Hajar Aswad, Tak Boleh Terlewat

Kolom Hikmah

Hajar Aswad, Tak Boleh Terlewat

Abdurachman - detikHikmah
Rabu, 05 Jun 2024 05:07 WIB
Abdurachman Guru Besar FK Unair Surabaya
Foto: Dokumen pribadi Abdurachman
Jakarta -

Mencium batu hitam hajar aswad. Sepertinya belum 'dianggap sah' haji atau umrah seseorang jika belum mampu mencium hajar aswad. Bagi mereka yang mampu melakukannya, merasa bangga.

Boleh jadi sesampainya jemaah haji di tanah air, dengan suka hati dan bangga menceritakan kepada siapa pun peziarah yang datang. Bahwa dirinya mampu mencium hajar aswad. Rona gembira di wajah seolah mewakili perasaan sah diterimanya ibadah haji atau umrah yang dilakukan, antara lain karena telah berhasil mencium hajar aswad itu.

Sebagian, bahkan boleh jadi sebagian besar orang, yang melaksanakan ibadah haji menduga bahwa mencium hajar aswad berhukum sunnah tapi 'dirasa' wajib. Bagaimana tidak, betapa banyak jemaah yang berduyun-duyun berusaha mencium batu hitam di pojokan Ka'bah itu. Tidak cukup hanya bagi jemaah laki-laki.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jemaah perempuan pun tidak kalah banyak. Bukan hanya mereka yang notabene berpendidikan kurang tinggi, berasal jauh dari kota. Bahkan mereka yang bergelar mentereng, dosen dari perguruan tinggi negeri ternama, 'tidak sudi' bila thawaf di area Ka'bah belum mampu mencium hajar aswad. Dia merasa ibadah umrah atau ibadah hajinya 'kurang' sah? Celakanya orang tersebut adalah seorang ibu muda.

Untuk bisa mencium hajar aswad diperlukan upaya luar biasa. Sabar melintasi kerumunan orang, berdesakan, terhimpit, kepala tersenggol, tangan terkilir, dada tertindih, dan aroma jemaah di sekitar yang memang berpeluh basah.

ADVERTISEMENT

Mencium batu hitam hajar aswad. Sungguh tidak mudah. Demi kesulitan inilah sebagian orang menduga bahwa, memang diperlukan upaya seperti itu demi sungguh-sungguh beribadah. Sehingga jika telah berhasil melakukannya, seolah-olah dirinya sudah berhasil melakukan jihad fii sabilillaah. Benarkah?

Sebagian merasa tidak perduli bagaimana melakukan 'jihad' itu. Apakah dirinya menyenggol orang lain, menindih, menekan, atau bahkan menyikut dengan sengaja demi terbuka jalan sekedar tubuh bisa bergeser ke depan. Rasa kesal pada saudara di samping tak terpedulikan. Sekian orang di sekitar dirasa sama-sama berusaha menghalang. Semuanya seolah tidak dipedulikan. Yang penting, sekali saja ujung hidung menempel di batu hitam hajar aswad, sekali itu puas membayang.

Sayyiduna Umar ra. khalifah Rasulullah yang kedua setelah Sayyidunaa Abubakar ra. pernah berujar terkait hajar aswad ini. Beliau berkata kepada hajar aswad itu,

"Kamu ini hanya sebuah batu yang tidak bisa mendatangkan mudarat maupun manfaat dan tak bisa berbuat apa-apa. Andai saja Rasulullah tidak menciummu, tentu aku pun tak akan pernah mau menciummu".

Ini potongan ucapan beliau terkait hajar aswad. Beliau pasti bukan bermaksud meremehkan siapa pun yang berusaha menciumnya. Dalam tulisan ini informasi demikian disampaikan sekadar untuk menghilangkan rasa 'wajib' yang memang sebenarnya tidak wajib.

Apalagi sampai mengorbankan kebaikan yang secara esensial menjadi tujuan berumrah dan berhaji. Kebaikan yang dikorbankan antara lain ialah, mendahulukan orang lain, tidak menyakiti orang lain, tidak membenci, tidak kecewa, tidak marah, tidak menyulitkan diri pada hal-hal yang bukan seharusnya.

Bukankah intisari ibadah adalah demi meningkatkan kualitas akhlak mulia. "Innama buistu liutammima makarimal akhlak", sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Muncul pertanyaan yang jawabannya mudah diduga. Apakah dengan jalan berdesakan dan memaksa-maksa seperti itu esensi dasar ibadah akan tercapai. Sesuai dengan sarah hadits di atas?

Mudah untuk melakukan evaluasi bukan? Setelah berdesakan berusaha mencium hajar aswad apakah hati ini menjadi lebih lapang, lebih bahagia, lebih tenang, lebih khusyu dalam shalat yang akan dilakukan setelah itu? Akankah di dalam hati membekas kesan indah karena telah mendahulukan orang lain? Atau sebaliknya?

Jika setelah mencium hajar aswad hati semakin gundah, ada rasa kesal yang membekas. Entah karena dihimpit orang, entah karena ditarik-tarik orang, atau merasa orang lain semena-mena. Di situlah pertanda bahwa ibadah mencium hajar aswad bukan disunnahkan. Boleh jadi dihindarkan. Mengapa? Betapa pun, tidak mencium hajar aswad jika menghindarkan diri dari mudarat lebih disukai dalam agama daripada melakukan sunnah tapi berbuah negatif.

Tetapi, menghindar dari mencium hajar aswad padahal bisa mudah dilakukan adalah perbuatan yang belum pantas, karena Nabi Muhammad saw. melakukannya.
Yang pasti, jika niat ikhlash dan seluruh upaya telah dilakukan secara serius. Pekerti sholeh tak berhenti diamalkan. Ada jaminan bahwa akan datang 'petunjuk' Tuhan dalam memperoleh keputusan. Ialah mengutamakan memilih yang esensi dalam berislam, berupaya menekan egois, mendahulukan kepentingan orang lain saudara Muslim.

Semoga kita berkenan!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya.
Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.




(erd/erd)

Hide Ads