Bertambah panjangnya antrean waktu tunggu keberangkatan haji di berbagai daerah menimbulkan kekhawatiran. Apalagi lamanya mencapai 30 hingga 40 tahun. Tentu ini akan menimbulkan keresahan serius mengenai kepastian hak konsumen dalam mendapatkan layanan keberangkatan haji yang adil, transparan dan terencana.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Agama dan Badan penyelenggara Haji (BPH), untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem antrean ibadah haji nasional.
M. Mufti Mubarok selaku Ketua BPKN RI menjelaskan bahwa sebagai konsumen dari layanan penyelenggaraan ibadah haji, para calon jamaah memiliki hak atas kepastian layanan, informasi yang memadai, dan perlakuan yang adil. Oleh karena itu, sistem antrean yang tidak efisien dan kurang adaptif terhadap dinamika kuota dan demografi dianggap merugikan konsumen secara struktural.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam keterangan tertulis yang diterima detikHikmah pada Kamis (26/06/2025), Mufti juga menyampaikan beberapa hal strategis yang perlu untuk segera dilaksanakan yaitu:
1. Evaluasi Menyeluruh Sistem Antrean Nasional
BPKN RI mendorong pemerintah untuk melakukan audit sistem antrean haji secara komprehensif, termasuk meninjau kembali mekanisme pendaftaran, transparansi distribusi kuota per daerah, serta prioritas berdasarkan usia dan kondisi fisik calon jemaah.
2. Dorongan Inovasi dalam Pengelolaan Antrean
Perluasan dan percepatan penerapan sistem digital berbasis data real-time di seluruh lini pelayanan haji menjadi kebutuhan mendesak. Sistem ini harus dapat diakses publik, transparan dalam menampilkan daftar antrean, dan mampu meminimalkan risiko manipulasi atau informasi tidak akurat. Tidak hanya kuota individu calon jamaah, tapi publik pun bisa melihat secara detail siapa saya daftar yang ada dalam list antrian.
3. Upaya Penambahan Kuota melalui Jalur Diplomatik
BPKN RI mendorong Kementerian Agama dan Kementerian Luar Negeri untuk terus mengupayakan penambahan kuota haji secara legal melalui kerja sama bilateral dengan Kerajaan Arab Saudi. Upaya ini harus disampaikan secara terbuka kepada publik agar masyarakat memahami konteks dan proses yang sedang berlangsung.
4. Pemetaan Kebutuhan Jemaah Berdasarkan Wilayah dan Kategori Usia
Data antrean harus dianalisis lebih lanjut untuk merumuskan kebijakan berbasis kebutuhan nyata, misalnya kuota khusus lansia, prioritas daerah tertinggal, serta insentif bagi jemaah yang memilih skema keberangkatan non-reguler dengan tetap menjaga aspek keadilan.
5. Keterlibatan Konsumen dalam Proses Pengambilan Kebijakan
BPKN RI mendorong dibukanya ruang partisipatif bagi publik dan calon jamaah dalam proses perumusan kebijakan haji, sehingga suara konsumen didengar dan menjadi bagian dari solusi.
"Perlindungan Konsumen adalah Mandat Konstitusional, sehingga dalam konteks ibadah haji, yang menjadi bagian dari hak beragama warga negara, negara memiliki kewajiban menjamin bahwa layanan penyelenggaraan haji tidak hanya bersifat administratif, namun juga menjunjung tinggi prinsip perlindungan konsumen: hak atas informasi, hak untuk memilih, hak untuk didengar, dan hak atas pelayanan yang layak dan adil," tegas Mufti.
Mufti juga mengatakan, BPKN RI siap bersinergi dengan semua pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa sistem antrean haji di masa depan lebih adaptif, adil, dan berorientasi pada kepentingan konsumen.
(lus/erd)
Komentar Terbanyak
Ustaz Khalid Basalamah Buka Suara Usai Dipanggil KPK
OKI Gelar Sesi Darurat Permintaan Iran soal Serangan Israel
Iran-Israel Memanas, PBNU Minta Kekuatan Besar Dunia Tak Ikut Campur