Hidup Adalah Ruang-ruang Kebahagiaan

Kolom Hikmah

Hidup Adalah Ruang-ruang Kebahagiaan

Prof Dr Mohammad Mukri, M.Ag - detikHikmah
Jumat, 18 Nov 2022 15:41 WIB
Dokumen pribadi Prof Dr Mohammad Mukri, M.Ag
Foto: Dokumen pribadi Prof Dr Mohammad Mukri, M.Ag
Jakarta -

Hidup ini adalah sebuah perjalanan. Durasi perjalanan setiap orang tidak selalu sama. Ada yang pendek tapi ada juga yang panjang. Kebahagiaan hidup tidak berdasar panjang-pendek usia. Ukurannya relatif. Relativitas itu ditentukan oleh cara pemaknaan atas hidup. Agar pemaknaan jadi berarti bagi diri dan lingkungan, maka setiap orang harusnya menentukan target-target pencapaian. Sungguh merugi mereka yang memaknai hidup hanya mengalir. Mengalir seperti air.

Sebab, air pun makhluk Allah, yang untuk pemanfaatannya membutukan pedoman dan cara-cara tertentu. Bukankah kalau mengalir lewat pipa-pipa yang bersih, ketaatan membayar dengan rutin kepada pengelola, air yang sampai ke rumah akan mampu memudahkan hidup kita ? Tapi, air yang datang menerjang akibat hutan gundul, justeru akan jadi nestapa. Begitu pula hidup. Agar bermakna, maka ia butuh pedoman pencapaian.

Karena ada pedoman, maka hidup akan jauh lebih tertata. Terlebih jika pedomanannya berasal dari agama. Dari agama inilah semua orang jadi tahu bahwa hidup bahagia tidak mengenal cara-cara instan. Persis semua ibadah mahdah. Ada rukun, ada syarat wajib, ada syarat sah, bahkan ada syarat diterimanya. Dalam salat, misalnya, tidak boleh dilakukan tanpa niat. Bahkan, sebelum niat, mesti mensucikan diri dari hadats kecil, lebih-lebih dari hadats besar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Targetnya apa ? Agar salat dilakukan oleh orang yang tepat. Artinya yang sudah mumayyiz, lalu mukallaf, dan memahami cara bersuci. Kalau tepat, maka ia memperoleh kesempatan untuk menjadi hamba yang taat kepada Allah dalam menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan. Kalau masih belum aqil baligh, maka dia belum memenuhi syarat wajib untuk salat. Jika belum cukup umur, maka dia belum menerima kewajiban.

Demikian pula dalam menjalani kehidupan. Setiap orang mesti menetapkan target-target pencapaian yang harus dilalui dengan proses. Semua target ini butuh perjuangan dan pengorbanan sehingga sampai pada puncak keberhasilan yang ditargetkan. Setiap tahap dalam mencapai puncak, tersedia ruang-ruang kebahagiaan. Maka, beruntung mereka yang bisa merasa bahagia pada setiap tapak menuju puncak.

ADVERTISEMENT

Sebab apa ? Sebab, setiap tapak perjalanan adalah anugerah dari Allah. Bukankah ada sejumlah orang yang, jangankan sampai ke puncak, menapak pun kadang ia tidak mampu. Gangguan di lutut, masalah di tumit, keram di otot betis dan sebagainya. Ketika bisa menapak dengan nyaman, di situlah Tuhan hadir. Hadir di banyak organ tubuh agar bisa memenuhi target dan sampai di puncak. Tuhan hadir di telapak, di lutut, di betis, di jemari kaki.

Satu yang penting disadari adalah batasan dan definisi atas puncak kebahagiaan. Puncak keberhasilan bukanlah satu-satunya titik klimaks kebahagiaan yang harus dinikmati. Proses naik ke atas dan proses turun ke bawah dari puncak keberhasilan, justru menjadi momentum yang sangat penting untuk dinikmati dengan bahagia. Ibarat mendaki gunung. Proses mendaki bisa menjelma ruang-ruang bersemayamnya kebahagiaan.

Suasana batin ketika kaki melangkah dalam situasi tanjakan. Suasana ruhani ketika menyaksikan langit terbentang luas di depan mata. Kepuasan karena merasa selamat dari ancaman jurang terjal yang seperti tanpa dasar. Adalah titik-titik yang yang menggurat rasa bahagia. Karena bisa menikmati kebahagiaan, lalu terbitlah rasa dan keinginan hati untuk bersyukur. Bersyukur atas proses ini. Bukankah tidak semua orang bisa merasakan tahapan-tahapan ini ?

Mendaki gunung pasti berat. Namun, ada sensasi-sensasi tertentu saat proses itu dilakukan. Ada sensasi jasmani dan ruhani yang dilewati yang dari situ kebahagiaan bisa muncul. Penting untuk diingat bahwa berada di puncak keberhasilan tidaklah akan bertahan dalam waktu lama apalagi selamanya. Pada gilirannya nanti akan ada masa di mana kita harus menuruni puncak gunung keberhasilan. Dan saat turun pun harus juga dinikmati dengan sungguh-sungguh.

Jika menikmati kesuksesan hanya saat berada di puncak, maka ketahuilah ; saat-ssat itu tidak akan pernah lama. Saat naik dan turun gunung itulah yang seharusnya menjadi kesempatan menikmati kebahagiaan.Begitu juga dalam menikmati misi utama hidup di dunia yakni ibadah menyembah Allah swt. Ia mengingatkan agar setiap individu tidak hanya terobsesi dengan surga dan kenikmatan di dalamnya.

Jika itu yang menjadi prinsip dalam beribadah, maka kenikmatan saat sujud dalam shalat tidaklah akan bisa dirasakan.Kebahagian dan kenikmatan bisa bersujud harus dinikmati dengan sungguh-sungguh. Jika hanya memikirkan orientasinya saja, maka proses yang dijalani akan menjadi beban belaka. Kalau semua jadi beban, kapan bahagianya. Kebahagiaan juga bukan hanya dalam bentuk materi saja. Uang, jabatan, dan gemerlapnya materi dunia bukan sumber utama kebahagiaan.

Bisa jadi itu semua malah menjadi sumber kesengsaraan dalam mengarungi kehidupan.Kebahagiaan pun bukan hanya menjadi milik individu. Namun menikmati kebahagiaan juga bisa dilakukan secara kolektif. Apalah gunanya bahagia, namun orang-orang di sekitar kita malah sengsara dan tidak bisa merasakan nikmatnya bahagia seperti yang kita rasa. Kebahagiaan akan sempurna ketika kebaikan yang terselenggara sesuai harapan kita bisa dinikmati bersama orang lain.

Hidup akan lebih nikmat dan bahagia, ketika keluarga dan orang-orang yang kita cintai juga merasakan bahagia. Termasuk juga ketika hidup dalam komunitas atau organisasi, kebahagiaan bukan hanya milik pengurus. Pengurus yang baik adalah mereka yang bisa memberikan kebahagiaan kepada yang diurus.(*)

Prof Dr Mohammad Mukri, M.Ag

Penulis adalah Ketua PBNU dan Ketua MUI Provinsi Lampung

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)




(erd/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads