Dalam filosofi Taoisme ada dikenal konsep Yin-Yang yang merupakan dua unsur keberadaan yang berlawanan tapi saling melengkapi. Yang adalah unsur Cahaya digambarkan dengan warna putih, bergerak naik berpadu dengan Yin yaitu kegelapan yang digambarkan dengan warna hitam dan bergerak turun. Konsep Yin-Yang biasanya digunakan untuk mendeskripsikan sifat kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan di dunia ini dan bagaimana mereka saling membangun satu sama lain. Namun demikian, biasanya konsep ini tidak memperhitungkan sesuatu yang baik atau jahat dan penilaian moral, dalam kaitannya dengan konsep keseimbangan.
Secara semantik, Yin adalah tempat yang teduh, sementara Yang adalah tempat yang terang atau cerah. Mereka hanyalah dua aspek realitas yang sebenarnya berdiri sendiri. Dan masing-masing mengandung unsur dari yang lainnya, karena itu terdapat titik hitam dari Yin pada bagian putih dan begitu juga sebaliknya. Yin dan Yang tidak hanya sekedar saling menggantikan, namun mereka menyatu satu sama lain melalui aliran konstan alam semesta.
Konsep keseimbangan dalam Islam dikenal sebagai tawazun, yang dalam al-Quran kata ini terwakili oleh al-mizan yang berarti neraca keadilan (QS Ar-Rahman 7). Dalam konteks kehidupan sosial al-Quran menggunakan kata wasathâ atau biasa kemudian digunakan istilah tawasuth yang artinya moderat atau bersikap tengah-tengah (QS Al-Baqarah 143), tetapi konsep ini tidak diperbincangkan dalam soal moralitas seperti kebaikan dan keburukan. Karena kebaikan dan keburukan garis pemisahnya amat tegas, al-Quran menggunakan istilah al-Haq (kebenaran) dan al-Bâthil (kebatilan) seperti tercantum dalam QS Al-Baqarah 42 atau juga menggunakan istilah ath-thayyib (kebaikan) dan al-khabîts (keburukan) seperti termaktub dalam QS Al-Maidah 100.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila kita mau telaah konsep keseimbangan ini sebenarnya ada dalam kajian tentang an-nafs atau jiwa, di mana al-Quran setidaknya menyebut tiga jenis jiwa manusia. An-nafs al-ammarah (QS Yusuf 53), an-nafs al-lawwamah (QS al-Qiyamah 2) dan an-nafs al-muthmainnah (QS al-Fajar 27-30).
Para ulama memang berbeda pendapat dalam mengartikan kata an-nafs ini, ada yang mengartikannya sebagai ruh ada juga yang menerjemahkannya sebagai jiwa. Ibnu Manzhur yang menulis kitab Lisân al-'Arab membagi nafs pada dua makna; nafs al-'aql dan nafs ar-rúh. Hilangnya nafs akal menyebabkan manusia tidak dapat berpikir namun ia tetap hidup, ini terlihat ketika manusia dalam keadaan tidur. Sedangkan hilangnya nafs ruh, menyebabkan hilangnya kehidupan alias mati. Kata nafs menjadi hilang konteksnya bila diterjemahkan sebagai nafsu yang pada umumnya berarti syahwat, bersifat pejoratif dan berkonotasi seksual. Padahal kata nafs yang bermakna nafsu itu sendiri bersifat netral, bisa baik dan buruk, boleh jadi kata "nafsu" ini merupakan pengaruh dari teori Sigmund Freud yang mengatakan bahwa nafsu (libido) adalah energi psikis yang mengendalikan manusia.
Pengendalian Diri
Dalam konteks an-Nafs sebagai jiwa atau kerap saya sebut sebagai akal budi ini terdapat titik kesamaan dengan konsep keseimbangan sebagaimana konsep Yin-Yang.
Al-Quran tidak memerintahkan kita untuk menghilangkan nafsu, ia mengajarkan kita untuk mengendalikannya. Karenanya, ketiga nafsu yang saya sebutkan di atas harus tetap ada dalam jiwa manusia namun dengan catatan ketiganya di bawah kendali kita. Akal budi harus mengendalikannya. Proses pengendalian ini membutuhkan latihan-latihan yang intensif dan konsisten.
Di antara latihan yang intensif dan konsisten itu adalah puasa. Puasa benar-benar efektif mengajarkan pengendalian diri dan kemudian pada akhirnya mengajarkan konsep keseimbangan. Misalnya latihan menahan marah. Ada hadits Nabi SAW yang mengajarkan demikian;
"Jika sedang berpuasa, maka janganlah salah seorang dari kalian berkata keji, membuat kegaduhan, dan jangan pula berbuat bodoh. Jika ada seseorang mencacinya atau mengajaknya bertengkar, maka hendaklah ia mengatakan; 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa.'" (HR. Bukhari).
Berdasarkan hadits ini, jika ada seseorang mencaci-maki atau mengajak bertengkar padahal kita tengah berpuasa, maka kita dianjurkan untuk mengatakan: "Sesungguhnya aku sedang berpuasa."
Hal ini mengandung dua hikmah:
Pertama, untuk memberi tahu kepada orang yang mencaci bahwa orang yang dicacinya tidak mau meladeni bukan karena lemah melainkan karena ia sedang berpuasa.
Kedua, mengingatkan kepada orang yang mencaci-maki bahwa orang yang sedang berpuasa tidak boleh mencaci-maki orang lain. Hal ini mengandung arti, dia dilarang mencaci-maki.
Kemampuan mengendalikan diri ini juga diajarkan dalam hal makan dan minum. Jika di luar bulan Ramadhan, kita hanya dilarang konsumsi makanan dan minuman yang diharamkan, tetapi di saat berpuasa kita dilarang makan dan minum meskipun itu makanan dan minuman yang halal. Iya, meskipun halal tetapi waktunya belum dibolehkan. Ada durasi di mana kita diajarkan untuk menahan diri. Hal ini juga diatur untuk hubungan suami istri, baru dibolehkan, jika sudah datang waktu berbuka puasa.
Pengendalian diri ini juga berlaku untuk menahan nafsu "kemarahan" yang menuntut orang lain agar menghormati kita yang sedang berpuasa. Memang agak sulit, tetapi ini ajaran yang keren. Cobalah untuk merasakan kelezatan menghormati mereka yang tidak berkewajiban berpuasa, niscaya kita akan menikmati ketulusan puasa yang kita lakukan.
Saya simpulkan dalam dua quotes;
Kemarahan itu menutup pintu rahmat dan pengendalian diri membuka pintu itu kembali.
Jadikanlah akal budi sebagai komandan agar liarnya nafsu terpenjara sebagai tawanan.
Ahmad Nurul Huda Haem
Penulis adalah Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU dan Pengasuh Pondok Pesantren Motivasi Indonesia
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
Ketum PBNU Gus Yahya Minta Maaf Undang Peter Berkowitz Akademisi Pro-Israel
MUI Serukan Setop Penjarahan: Itu Bentuk Pelanggaran Hukum
Siapa yang Akan Jadi Menteri Haji dan Umrah?