Memahami "Akuisisi" Danantara di Makkah: Antara Hak Milik, Hak Manfaat dan Adab Diplomasi

Memahami "Akuisisi" Danantara di Makkah: Antara Hak Milik, Hak Manfaat dan Adab Diplomasi

Agus Maftuh Abegebriel - detikHikmah
Selasa, 23 Des 2025 07:15 WIB
Memahami Akuisisi Danantara di Makkah: Antara Hak Milik, Hak Manfaat dan Adab Diplomasi
Agus Maftuh Abegebriel. Foto: Dubes RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel (Dok. Pribadi).
Jakarta -

Kabar akuisisi asing di Makkah kerap menimbulkan salah tafsir, khususnya ketika istilah "akuisisi" digunakan tanpa membedakan antara kepemilikan tanah (haq al-milk) dan penguasaan hak ekonomi-operasional (haq al-intifa'), hak manfaat.

Tulisan ini menggabungkan perspektif fiqh tanah Haramain, konsep siyasah syar'iyah, serta kerangka hukum properti Arab Saudi modern untuk menjelaskan bahwa praktik yang terjadi pada umumnya bukanlah alih kepemilikan tanah suci, melainkan pengalihan hak manfaat, hak pengembangan, atau partisipasi korporasi.

Analisis ini juga digunakan untuk membaca secara kritis pemberitaan media mengenai investasi asing di Makkah, termasuk kasus yang sering disebut sebagai "akuisisi" hotel dan lahan.
Kata "akuisisi" misalnya, kerap dipahami publik sebagai pembelian tanah atau alih kepemilikan wilayah. Padahal, dalam praktik hukum dan bisnis internasional, maknanya tidak selalu demikian.
Istilah "akuisisi" dalam konteks Makkah kerap menimbulkan tafsir berlebihan di ruang publik. Padahal, dalam praktik hukum dan bisnis internasional, istilah tersebut tidak selalu berarti kepemilikan tanah. Di sinilah pentingnya membaca isu Makkah secara proporsional, baik dari sisi hukum, kebijakan, maupun sensitivitas simbolik diplomatik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akuisisi Tidak Selalu Berarti Memiliki Tanah

Dalam hukum korporasi modern, akuisisi berarti pengambilalihan saham perusahaan, aset operasional, atau hak pengelolaan. Organisasi internasional seperti OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) menegaskan bahwa akuisisi menunjuk pada penguasaan kepentingan ekonomi, bukan otomatis kepemilikan tanah secara fisik.
Banyak transaksi lintas negara yang disebut "akuisisi" sejatinya adalah partisipasi investasi atau pengelolaan jangka panjang. Tanah tetap berada dalam rezim hukum negara setempat.
Pemahaman ini penting agar kita tidak tergesa-gesa menyimpulkan bahwa setiap akuisisi di Makkah berarti ada pihak asing yang "memiliki" Tanah Suci.

Kekhususan Tanah Makkah dalam Fiqh Islam

Dalam tradisi fiqh Islam, Makkah memiliki status yang sangat khusus. Ulama klasik seperti al-Azraqi dalam Akhbar Makkah menegaskan bahwa tanah Makkah adalah tanah haram yang tidak diperlakukan seperti wilayah biasa.

ADVERTISEMENT

Ibn Qudamah dalam al-Mughni mencatat adanya perbedaan pendapat ulama tentang kepemilikan tanah Makkah, namun kecenderungan kuatnya adalah: tanah Makkah dimanfaatkan, bukan dimiliki secara absolut. Karena itu, konsep hak manfaat (haqq al-intifa') lebih diutamakan dibanding hak milik penuh (haqq al-milk).
Hak manfaat ini sah secara syar'i selama diberikan oleh otoritas yang berwenang. Al-Qarafi menegaskan kaidah penting dalam siyasah syar'iyyah: "kebijakan pemimpin harus selalu berpijak pada kemaslahatan."

Peran Negara Saudi sebagai Penjaga Haramain

Raja Arab Saudi memosisikan diri sebagai khadim al-haramain-penjaga dua Tanah Suci. Dalam kerangka ini, negara membuka ruang investasi untuk meningkatkan pelayanan jamaah, namun tetap menjaga kedaulatan simbolik dan hukum atas Makkah.

Hukum properti Saudi secara tegas membedakan antara kepemilikan tanah dan hak pengembangan atau pengelolaan. Otoritas resmi Saudi seperti Real Estate General Authority (REGA) menetapkan pembatasan khusus bagi kepemilikan asing, terutama di Makkah dan Madinah.

