Musala seharusnya menjadi ruang paling aman. Tempat seorang santri menundukkan kepala, merendahkan diri di hadapan Sang Pencipta. Namun ketika beton dan besi yang seharusnya menopang iman justru menjebak santri di bawah reruntuhan, pertanyaannya tidak hanya soal bangunan: apa lagi yang ikut runtuh? Tiga santri meninggal, 38 lainnya masih tertimbun, dan ribuan hati terguncang. Yang ambruk bukan sekadar fisik, tetapi juga rasa aman, kepercayaan, dan keyakinan kolektif masyarakat.
Tragedi ini bukan sekadar laporan statistik. Ia menegaskan satu prinsip dasar: semangat membangun, sebesar apa pun niatnya, tidak bisa menggantikan disiplin, ilmu, dan pengawasan. Pengalaman di Aceh dan Lombok menunjukkan polanya sama: meunasah dan musala yang roboh akibat penambahan bangunan tanpa perhitungan teknis. Niat baik, jika tidak diiringi ketelitian, bisa berakhir tragis. Bukankah setiap amal yang tulus juga menuntut tanggung jawab terhadap sesama manusia?
Sejarah peradaban menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan selalu membutuhkan keseimbangan antara niat dan ilmu. Candi Borobudur dan Prambanan bertahan berabad-abad karena presisi, distribusi beban, dan filosofi spiritual yang mendalam. Piramida Mesir dan Sphinx berdiri kokoh, bukti bahwa kesempurnaan fisik dan simbolik saling melengkapi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Tiongkok, Forbidden City dan Great Wall menunjukkan bahwa setiap batu dan tiang bukan sekadar elemen struktural, tetapi simbol nilai, identitas, dan tanggung jawab antargenerasi. Jika sejarah membuktikan bahwa ketelitian dan disiplin menjaga keberlanjutan, mengapa musala modern bisa runtuh karena abai pada prinsip-prinsip dasar ini?
Tragedi Sidoarjo mengingatkan kita bahwa amal jariyah tidak cukup berhenti pada niat semata. Niat membangun yang tulus pun dapat menjadi malapetaka bila amanah, pengawasan, dan disiplin teknis diabaikan. Rasulullah SAW bersabda: "Kullukum ra'in wa kullukum mas'ulun 'an ra'iyyatihi" - setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya (HR. Bukhari-Muslim). Al-Ghazali menekankan bahwa amal yang sahih harus disertai ilmu dan kehati-hatian; niat baik tanpa ilmu dapat sia-sia, bahkan membawa mudarat. Pelajaran moral ini menjembatani tragedi fisik dengan refleksi etis: membangun dengan niat baik harus selalu diiringi tanggung jawab, pengawasan, dan keahlian teknis.
Pemerintah memiliki peran penting untuk mencegah tragedi semacam ini terulang. Kegagalan sistemik terlihat dari lemahnya pengawasan, perizinan yang tidak tegas, dan minimnya pendampingan teknis bagi lembaga pendidikan berbasis masyarakat. Pesantren di pedesaan sering membangun fasilitas dari infak jamaah, sumbangan warga, atau bantuan dermawan. Keterbatasan sumber daya mendorong mereka mengutamakan kecepatan daripada ketelitian. Hadirnya pemerintah bukan hanya sebagai pemberi dana, tetapi juga sebagai penyedia tenaga profesional-insinyur, arsitek, pengawas-merupakan langkah konkret untuk memastikan setiap bangunan berdiri di atas fondasi aman.
Jika tragedi ini hanya dipandang sebagai "kecelakaan konstruksi", sejarah akan berulang. Ribuan musala, masjid, dan ruang belajar tetap rawan. Audit menyeluruh, penyederhanaan izin yang diiringi pendampingan teknis, dan edukasi konstruksi aman menjadi mutlak diperlukan. Negara lain, seperti Turki pasca-gempa Izmit 1999 dan Jepang, memperlakukan kuil maupun sekolah dasar setara dengan gedung perkantoran: disiplin, pengawasan, dan kesiapan menghadapi risiko menjadi bagian dari tanggung jawab kolektif.
Pesantren memegang peran strategis: pusat pendidikan, pembentukan karakter, dan benteng moral masyarakat. Ketika fasilitasnya runtuh, yang ambruk bukan hanya bangunan, tetapi rasa aman santri dan kepercayaan orang tua. Musibah ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk membangun sistem pendampingan yang nyata, sehingga niat baik tidak berubah menjadi duka.
Tragedi Sidoarjo menegaskan satu hal: amal jariyah tidak cukup hanya dengan niat. Kesalehan sosial menuntut ketelitian, pengawasan, dan ilmu. Musala yang ambruk menjadi simbol paradoks: dibangun dengan semangat keagamaan, tetapi runtuh karena abai pada prinsip kehati-hatian. Pahala yang diniatkan tidak akan lengkap tanpa amanah yang dijaga. Sejarah, filosofi, dan etika mengajarkan bahwa setiap amal, sekecil apapun, harus dijalankan dengan disiplin dan tanggung jawab, agar kebaikan yang dikehendaki benar-benar menyelamatkan, bukan merenggut.
Sebagai masyarakat, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah kita cukup hadir, tidak hanya dengan niat baik, tetapi juga dengan pengawasan, ilmu, dan tanggung jawab, agar tidak ada lagi yang jatuh di bawah reruntuhan niat kita sendiri?
Eko Ernada
Dosen FISIP Universitas Jember dan Pengurus BPJI-PBNU
Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
(kri/kri)
Komentar Terbanyak
Kemenhaj Rombak Sistem Antrean Haji, Tak Ada Lagi Masa Tunggu 48 Tahun
Antrean Haji Tiap Daerah Akan Dipukul Rata 26-27 Tahun
Bahlil Lahadalia Ditunjuk Jadi Ketua Dewan Pembina Pemuda Masjid Dunia