleh pendapat Mazhab Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah.
Keterangan tersebut didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abi Said Al-Khudri RA. Berikut bunyi haditsnya.
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
Artinya: "Tidak ada salat setelah salat Subuh hingga matahari terbit. Dan tidak ada salat sesudah salat Ashar hingga matahari terbenam." (HR Bukhari dan Muslim)
Waktu yang kedua yakni saat matahari berada di tengah langit cakrawala hingga bergeser ke barat. Waktu inilah yang disebut dengan waktu istiwa' yakni matahari tepat berada di atas kepala.
Waktu ini terjadi sebelum matahari bergeser ke arah barat. Ketika matahari sudah sedikit bergeser artinya sudah memasuki waktu Dzuhur dan diperbolehkan untuk salat.
Lebih lanjut, waktu yang terakhir adalah ketika matahari telah menguning pada waktu sore sekitar mata tidak merasa lelah untuk melihatnya sampai waktu terbenam. Waktu ini terjadi saat langit di ufuk barat mulai berwarna kekuningan yang menandakan matahari akan segera terbenam. Apabila matahari sudah terbenam, artinya waktu sudah memasuki waktu Maghrib dan wajib bagi umat Islam untuk melaksanakan salat Maghrib.
Pada dasarnya, ketiga waktu terlarang tersebut terangkum dalam hadits yang diriwayatkan dari 'Ugbah bin 'Amir al Juhani RA. Berdasarkan hadits tersebut, Rasulullah SAW bersabda,
ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: «حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ
Artinya: "Ada 3 waktu salat yang Rasulullah SAW melarang kami untuk melakukan shalat dan menguburkan orang yang meninggal. (1) Ketika matahari terbit hingga meninggi, (2) ketika matahari tepat berada di tengah-tengah cakrawala hingga bergeser sedikit ke barat dan (3) ketika matahari berwarna kekuningan saat menjelang terbenam." (HR Muslim)
Simak Video "Viral Penumpang Salat di KRL, KCI Sebut Setiap Stasiun Sediakan Musala"
[Gambas:Video 20detik]
(kri/kri)
Komentar Terbanyak
Hukum Patung dalam Ajaran Islam, Boleh atau Tidak?
Setan Dibelenggu pada Bulan Ramadan Menurut Hadits, Benarkah Demikian?
Dukung Gus Yahya, Para Guru Besar Siap Globalkan Fikih Peradaban