Pertanyaan seputar haji kerap diajukan oleh calon jemaah, mulai dari hukum sahnya ibadah haji, tata cara pelaksanaan, serta kebolehan-kebolehan dalam menjalankan ibadah.
Dilansir dari berbagai sumber, detikHikmah telah merangkum sejumlah pertanyaan seputar haji beserta jawabannya. Berikut ini 15 pertanyaan haji yang diajukan calon jemaah.
Pertanyaan Seputar Hukum dan Pelaksanaan Ibadah Haji
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Bagaimana hukum menunda-nunda ibadah haji padahal mampu?
Mengutip dari buku Ensiklopedia Fikih Indonesia oleh Ahmad Sarwat, apabila seseorang telah memenuhi syarat kemampuan atau telah memiliki uang untuk berangkat haji, tentu sangat diutamakan agar menyegerakan ibadahnya.
Jumhur ulama menegaskan bahwa ibadah haji wajib dikerjakan begitu seseorang dianggap telah memenuhi syarat wajib haji, yaitu meliputi Islam, baligh, berakal sehat, merdeka, serta mampu secara jasmani, rohani, dan ekonomi.
Menunda berangkat haji padahal sudah mampu termasuk dosa yang harus dihindari. Apabila pada akhirnya dilaksanakan, maka hukumnya menjadi haji qadha dan dosanya menjadi terangkat.
Sedangkan menurut sebagian ulama lain, menyegerakan haji hukumnya sunah dan lebih utama. Apabila mengakhirkannya dengan tekad kuat untuk berhaji pada saat tertentu, hukumnya boleh dan tidak berdosa.
2. Bagaimana hukumnya orang yang tidak sholat dan berpuasa tetapi melaksanakan ibadah haji?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam buku Tuntunan Tanya-Jawab Akidah, Sholat, Zakat, Puasa, dan Haji menerangkan bahwa haji orang yang tidak sholat, maka tidak akan diberi pahala dan tidak diterima hajinya. Hal ini dikarenakan orang yang meninggalkan sholat hukumnya kafir dan orang kafir tidak sah ibadahnya.
Apabila seseorang dalam keadaan seperti ini, ia harus bertaubat kepada Allah SWT, melakukan ketaatan, memperbanyak istighfar, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَٰتُهُمْ إِلَّآ أَنَّهُمْ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ وَبِرَسُولِهِۦ وَلَا يَأْتُونَ ٱلصَّلَوٰةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَٰرِهُونَ
Artinya: "Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan" (QS At-Taubah: 54).
3. Bagaimana hukum jemaah haji yang meninggal dalam perjalanan?
Jemaah haji yang meninggal dalam perjalanan boleh dibadalhajikan atau digantikan ibadahnya oleh orang yang sudah pernah berhaji.
Sementara dikutip dari buku Doa-doa Khusus Ibadah Haji karangan Amirulloh Syarbini, jemaah haji yang meninggal dalam perjalanan hukumnya sama dengan mati syahid dan tidak mendapat hisab.
Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa yang wafat dalam perjalanan haji, maka ia seperti orang yang wafat di jalan Allah." (HR Muslim).
4. Bolehkah menghajikan orang lain?
Boleh menghajikan orang lain dengan syarat ia sendiri sudah pernah mengerjakan haji untuk dirinya, berdasarkan penjelasan Ust. Muksin Matheer dalam buku 1001 Tanya Jawab dalam Islam.
Dijelaskan dalam sebuah riwayat, ada seorang wanita bertanya kepada Nabi SAW, "Ibu saya wafat belum haji. Apakah boleh saya menghajikannya?" Mendengarpertanyaan wanita ibu, Nabi SAW menjawab, "Engkau boleh menghajikannya."
Ketika Nabi SAW sedang berhaji, beliau mendengar seseorang berucap, "Labbaika untuk Syibrimah (keluarga dekatnya)." Maka beliau langsung bertanya, "Apakah engkau sudah haji untuk dirimu sendiri?"