Ahli hukum Islam Saudi, Frank Vogel, dalam Islamic Law and Legal System: Studies of Saudi Arabia menjelaskan bahwa di wilayah sensitif, tanah biasanya tetap dimiliki entitas lokal Saudi. Investor asing masuk melalui kepemilikan saham, konsesi, atau hak pengembangan, bukan kepemilikan tanah secara bebas.

Membaca Akuisisi Hotel di Makkah secara Proporsional

Dalam beberapa waktu terakhir, pemberitaan tentang "akuisisi" hotel di Makkah oleh Danantara Indonesia menimbulkan kesan seolah-olah telah terjadi pembelian tanah di Tanah Suci. Padahal, jika dibaca secara hukum, transaksi semacam ini lebih tepat dipahami sebagai:

1.Partisipasi investasi,
2.Pengelolaan dan operasional jangka panjang,
3.Hak pengembangan di atas tanah yang tetap berada dalam rezim hukum Saudi.
Tidak ada bukti bahwa tanah Makkah berpindah kepemilikan kepada pihak asing.
Dari sudut pandang fiqh, praktik semacam ini justru sejalan dengan konsep hak manfaat yang diizinkan oleh waliyyul amri demi kemaslahatan jamaah.

Sensitivitas Bahasa: Persoalan Utama

Masalah utama yang sering muncul adalah ketidaktepatan bahasa. Istilah seperti "membeli tanah di Makkah", "memiliki fasilitas sendiri di Tanah Suci", atau "kampung haji Indonesia" mudah menimbulkan tafsir keliru, baik di dalam negeri maupun di mata dunia Internasional.

Karena itu, Arab Saudi cenderung menggunakan bahasa yang sangat netral dalam setiap rilis resminya: menekankan kerja sama, peningkatan layanan, dan pengabdian kepada tamu Allah (khidmah li-duyuf al-Rahman), tanpa menyebut kepemilikan.

Presisi istilah bukan soal teknis semata, melainkan bagian dari adab terhadap Haramain dan etika diplomasi.
Kata-kata "Red Flag Wording" yang wajib dihindari dalam rilis, pidato, media sosial, atau dokumen publik:


Membeli tanah / membeli lahan di Makkah.
Kepemilikan tanah / memiliki lahan di Tanah Suci.
Jual beli tanah Makkah.
Aset milik Indonesia di Makkah.
Kampung Indonesia (sebagai entitas kepemilikan).
Enclave atau zonasi entitas tertentu di Tanah Suci.


Akan sangat aman ketika menggunakan padanan berikut secara konsisten:
Kerja sama investasi dan pengelolaan.
Hak pengembangan dan pengelolaan jangka Panjang.
Partisipasi investasi melalui entitas sesuai ketentuan Arab Saudi.
Peningkatan layanan dan akomodasi jamaah haji.
Pengembangan fasilitas sesuai arahan otoritas Arab Arab Saudi.
Proyek Khidmah li-dhuyuf al-Rahman (خدمة ضيوف الرحمن).


Kesalahan utama dalam kasus ini juga terletak pada narasi media yang menggunakan istilah "akuisisi tanah" tanpa klarifikasi. Secara simbolik, narasi tersebut berpotensi menimbulkan persepsi alih kedaulatan, meskipun secara hukum dan praktik hal itu tidak terjadi. Oleh karena itu, presisi bahasa menjadi elemen krusial dalam menjaga sensitivitas tatakrama diplomatik dan keagamaan.

Pada akhirnya, apa yang disebut "akuisisi asing" di Makkah umumnya adalah akuisisi kepentingan ekonomi dan operasional, bukan kepemilikan tanah suci. Fiqh Islam, hukum Saudi modern, dan praktik korporasi internasional bertemu pada satu titik: pelayanan jamaah boleh dikembangkan, tetapi kedaulatan simbolik Haramain harus tetap terjaga.

Analisis fiqh, siyasah, dan hukum properti Arab Saudi menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai akuisisi asing di Makkah pada umumnya adalah akuisisi kepentingan ekonomi dan operasional, bukan kepemilikan tanah (haq al-milk). Konsep haq al-intifa' dan struktur korporasi modern memungkinkan pengembangan fasilitas jamaah tanpa mengganggu kedaulatan simbolik Haramain.

Kesalahan utama dalam wacana publik terletak pada ketidaktepatan penggunaan istilah hukum modern tanpa sensitivitas terhadap konteks fiqh dan politik Makkah. Presisi bahasa bukan sekadar persoalan akademik, melainkan bagian dari etika diplomasi dan adab terhadap Tanah Suci.
Di Makkah, etika harus lebih dulu ketimbang angka. Makkah akan membuka pintunya untuk orang-orang yang datang untuk hidmah/melayani, bukan yang datang untuk mengambil.

Agus Maftuh Abegebriel
Penulis adalah diplomat Indonesia yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Arab Saudi.

Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)




(lus/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads