Perubahan formula alokasi kuota haji antarprovinsi yang dilakukan Kementerian Haji dan Umrah beberapa waktu belakangan memicu beragam diskusi dan pertanyaan publik. Salah satunya datang dari Prof. Nizar Ali yang menulis opininya dalam Kolom Hikmah di detik.com pada Senin, 1 Desember 2025.
Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama sekaligus mantan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah itu menuliskan pandangannya terkait pembagian kuota antarprovinsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam keterangan tertulis yang diterima detikHikmah pada Selasa (2/12/2025), Direktur Jenderal Pelayanan Haji Kementerian Haji dan Umrah, Ian Heriyawan, merespon opini tersebut dengan menyoroti beberapa poin krusial. Ian menjelaskan bahwa meski Nizar menyebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak menyinggung ketidaksesuaian dengan Undang-undang, yang benar menurutnya adalah ketidaksesuaian dengan Peraturan Menteri Agama. Ian menegaskan pemahamannya secara implisit:
"Sekali pun oleh BPK penetapan kuota provinsi tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2021, namun ketentuan alokasi kuota pada Pasal 23 Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2021 hampir sama dengan ketentuan alokasi kuota pada Pasal 13 UU No. 8 Tahun 2019. Bedanya di penggunaan kata dan/atau. Sehingga secara implisit dapat dikatakan penetapan kuota provinsi juga tidak sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2019", kata Ian, Senin (1/12/2025).
Dalam opininya, Nizar menyoroti skema waiting list yang dinilai menyalahi kesepakatan negara-negara OKI, yang menetapkan pembagian kuota haji dengan rasio 1000:1.
"Pembagian kuota skema waiting list ini menyalahi kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam OKI pada tahun 1987 yang sepakat pembagian kuota haji berbasis jumlah penduduk muslim di sebuah negara dengan rasio 1000:1 (setiap 1000 penduduk muslim mendapat jatah kuota haji 1 orang). Karena itu, basis inilah yang dijadikan dasar penetapan Kementerian Agama selama ini dan dirasa paling adil dan mudah untuk diterapkan," tulis Nizar.
Menanggapi hal ini, Ian menekankan bahwa sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2012, alokasi kuota berbasis rasio 1000:1 tidak lagi dikenal. Pandangan pemerintah sejak saat itu adalah bahwa pemenuhan rasio tersebut sulit dilakukan, mengingat daya tampung Masyair dan batasan pengelolaan haji dunia.
"Penggunaan rasio 1000:1 bahkan tidak pernah digunakan dan diupdate lagi. Dan Arab Saudi sekalipun tidak pernah menggunakan rasio itu sebagai penentu kuota tiap negara. Sehingga, pemerintah pun ketika membagi ke provinsi menetapkan proporsi baik jumlah penduduk muslim maupun jumlah daftar tunggu, bukan rasio 1:1000", sambung Ian.
Lebih lanjut, Ian menyoroti potensi ketidakadilan jika alokasi kuota hanya berdasarkan proporsi penduduk muslim. Tidak semua provinsi dengan jumlah penduduk muslim banyak memiliki pendaftar yang tinggi, karena ada faktor sosial, ekonomi, dan budaya.
Membagi kuota hanya dengan pertimbangan penduduk muslim, menurut Ian, dapat menciderai keadilan baik dari sisi masa tunggu maupun nilai manfaat yang diterima jemaah.
Terkait pernyataan Nizar soal ketidakpastian alokasi jika menggunakan daftar tunggu, Ian menegaskan bahwa pembagian kuota berbasis jumlah penduduk muslim pun tetap tidak memberikan kepastian penuh jika data terus diperbarui.
"Sebenarnya sama saja, jika menggunakan proporsi penduduk muslim dan dilakukan update jumlah penduduk muslim tiap tahu, saya kuotanya juga akan berubah dan masa tunggu akan berubah. Kecuali, hanya diupdate tiap 10 tahun sekali menunggu data sensus penduduk. Update kuota berdasarkan jumlah daftar tunggu juga bisa diperlakukan cukup sekali setahun, cut-offnya setelah musim haji berakhir, atau 5 tahun sekali sesuai periode pemerintahan. Atau tetap selama tidak ada perubahan kuota. jadi sama saja, kalau sama-sama dilakukan update data, pasti akan berubah alokasi kuotanya", timpal Ian.
Sementara itu, Nizar menyarankan penerapan moratorium pendaftaran haji di daerah dengan antrean panjang. Namun, Ian menolak, menegaskan bahwa langkah itu melanggar hak warga negara untuk beribadah.
Ian menambahkan, "Terkait dengan moratorium pendaftaran jemaah haji, tidak sesuai dengan UU 8/2019 dan UU 14/2025 pasal 30 yaitu Pendaftaran Jemaah Haji Reguler dilakukan sepanjang tahun setiap hari kerja sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri. Moratorium pendaftaran haji melanggar hak asasi manusia untuk beribadah karena dia dipaksa kehilangan kesempatan beribadah gara-gara waktu antrian yang lama. Bisa dibayangkan jika selama 3 tahun ke depan, pendaftaran haji di provinsi A harus ditutup karena menunggu antrian sama dengan provinsi lain".
Selain itu, Ian menyoroti potensi pergeseran domisili calon jemaah jika moratorium diterapkan. Banyak calon jemaah bisa pindah ke provinsi lain demi masa tunggu lebih singkat, yang justru menimbulkan ketimpangan baru. Pandangan bahwa sistem lama menimbulkan malmanajemen juga ditepis Ian. Ia menegaskan bahwa dengan skema pembagian lama, nilai manfaat yang diterima jemaah memang berbeda-beda, sebagaimana diatur dalam fatwa MUI.
"Membuat alokasi berdasarkan waiting list dan menjadikan masa tunggu yang sama antar provinsi adalah sebuah ikhtiar untuk rasa keadilan. Seharusnya, kita berpikir dalam semangat NKRI, di manapun jemaah mendaftar, semua jemaah akan memiliki masa tunggu yang sama", tutup Ian.
(dvs/inf)












































Komentar Terbanyak
MUI: Nikah Siri Sah tapi Haram
Daftar Besaran Biaya Haji Reguler 2026 Tiap Embarkasi Daerah
Menag: Orang Arab Harus Belajar Islam di Indonesia