Tulisan ini sama sekali tidak terkait dengan kerawuhan Habib Umar bin Hafiz di Indonesia. Saya pribadi pernah bertemu beliau di Tarim ketika saya silaturrahim dengan para "santri garuda" yang talabul ilmi di Darul Mustofa dan Universitas Al-Ahqaf pada tahun 2011. Pada tahun tersebut, Yaman sedang perang saudara dampak dari Arab Spring (ar-rabi' al-arabi).
Pun, tulisan ini juga tidak ada hubungan dengan ributnya diskursus tentang nasab para habib yang mayoritas berdarah Hadhramaut. Tidak juga menyoroti nyambung tidaknya rantai nasab tersebut kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Meskipun, saya pernah dibesarkan dalam disiplin ilmu "Rijalul Hadis" yang objek kajian hampir mirip dengan penelusuran mata rantai nasab, saya tidak punya ilmu tentang nasab tersebut. Ilmu Rijalul Hadis memakai karya-karya seperti Tahzibul Kamal, Tahzibut Tahzib serta Taqribut Tahzib untuk mengukur valid tidaknya sebuah sanad hadis. Sementara ilmu nasab tidak memakai kitab-kitab ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tulisan ini hanya akan fokus ke kajian linguistik kata "Haba'ib" yang sudah sangat masyhur dan populer di tengah masyarakat Indonesia.
Bermula dari WhatsApp "Hai Mudabbis, kapan bisa ke rumah? Ada beberapa kitab kuning yang perlu dibacakan"; pesan WA dari guru sekaligus juga orang tua saya, KH. Malik Madaniy. Beliau biasa panggil saya dengan sebutan "mudabbis", Dubes pendobos. Istilah "mudabbis" sendiri memang saya ciptakan sendiri untuk menertawakan diri saya.
Sore itu saya langsung ke rumah Kiai Malik di jalan Jawa, Pringgolayan. Saya sudah paham kenapa saya dipanggil. Tugas saya adalah membacakan beberapa halaman kitab-kitab sebagai bentuk kekangenan Kiai Malik terhadap turas qadim. Kondisi kesehatan guru saya ini tidak memungkinkan untuk memegang kitab, apalagi yang formatnya besar dan berat. Sebenarnya saya keberatan, merasa su'ul adab (tak sopan), membacakan kitab di hadapan guru. Bismillah ini adalah perintah guru.
Setelah saya bacakan beberapa lembar kitab, beliau pun langsung melakukan resume-resume dari paragraf-paragraf tersebut. Ingatan beliau masih sangat cemerlang dan sikap kritisnya masih seperti beliau sebelum sakit.
Beliau lalu ngajak diskusi, mulai karyanya Ignaz Goldziher, Andrew Rippin sampai dengan Husein Dzahabi penulis at-tafsir wa al-mufassirun.
Jelang Maghrib, saya mau pamitan, Kiai Malik bilang: Mudabbis, 6 tahun tugas di Saudi apakah pernah dengar sebutan "haba'ib"? Saya jawab: saya tidak pernah mendengarnya dari kolega-kolega Saudi, baik dalam bahasa fusha (resmi) atau pun bahasa "Amiyah (pasaran, tak resmi). Lalu beliau minta saya buka almari dan ambilkan kitab berjudul Al-Misbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir.
"Tolong bukakan huruf kha," perintah Kiai Malik. Saya kepingin memastikan jamak (plural) dari kata habib itu apa? Tandas Kiai, intelektual dan dosen paling expert yang pernah saya jumpai dalam proses saya talabul ilmi.
Saya membuka dan membaca keras-keras tulisan Syeikh Ahmad Al-Muqri Al-Fayyumi tersebut yang kesimpulannya bentuk jamak dari habib itu bukan haba'ib tetapi ahibba'. Tolong telusuri referensi yang lain yang otoritatif seperti Al-Misbah al-Munir ini. Itulah perintah awal Kiai Malik untuk mengkaji linguistik kata haba'ib dari berbagai sumber.
Tulisan ini mengkaji gramatikal dalam penggunaan bentuk "haba'ib" sebagai jamak dari "habib", suatu fenomena yang umum dijumpai di kalangan Muslim Indonesia dan Asia Tenggara.
Berdasarkan kajian ilmu sharaf klasik, bentuk tersebut tidak sesuai dengan kaidah gramatikal bahasa Arab karena "haba'ib" adalah jamak feminin dari "habibah", bukan jamak maskulin dari "habib".
Bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur'an memiliki sistem morfologi (sharaf) yang sangat kaya dan kompleks. Salah satu aspek krusial adalah pembentukan kata jamak (plural), khususnya jamak taksir yang tidak beraturan. Dalam konteks pembelajaran bahasa Arab di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, terjadi banyak adaptasi linguistik yang memunculkan bentuk-bentuk tidak baku, salah satunya adalah penggunaan "haba'ib" sebagai bentuk jamak dari "habib".
Meskipun telah diterima luas secara sosial, dari sudut pandang gramatikal, bentuk ini termasuk ke dalam "dhalalah sharfiyyah" (ketersesatan morfologis), morphological error yang berpotensi menimbulkan kekeliruan dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa Arab.
Kiai Malik Nyenggol NU
Dalam diskusi sore itu Kiai Malik nanya saya: Anda sering mampir di Kramat Raya? Maksudnya PBNU. Saya jawab: Tidak pernah Syeikh (begitu saya sapa beliau). Wah Kammu (pakai dobel "M" khas Madura) ittu gak jelas NU-nya. Saya sedih dan menangis melihat PBNU sekarang ini; rintih Kiai Malik. PBNU sekarang ini seperti judul buku yang ditulis oleh Muhammad Muhammad Husein, "Husununa muhaddadatun min dakhiliha".
Judul buku setebal 255 halaman ini artinya "benteng-benteng pertahanan kami dihancurkan dan terancam dari dalam". Sebagai Kiai yang pernah menjadi Katib Aam, statement beliau sangat tajam dan menukik dengan ilustrasi judul buku dahsyat tersebut.
Saya pun menimpali: Syeikh sepertinya NU juga mirip judul buku yang ditulis Syeikh Abdul Qadir Audah yang diterbitkan oleh IIFSO (International Islamic Federation of Student Organizations). Judulnya: Al-Islam baina Jahli abna'ihi wa ajzi ulama'ihi, Islam antara ketidaktahuan pemeluknya dan ketidakmampuan ulamanya. Sedih ya Syeikh? Kiai Malik pun berkaca-kaca matanya.
Analisis Morfologi: Habib dan Jamaknya
Kata habib (حبيب) adalah isim sifat (sifah musyabbahah) atau isim faʿil (dengan pola فَعِيل) dan bersifat muzakkar (maskulin). Menurut kaidah sharaf klasik, bentuk jamaknya adalah: أحبّاء (ahibba') dan أحباب (ahbab). Yang terakhir dianggap jamak dari "al-hibb" bukan dari habib.
Sementara itu, kata habibah (حبيبة) adalah bentuk muʾannas (feminin) dari habib, dan jamaknya adalah: haba'ib (حبائب).
Dalam kitab Al-Misbah al-Munir karya al-Fayyumi dan Lisan al-Arab karya Ibnu Manzhur, disebutkan bahwa bentuk haba'ib tidak digunakan untuk maskulin. Oleh karena itu, penggunaan "haba'ib" sebagai jamak dari "habib" adalah bentuk penyimpangan dari kaidah gramatikal baku.
Lebih lanjut Al-Fayyumi memberikan tekanan jamak taksir dari wazan fa'il (فعيل) dan mudha'af (huruf ganda) seperti "habba, habib" "azza, aziz" maka jamaknya ke wazan "af'ila"(أفعلاء).
Asal Mula Penyimpangan
Fenomena penggunaan "haba'ib" diperkirakan mulai muncul di kalangan muslim non-Arab, khususnya di Indonesia, seiring berkembangnya komunitas Sayyid dan Ba 'Alawi sejak abad ke-18 hingga ke-20. Dalam budaya lokal, "habib" menjadi gelar kehormatan bagi para dzurriyah Nabi Muhammad SAW dan "haba'ib" pun dipakai secara luas dalam majelis, undangan, hingga media tanpa koreksi sedikitpun.
