Hukum pernikahan beda agama bagi seorang muslim adalah haram. Hal ini ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an dan juga hadits.
Pernikahan beda agama telah terjadi sejak lama, bahkan sebelum zaman Rasulullah SAW pun telah berlangsung pernikahan beda agama. Beberapa kisah pernikahan beda agama juga dicatat dalam beberapa ayat Al-Qur'an.
Sebut saja dalam kisah pernikahan Nabi Nuh dan Nabi Luth, keduanya merupakan sosok muslimin yang taat kepada Allah SWT namun masing-masing memiliki istri yang termasuk dalam golongan orang kafir, fasik dan munafik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demikian juga dengan pernikahan Siti Asiyah, seorang muslimah yang dipaksa menikah dengan Firaun. Contoh serupa juga terjadi pada pernikahan Abu Lahab dengan istrinya yang seorang muslimah, Ummu Jamil.
Beberapa sahabat Rasulullah SAW pun pernah melakukan pernikahan beda agama, namun para istri mereka kemudian masuk Islam. Deretan kisah ini menjadi bukti bahwa pernikahan beda agama bukanlah isu yang terjadi baru-baru ini saja, melainkan sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu.
Mengutip buku Kawin Beda Agama di Indonesia oleh Muhammad Amin Suma, dijelaskan bahwa di zaman modern seperti sekarang ini pernikahan beda agama dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Secara hukum negara dan hukum fiqih, pernikahan beda agama telah diatur dalam undang-undang, khususnya di Indonesia.
Dalil Larangan Pernikahan Beda Agama
Dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 221 Allah SWT berfirman tentang anjuran menikah antar sesama muslim.
وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ ۖ وَٱللَّهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱلْجَنَّةِ وَٱلْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Arab-Latin: Wa lā tangkiḥul-musyrikāti ḥattā yu`minn, wa la`amatum mu`minatun khairum mim musyrikatiw walau a'jabatkum, wa lā tungkiḥul-musyrikīna ḥattā yu`minụ, wa la'abdum mu`minun khairum mim musyrikiw walau a'jabakum, ulā`ika yad'ụna ilan-nāri wallāhu yad'ū ilal-jannati wal-magfirati bi`iżnih, wa yubayyinu āyātihī lin-nāsi la'allahum yatażakkarụn
Artinya: "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."
Hal senada juga disebutkan berulang kali dalam Al-Qur'an surat Al-Mumtahana ayat 10, Al-Maidah ayat 5, Al-Baqarah ayat 105, Al-Bayyinah ayat 1 dan 6, An-Nisa ayat 25, dan beberapa surat lainnya yang membahas tentang pernikahan beda agama.
Dari ayat-ayat Al-Qur'an ini, dengan tegas ajaran Islam melarang umatnya untuk menikah dengan orang selain muslim atas alasan apapun. Hukum menikah beda agama antara muslim dan musyrik adalah haram.
Dalam istilah Wahbah al-Zuhayli, ketidakhalalan (keharaman) laki-laki Muslim menikahi wanita musyrik, yaitu wanita-wanita yang menyembah sesuatu selain Allah SWT, (misalnya penyembah berhala, api, bintang, hewan, dan lain-lain). Ulama Hanafiah dan Syafiiah menyamakan perempuan murtad dengan perempuan musyrik dalam pengertian sama-sama diharamkan untuk dinikahi.
Penyebab larangan (pengharaman) menikahi wanita wanita musyrik dan yang sebangsanya -apalagi tentunya pengharaman dinikahi/dinikahkan dengan laki-laki musyrik dan yang sebangsanya, demikian kata para ulama di antaranya Wahbah al-Zuhayli, karena tidak akan ada harmoni (al insijam), tidak akan ada ketenteraman (al-ithminan), dan tidak bisa saling kerja sama tolong-menolong (al-taawun) diantara pasangan suami-istri ini. Hal ini mengingat perbedaan akidah itu bisa menimbulkan kegalauan dan kerisauan yang bisa menjauhkan pasangan suami-istri tersebut.
Pernikahan Beda Agama menurut MUI
Mengacu pada situs resmi MUI, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama. Penetapan fatwa yang disahkan oleh Komisi C Bidang Fatwa tersebut, menghasilkan dua poin utama.
Pada poin pertama berisi pernyataan, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kemudian poin kedua berisi, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu'tamad, adalah haram dan tidak sah.
Fatwa yang dikeluarkan MUI berlandaskan pada nash agama, baik itu Al-Quran, hadist, hingga qaidah fiqh. Seluruh kesepakatan, merujuk serta mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari perkawinan beda agama.
(dvs/lus)
Komentar Terbanyak
Di Masjid Al Aqsa, Menteri Garis Keras Israel Serukan Ambil Alih Gaza
Menteri Israel Pimpin Ibadah Yahudi di Halaman Masjid Al Aqsa
10 Negara yang Warganya Paling Rajin Berdoa, Indonesia Teratas