Di tengah riuh pembicaraan tentang keadilan sosial, sering kali kita terjebak pada perkara kecil: mana yang lebih terhormat, melunasi pajak, ataukah menunaikan zakat dan wakaf?
Padahal yang lebih urgen ialah memikirkan bagaimana ketiganya bisa bersinergi dan saling memantapkan untuk menghasilkan kesejahteraan kolektif yang berkelanjutan.
Catatan ini ingin mengajak kita merenungkan potensi luar biasa bila pajak, zakat, dan wakaf diatur sebagai satu ekosistem kolaboratif, bukan kompetitif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa melunaskan pajak sepadan mulianya dengan menunaikan zakat serta wakaf ialah peringatan moral sekaligus imbauan untuk berpikir dewasa sebagai bangsa.
Pajak lahir dari instruksi negara untuk menyediakan layanan khalayak untuk semua, sebaliknya zakat serta wakaf lahir dari agama dan kekompakan sosial yang mengikat komunitas. Keduanya memiliki jejak ideologis dan logika operasional yang berbeda, tetapi perbedaan itu justru dapat menjadi kekuatan besar bila disinergikan.
Informasi statistik menunjukkan kesempatan serta potensi besar yang belum dikerjakan secara optimal. Dalam catatan BAZNAS (2025), potensi zakat nasional mencapai kurang lebih Rp 327 triliun per tahun, tetapi realisasi agregasi lewat saluran resmi masih jauh di bawahnya. Ini menunjukkan sebagian besar potensi masih berada di luar jangkauan sistem resmi.
Nilai ini bukan hanya angka statistik. Ia menunjukkan bahwa apabila literasi dan akses diperkuat, kapasitas kesetiakawanan umat dapat menjadi solusi penting untuk menjawab persoalan kemiskinan serta kesenjangan sosial.
Di ranah wakaf, kajian Badan Wakaf Indonesia (BWI) membuktikan potensi wakaf uang yang amat besar. Catatan kajian terakhir (2025) menunjukkan potensi yang mencapai Rp 181 triliun per tahun, namun realisasinya masih kecil: hanya Rp 3,2 triliun yang sudah dimobilisasi secara efisien.
Modal abadi tersebut dapat menjadi sumber pembiayaan jangka panjang untuk pendidikan, layanan kesehatan, permukiman yang terjangkau, serta proyek-proyek lingkungan. Itu kalau diatur secara produktif. Tetapi untuk "membangunkan" potensi ini dibutuhkan manajemen modern, inovasi produk wakaf, serta peningkatan kepercayaan masyarakat.
Secara regulasi, dalam UU Nomor. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, titik temu telah ada: peraturan pengelolaan zakat menegaskan bahwa zakat yang disalurkan lewat badan penerima yang sah bisa dijadikan pengurang penghasilan kena pajak. Direktorat Jenderal Pajak juga mempublikasikan prosedur teknis supaya bukti setoran zakat bisa dilampirkan dalam SPT sebagai pengurang pajak (DJP, 2024).
Hal itu merupakan sampel riil bagaimana etika religius serta kepentingan fiskal bisa dipadukan secara berdaya tanpa menggerogoti peran negara dalam menyediakan layanan masyarakat universal.
Bila kita sungguh-sungguh mau menerjemahkan retorika jadi praktik, tahapan-tahapan efisien menanti. Bayangkan sistem digital terpadu di mana dompet zakat serta saluran wakaf tercatat otomatis dalam sistem perpajakan, maka sumbangan masyarakat akan tercatat secara transparan dan berpengaruh pada kalkulasi pajak.
Teknologi fintech, payroll deduction, micro-wakaf, serta platform crowdfunding wakaf dapat mengubah donasi kecil jadi modal sosial bernilai besar.
Akan tetapi inovasi teknologi mesti diiringi penguatan regulasi: insentif fiskal yang nyata untuk sumbangan masyarakat yang terverifikasi, syarat tata kelola yang cermat untuk penerima, dan audit serta pelaporan yang gampang diakses masyarakat.
Insentif semata tidak cukup tanpa alas kelembagaan. Zakat dan wakaf perlu diatur dengan standar akuntansi, audit, serta pelaporan setara standar manajemen publik untuk meningkatkan kepercayaan.
Pada saat warga dapat merasakan hasil nyata, misalnya sekolah yang terbangun dari wakaf produktif ataupun layanan kesehatan dasar yang dibantu zakat. Apabila sampai pada titik ini, partisipasi masyarakat akan berkembang karena adanya kebanggaan, bukan semata-mata kewajiban. Kepercayaan seperti itulah yang menjadi mata uang penting untuk menggerakkan potensi besar zakat dan wakaf yang selama ini "tertidur".
Visi yang dapat ditawarkan simpel saja, tetapi penting bahwa pajak melindungi keberlanjutan layanan masyarakat universal, zakat merespons keperluan mendesak dengan pendekatan empatik. Adapun wakaf menjadi instrumen modal abadi untuk infrastruktur sosial jangka panjang.
Ketiganya tidaklah menegasikan satu sama lain, melainkan saling melengkapi. Kebijakan publik yang cemerlang dapat mendesain prosedur supaya kontribusi sukarela diberi penghargaan fiskal yang seimbang, tanpa mengurangi tanggung jawab negara dalam penyediaan layanan kolektif.
Ungkapan Menteri Keuangan Sri Mulyani membuka pintu diskusi. Kewajiban kita saat ini ialah menuntun pintu itu ke koridor kebijakan yang riil. Misalnya berupa integrasi sistem, konsep insentif yang seimbang, penguatan kapasitas institusi, serta literasi masyarakat yang mesti berjalan bergandengan secara simultan.
Hanya dengan cara seperti itu, ungkapan bahwa pajak "sepadan mulianya" dengan zakat dan wakaf bakal berhenti pada retorika serta berubah jadi kompas untuk penerapan kebijakan yang sanggup menenun keadilan sosial secara sistemik.
Akhirnya, pada saat ekosistem itu terbangun, warga negara tidak lagi hanya merasa "telah berkontribusi pada negara". Mereka bakal memandang kontribusi sebagai aksi kolektif yang menciptakan masa depan bersama, dari hati dan melalui struktur yang berdaya.
Di situlah perserupaan moral antara pajak, zakat, serta wakaf mencapai arti paling dalam, bukan hanya berhenti sebagai semboyan kosong, melainkan menjadi alas nyata untuk kehidupan bersama yang jauh lebih terhormat.
--
Tatang Astarudin
Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI), Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)
(kri/kri)
Komentar Terbanyak
Rekening Isi Uang Yayasan Diblokir PPATK, Ketua MUI: Kebijakan yang Tak Bijak
Rekening Buat Bangun Masjid Kena Blokir, Das'ad Latif: Kebijakan Ini Tak Elegan
Ayu Aulia Sempat Murtad, Kembali Syahadat karena Alasan Ini