Penyimpangan ini bukan berasal dari tradisi linguistik Arab, melainkan dari adaptasi sosiolinguistik lokal yang tidak dibarengi dengan pendidikan gramatikal nahwu sharaf yang memadai. Akhirnya, bentuk yang salah kaprah menjadi bentuk baku secara sosial dan populer di masyarakat tanpa ada yang peduli salah benarnya.
Pengamatan saya terhadap dialek-dialek Arab menunjukkan bahwa di Mesir, Libanon, Syria, Yordan dan Teluk, kata "habayib" (bukan habaib) yang artinya sayangku, cintaku memang dipakai secara informal, tetapi tetap dipahami sebagai bentuk populer, bukan bentuk gramatikal baku dari "habib".
Dengan demikian, bahkan di dunia Arab, penggunaan "habayib" untuk mufrad "habib" tidak dianggap sah dalam konteks ilmiah.
Penggunaan bentuk "habaib" sebagai jamak "habib" memiliki dampak sebagai berikut:
Pertama: distorsi dan merusak kaidah nahwu sharaf, santri berpotensi menyerap bentuk yang kadung salah dan menabrak rambu-rambu gramatikal Arab.
Kedua: kebingungan dalam memahami teks klasik. Ketika membaca kitab-kitab Arab, santri akan salah memahami bentuk jamak taksir.
Ketiga: penurunan mutu kemampuan linguistik. Tradisi ilmiah bahasa Arab menjadi kabur akibat campur tangan khurafat-khurafat bahasa.
Epilog
Para ahli bahasa berkeyakinan bahwa Kitab Lisan al-Arab dan Al-Misbah al-Munir adalah dua kitab paling otoritatif dalam kajian linguistik Bahasa Arab baik aspek nahwu maupun sharafnya. Atau mungkin ada expert yang berpendapat kedua kitab tersebut tidak muktabar dan tidak bisa dijadikan rujukan. Monggo dipun uji.
Kalau saya seorang habib, saya akan tersinggung jika kata habib dijamakkan taksir (broken plural) menjadi haba'ib. Karena sebutan haba'ib akan mendistorsi dan menggerus kejantanan saya. Mosok laki-laki tulen gagah dipanggil dengan panggilan wanita. Haba'ib untuk wanita sementara ahibba' untuk laki-laki. Bisa kita lihat Al-Maidah; 18. Di situ ada evidence yang obvious.
Lagi pula idiom sosial, penyebutan haba'ib itu hanya ada di Asia Tenggara ini. Apa perlu nahwu dan sharaf khusus untuk kawasan ini dengan alasan sudah saatnya melakukan pendekatan "Zamkani" zaman plus makan, waktu dan tempat untuk memahami nahwu dan sharaf universal?
Boleh menjamakkan habib menjadi haba'ib jika kata "habib" itu bukan bahasa Arab. Bahasa Bantul atau bahasa Rejondani misalnya, boleh dijamakkan bebas seperti gawagis jamak dari gus-gus, anfalif jamak dari amplop, faraminah jamak dari freman (preman) dll.
Jika habib itu bahasa Arab, apa pun referensi linguistiknya, sulit untuk tidak mengatakan bahwa menjamakkan "habib" menjadi "haba'ib" adalah sebuah dholalah gramatikal, sesat nahwu sharaf. Lebih spesifik lagi sebuah morphological error.
Agus Maftuh Abegebriel
Dubes RI untuk Kerajaan Arab Saudi merangkap OKI, 2016 - 2021
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)
(kri/kri)
Komentar Terbanyak
Gencatan Senjata Israel-Hamas Tercapai, Takbir Menggema di Gaza
Ini yang Disepakati Israel dan Hamas untuk Akhiri Perang Gaza
2 Tahun Perang Gaza: 67 Ribu Warga Tewas, Rumah-Tempat Ibadah Hancur