Orang itu menjawab, "Belum." Kemudian Nabi SAW berkata, "Hajilah untuk engkau dulu, baru haji untuk Syibrimah." (HR Ahmad).
5. Bolehkah seorang wanita yang sudah berkeluarga melakukan haji tanpa izin dari suami?
Dalam sumber yang sama dengan sebelumnya, seorang wanita boleh melakukan ibadah haji tanpa harus mendapat izin dari suaminya. Begitu pula dengan suami tidak boleh melarang ataupun mencegah kepergiannya.
Justru suami hendaknya menyegerakan keberangkatannya sebab istri memiliki niat yang baik untuk menunaikan kewajiban kepada Allah SWT.
6. Bagaimana tata cara dalam melaksanakan ibadah haji?
Tata cara dalam melaksanakan ibadah haji dapat dikelompokkan menjadi tiga macam:
- Haji Ifrad, yaitu melaksanakan ibadah haji dengan niat untuk berhaji saja. Jika telah selesai mengerjakan haji atau tahallul yang kedua, maka dia berihram untuk melaksanakan atau melakukan umrah.
- Haji Qiran, yaitu melaksanakan ibadah haji dengan berihram haji dan umrah dengan satu niat, satu ihram, satu tawaf, dan satu sa'i. Pelaksanaan haji ini wajib membayar dal dengan menyembelih binatang kurban sesudah mengerjakan tahallul dari ihram.
- Haji Tamattu, yaitu melaksanakan ibadah haji dengan ihram umrah. Kemudian setelah selesai mengerjakan umrah dan tahallul baru berniat ibadah haji pada tanggal 8 Dzulhijjah. Pelaksanaan haji ini hukumnya wajib untuk menyembelih hewan kurban setelah mengerjakan ihram haji.
7. Bolehkah berihram haji sebelum masuk bulan-bulan haji?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam sumber sebelumnya menerangkan, di antara ulama ada yang berpendapat bahwa ihram sebelum bulan-bulan haji hukumnya sah, tetapi dimakruhkan bagi seseorang untuk berhaji sebelum masuk bulan haji.
Sementara di antara ulama berpendapat bahwa orang yang berihram haji sebelum bulan haji tiba, maka ibadahnya tidak sah melainkan berubah menjadi umrah.
8. Bagaimana cara mengerjakan ihram haji dan umrah bagi orang yang ada di pesawat?
Dalam sumber yang sama, cara ihram orang yang datang ke Makkah dengan pesawat yaitu jika dia menghadap miqat maka ia harus berniat ihram. Maka dari itu, disunahkan baginya agar mandi dulu di rumahnya lalu memakai pakaian ihram sebelum sampai miqat.
Adapun batas tempat berihram atau miqat haji bagi jemaah Indonesia terbagi menjadi dua gelombang keberangkatan:
- Gelombang I yang mendarat di Madinah, miqatnya di Zulhulaifah/Bir Ali.
- Gelombang II yang mendarat di Jeddah, miqatnya di asrama haji embarkasi tanah air atau di dalam pesawat ketika melintas sejajar dengan Yalamlam/Qarnul Manazil atau di bandara King Abdul Aziz Jeddah.
9. Bolehkah orang yang berihram menyisir rambut?
Masih merujuk dari sumber yang sama, orang yang sedang ihram tidak dianjurkan untuk menyisir rambut. Sebaiknya dia membiarkan rambutnya kusut dan tidak teratur, tetapi jika ingin membasahinya tidak apa-apa.
Menyisir rambut dapat menyebabkan rambut rontok yang mengharuskan dam. Namun, jika rambut orang yang berihram jatuh sendiri tanpa disengaja, maka hukumnya tidak apa-apa karena tidak sengaja.
10. Bolehkah makan dan minum saat tawaf?
Berdasarkan Kitab Fikih Sehari-hari karya A.R. Shohibul Ulum, makan dan minum saat tawaf hukumnya makruh di kalangan ulama Syafi'iyah. Artinya, diperbolehkan untuk makan dan minum saat tawaf, tetapi meninggalkannya lebih utama.
11. Bagaimana jika seseorang hadas ketika tawaf?
Mengutip dari sumber yang sama dengan sebelumnya, jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang berhadas besar atau kecil tidak boleh bertawaf mengelilingi Ka'bah. Apabila di tengah-tengan tawaf mendapatkan hadas kecil seperti buang air kecil atau kentut, maka ia hanya wajib berwudhu kemudian meneruskan tawafnya.
12. Apa hukumnya tawaf di atas Ka'bah?
Setelah mengalami banyak renovasi dan perkembangan, ada beberapa fasilitas tambahan di Masjidil Haram seperti jembatan yang tingginya di atas Ka'bah dan mengelilinginya.
Tawaf yang dilakukan di atas jembatan yang disediakan tersebut hukumnya boleh dan tetap sah dengan syarat jembatan tersebut ada di area masjid, berdasarkan Kitab al-Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah karya Abdurrahman al-Jaziri.
13. Apa yang harus dilakukan oleh jemaah udzur pada hari melontar jumrah?
Melontar jumrah merupakan salah satu wajib haji yang apabila diabaikan akan dikenakan dam. Berdasarkan buku M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman, melontar jumrah bagi jemaah yang memiliki udzur boleh diwakilkan dengan syarat orang yang mewakili itu melontar dahulu untuk dirinya.
Namun, bagi jemaah haji yang udzur atau berhalangan pada hari pertama, ia boleh melontar jumrah pada hari kedua atau ketiga yang dimulai dari jumrah ula, wustha, dan aqabah secara sempurna sebagai lontara untuk hari pertama yang ditinggalkan, lalu melakukan kembali untuk lontaran hari kedua.
14. Bolehkah membayar DAM haji di tanah air?
Melansir dari buku Tanya Jawab Islam yang disusun oleh Tim Dakwah Pesantren, membayar dam haji tidak boleh dilakukan di tanah air.
Dam (denda pelanggaran dalam ibadah haji) yang bersifat harta benda (menyembelih kambing atau shadaqah pada 6 fakir miskin sebesar 3 sha') hanya boleh diberikan kepada fakir miskin di tanah haram.
Apabila fakir miskin tidak ditemukan di tanah haram, maka kewajiban yang bersifat harta benda tersebut wajib diundur hingga mereka ditemukan dan tidak diperkenankan memindahkan dam ke daerah lain, berdasarkan kitab Al-Minhaj Al-Qawiim.
15. Bolehkah haji lebih dari satu kali?
Berdasarkan buku Fiqih Wanita karya M. Abdul Ghoffar, para ulama sepakat bahwa ibadah haji tidak wajib diulang berkali-kali dan hanya wajib dilakukan satu kali seumur hidup. Namun, jika seseorang bernadzar untuk menunaikannya, maka ia wajib memenuhi nazarnya tersebut.
Haji yang dilakukan lebih dari satu kali hukumnya sunah. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, dari Ibnu Abbas RA, ia bercerita:
"Rasulullah pernah memberikan khutbah kepada kami seraya menuturkan: Wahai hamba Allah, diwajibkan atas kalian menunaikan ibadah haji. Kemudian Aqra bin Habis berdiri seraya bertanya, Apakah kewajiban tersebut berlaku pada setiap tahunnya, wahai Rasulullah? Jika aku mengatakannya, niscaya wajib dan jika diwajibkan pada setiap tahunnya, niscaya kalian tidak akan melaksanakannya karena tidak mampu. Barangsiapa menunaikan ibadah haji lebih dari satu kali, maka hal itu termasuk tathawwu (sunnah)." (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'i dan Al-Hakim).
Itulah 15 pertanyaan haji yang sering diajukan oleh calon jemaah. Semoga bermanfaat dan memberikan wawasan ya, detikers!
Tag:
hukum islam
hikmah
(lus/lus)
Komentar Terbanyak
Di Masjid Al Aqsa, Menteri Garis Keras Israel Serukan Ambil Alih Gaza
Menteri Israel Pimpin Ibadah Yahudi di Halaman Masjid Al Aqsa
PBNU Kritik PPATK, Anggap Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Serampangan