Sengsara Membawa Bahagia

Sengsara Membawa Bahagia

Aunur Rofiq - detikHikmah
Jumat, 16 Des 2022 07:58 WIB
Poster
Foto: Edi Wahyono
Jakarta -

Kehidupan manusia tidak akan terlepas dari dua keadaan, bahagia dan sengsara. Seseorang kadang kala merasa bahagia dan kadang kala merasa sengsara. Saat naik posisi/jabatan perasaan bahagia sering menyertainya dan saat dapat hukuman sengsara menjadi temannya. Saat seseorang memenangkan kontestasi pilkada, maka ada dua kemungkinan :

1. Bahagia, karena amanah ini dia jadikan wasilah untuk menjadikan sejahtera para warganya. Perbuatan baik yang dilakukan merupakan perintah Allah Swt. yang dalam firman-Nya surah al-An'am ayat 160 yang berbunyi, " Barang siapa melakukan amalan baik, maka baginya ganjaran sepuluh kali lipat amal perbuatannya."
2. Menjadi sengsara, karena posisi atau jabatan yang diperoleh digunakan untuk kepentingan sendiri maupun kelompoknya bukan untuk kebaikan warganya. Menumpuk kekayaan diperoleh dari posisinya, kemewahan menjadi tujuan. Hal ini sering membuat dia lengah karena kemewahan yang fana, dan tragisnya berakhir berurusan dengan penegak hukum. Inilah kesengsaraan dunia sudah dia rasakan apalagi nanti saat perhitungan dengan Sang Pencipta.

Jika seseorang memiliki sifat kebaikan dan keikhlasan lebih dominan, maka kelak kesengsaraannya akan berubah menjadi kebahagiaan. Sifat yang diliputi hasrat nafsu pada dirinya akan berubah menjadi sifat ruhaniyah ( suci ). Sedangkan jika dia lebih memilih memperturutkan hawa nafsunya maka yang terjadi akan sebaliknya. Maka lakukan perbuatan amal baik dengan hanya karena-Nya, bukan karena makhluk maupun selain-Nya, sehingga akan menambah timbangan amal. Hal ini diperkuat firman-Nya surah al-Qari'ah ayat 6-7 yang berbunyi, " Dan adapun orang yang berat timbangan ( kebaikan ) nya, maka dia berada dalam kehidupan yang diridhai." Kandungan ayat ini adalah setiap orang yang banyak berbuat kebaikan maka kehidupannya akan memuaskan atau menyenangkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara orang yang amal buruknya lebih banyak daripada amal baiknya maka dia akan diazab sesuai kadar keburukannya. Jika seseorang bersalah dan bertobat, beramal saleh maka kesengsaraannya kelak akan diganti menjadi kebahagiaan. Kesengsaraan dan kebahagiaan pada hakikatnya sudah tertulis sejak zaman azali. Rasulullah Saw. bersabda," Orang yang bahagia telah ditakdirkan bahagia sejak dalam perut ibunya. Begitu pula orang yang sengsara juga telah ditakdirkan sengsara sejak dalam perut ibunya." ( H.R. Muslim ).

Takdir dan rahasianya merupakan kewenangan-Nya, sehingga kita dilarang untuk memikirkan rahasia takdir, agar tidak terpeleset dalam perbuatan zindik. Maka tidak diperbolehkan seseorang yang malas yang berdalih dengan takdir untuk tidak mengerjakan perbuatan baik. Pernah kita dengar seseorang berkata, " Kalau sejak zaman azali aku sudah ditakdirkan sengsara maka tak ada gunanya lagi beramal saleh. Dan bila aku ditakdirkan bahagia maka tak masalah kalau aku mengerjakan perbuatan buruk."
Terlihat jelas bahwa orang yang beralasan seperti itu adalah malas dan tidak ridha atas ketetapan-Nya.

ADVERTISEMENT

Seorang ulama bernama Asy-Syaqiq al-Balkhi berkata, " Tanda bahagia ( seseorang ) itu ada lima, antara lain memiliki hati yang lembut, banyak menangis, zuhud atas gemerlapnya dunia, tidak banyak angan-angan dan mempunyai rasa malu. Sebaliknya, tanda kesengsaraan seseorang juga ada lima, yaitu hati yang keras, sulit menangis, cibta dunia, panjang angan-angan dan rasa malu ( dalam dirinya ) yang sedikit."


Orang yang berlaku adil, jika berjanji menepatinya, berbicara jujur dan jika berdebat tidak mencaci maki. Inilah ciri orang yang bahagia. Sebaliknya ciri orang sengsara adalah, jika diberi amanah dia berkhianat, jika berjanji dia ingkar, jika berbicara dia bohong, dan jika berdebat dia mencaci maki orang-orang dan enggan memaafkannya. Padahal Allah Swt. telah menjamin seperti firman-Nya dalam surah asy-Syura ayat 40 yang berbunyi, " Barang siapa memaafkan dan berbuat baik ( kepada orang yang berbuat jahat ), maka pahalanya dari Allah."

Agar lebih " mendalam " memahami sengsara dan bahagia, penulis bersenandung, "
Ruhani manusia terbagi dua, ada bahagia dan ada duka.

Jika kebaikan dan keikhlasan mendominasi, kelak kesengsaraan akan berubah kebahagiaan.

Bukan cemas, keluh kesah, gelisah, kehilangan kesabaran dan jauh dari tawakal serta berprilaku buruk.

Keikhlasan dan kesabaran akan menuntun dan merubah nafsu menjadi sifat ruhaniyah.

Janganlah mempertuhan hawa nafsu, kau seakan selalu kekurangan, karena tamak menjadi sahabatmu.

Keseimbangan kebahagiaan dan kesengsaraan, maka berharaplah pada kebaikan.

" Barang siapa melakukan amalan baik, maka baginya ganjaran sepuluh kali lipat amal perbuatannya." ( QS. al-An'am : 160 ).

Jika amal baiknya berat timbangan, ia akan bahagia. Jika amal buruknya mendominasi, ia akan sengsara.

Orang yang bahagia terkadang sengsara dan orang yang sengsara terkadang bahagia.

Ingatlah, " Sesungguhnya hukuman yang paling menyiksa adalah menuntut apa yang tidak ditetapkan untuk kita." ( Syekh Abdul Qodir Al-Jailani ).

Ada kalanya musibah dan kesulitan ditimpakan, agar terhindar dari keburukan yang lebih besar.

Karena kesenangan dan kelapangan membuatnya celaka, sedangkan musibah dan kesulitan menuntunnya menuju keselamatan.

Dicabutnya nikmat dan kelapangan oleh Allah Swt. menjadi karunia, hukuman yang ditimpakan-Nya menjadi rahmat, dan musibah dari-Nya menjadi obat.

Yakinlah akan janji-Nya, berbuat baik akan dibalas lebih. Syukur atas nikmat, akan bertambahnya nikmat itu. Seluruh perbuatan-Nya adalah hak-Nya. Ridha adalah sikap bijak.

Dengan ikhlas dan sabar serta ridha atas ketetapan-Nya, jadilah hamba yang tenang di hati.

Untuk menjadikan sengsara menjadi bahagia maka milikilah sifat, ikhlas, ridha dan memaafkan. Ikhtiar adalah keniscayaan yang harus dikerjakan. Semoga Allah Swt. memberikan rahmat dari sisi-Nya dan menyempurnakan petunjuk lurus-Nya untuk kehidupan manusia.




(erd/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads