Ternyata, saat akan menunaikan ibadah haji, tidak bisa sembarangan memakai pakaian. Ada aturan yang harus dipatuhi oleh jemaah, salah satunya adalah mengenakan pakaian ihram. Berikut ini batas-batas tempat mengenakan pakaian ihram saat haji.
Mengutip buku Fiqih Sunnah 3 karya Sayyid Sabiq dijelaskan tempat berihram bagi orang yang ingin menunaikan haji dan umrah disebut miqat maqani. Maka orang yang ingin berhaji, tidak boleh melewati tempat-tempat ihram, tanpa mengenakan pakaian ihram.
Rasulullah SAW pernah menjelaskan tempat-tempat tersebut, Dzulhulaifah (450 KM dari Makkah, terletak di sebelah utara kota Makkah) miqat para penduduk Madinah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya, miqat bagi penduduk Syam adalah Juhfah, yang berjarak 187 km di sebelah barat laut Mekah. Juhfah berada dekat dengan Rabig, yang berjarak 204 km dari Mekah. Saat ini, Rabig menjadi miqat bagi penduduk Mesir dan Syam, serta bagi orang-orang yang melewatinya, karena batas-batas Juhfah sudah tidak ada lagi.
Miqat bagi penduduk Nejed adalah Qarnul Manazil, sebuah pegunungan di sebelah timur Mekah yang memanjang ke Arafah, dengan jarak 94 km dari Mekah.
Miqat bagi penduduk Yaman adalah Yalamlam, yang terletak di selatan Mekah dengan jarak 54 km dari Mekah.
Miqat bagi penduduk Irak adalah Dzatu I'rq, yang terletak di timur laut Mekah, berjarak 94 km dari Mekah.
Rasulullah SAW bersabda:
ΩΩΩΩΩ ΩΩΩΩΩΩΩ ΩΩΩΩΩ ΩΩΩ Ψ£ΩΨͺΩΩ ΨΉΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ Ω ΩΩΩ ΨΊΩΩΩΨ±ΩΩΩΩΩΩ ΩΩΩ ΩΩΩ Ψ£ΩΨ±ΩΨ§Ψ―Ω Ψ§ΩΩΨΩΨ¬ΩΩ Ψ£ΩΩΩ Ψ§ΩΩΨΉΩΩ ΩΨ±ΩΨ©Ω.
Artinya: "Miqat-miqat itu adalah untuk penduduk tempat tersebut dan orang yang melewatinya ketika hendak melaksanakan haji atau umrah."
Orang-orang yang akan melaksanakan ibadah haji atau umrah harus melakukan ihram di tempat-tempat miqat yang telah disebutkan.
Bagi yang berada di Mekah, miqatnya adalah rumah masing-masing. Untuk umrah, miqatnya adalah di luar Tanah Haram. Orang tersebut harus keluar dari Tanah Haram dan berihram dari sana. Daerah terdekat di luar Tanah Haram adalah Tan'im.
Siapa saja yang berada di tengah-tengah antara semua miqat yang telah ditetapkan dan Mekah, maka miqatnya adalah rumahnya.
Ibnu Hazm berkata, "Siapa saja yang jalannya tidak melalui salah satu dari miqat-miqat ini, hendaklah ia berihram dari mana saja, baik melalui laut maupun darat."
Batas Miqat di Pesawat
Mengutip buku Ensiklopedia Fikih Indonesia: Haji & Umrah karya Ahmad Sarwat, Lc, M.A saat pesawat terbang berada di ketinggian 27.000 kaki di atas permukaan laut, hampir tidak melewati batas-batas miqat. Untuk itu ada dua pendapat yang membahas mengenai miqat di pesawat.
Ulama kontemporer berpendapat miqat para jemaah di pesawat memperhatikan garis-garis imajiner yang mesti menghubungkan titik-titik masing-masing miqat. Memanfaatkan teknologi GPS.
GPS akan memberitahukan posisi pesawat terhadap titik lokasi apapun di bumi, maka mudah bagi jemaah haji untuk menilai kapan waktu yang pas untuk mengenakan ihram. Kapten pesawat juga akan memberitahukan dalam jarak tertentu atau hitungan tertentu akan memasuki kawasan miqat.
Maka tanpa harus mendarat di lokasi yang disebutkan oleh Rasulullah SAW, jemaah bisa langsung mengganti pakaian.
Lokasi Pesawat Mendarat
Ada beberapa kalangan yang menjadikan Bandara King Abdul Aziz di Jeddah sebagai tempat Miqat. Pendapat mereka ini dilandaskan akan pemikiran bahwa orang yang datang dari pesawat, tidak memulai ihram di lokasi miqat di atas, melainkan berdasarkan lokasi tempat pesawat mereka mendarat.
Muhammad Bagir Fiqih Praktis i mengungkapkan berdasarkan ijtihad ulama Indonesia, saat ini miqat jemaah haji dari Indonesia, khususnya yang mengenakan transportasi udara, yakni kota Jeddah di Saudi Arabia.
Hukum Miqat
Fikih Empat Madzhab Jilid 2 karya Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi membahas mengenai hukum miqat dari kacamata empat mazhab.
Menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, jika seseorang tidak berasal dari wilayah-wilayah miqat yang telah disebutkan atau searah dengannya, mereka wajib berihram saat melewati atau bersinggungan dengan salah satu miqat tersebut, baik melalui jalur air maupun udara.
Jika mereka melewati miqat tanpa berihram, mereka diwajibkan untuk kembali ke tempat miqat tersebut untuk berihram, asalkan perjalanan kembali aman dan waktu yang tersedia masih cukup untuk menyelesaikan rangkaian ibadah haji.
Jika mereka tidak kembali ke miqat tersebut, maka mereka dianggap berdosa karena meninggalkan miqat dan dikenakan denda hadyu (menyembelih hewan).
Jika mereka tidak kembali ke miqat karena takut melewati jalan kembali atau karena waktu yang sempit, maka mereka hanya dikenakan denda hadyu saja. Hukum ini berlaku terlepas dari ada atau tidaknya miqat lain setelah itu.
Menurut mazhab Hanafi haram hukumnya melewati miqat tanpa mengenakan ihram, oleh karena itu, bila seseorang melakukannya, dia harus membayar dam, selama dalam perjalanan, tidak ada lagi miqat lain. Namun, jika ada maka lebih baik kembali ke tempat miqat yang dilewatinya itu.
Menurut Mazhab Maliki, bila seseorang melewati miqatnya, maka ia diwajibkan berihram disana, jika meelwati mqiat tanpa ihram hukumnya ahram, dan harus membayar dam, kecuali di depanya ada miqat lainnya.
Dianjurkan untuk kembali ke tempat miqat sebelumnya dan berihram, tetapi bila tidak kembali juga tidak akan dosa, dan tidak harus membayar dam, hanya saja perilakunya bertentangan dengan yang dianjurkan.
Demikianlah penjelasan batas tempat mengenakan pakaian ihram saat haji. Sebaiknya taati peraturan miqat, supaya tidak membayar denda (Dam).
(lus/lus)
Komentar Terbanyak
Ustaz Khalid Basalamah Buka Suara Usai Dipanggil KPK
OKI Gelar Sesi Darurat Permintaan Iran soal Serangan Israel
Iran-Israel Memanas, PBNU Minta Kekuatan Besar Dunia Tak Ikut Campur