Retret Kepemimpinan, Riyadhah Kebangsaan ala Prabowo Subianto

Kolom Hikmah

Retret Kepemimpinan, Riyadhah Kebangsaan ala Prabowo Subianto

Wardi Taufiq - detikHikmah
Sabtu, 15 Mar 2025 20:01 WIB
Wardi Taufiq, Pengurus PP Ikatan Sarjana NU
Wardi Taufiq. Foto: Dok Wardi Taufiq
Jakarta -

Retret kepemimpinan baru saja usai, tidak lama sebelum bulan Ramadan tiba. Dalam bahasa agama, retret itu bisa disebut riyadhah kebangsaan ala Prabowo Subianto. Kegiatan orientasi dengan ber-'uzlah sejenak dari keramaian. Di sebuah tempat yang jauh dari ibu kota, para pemimpin berkumpul di Akmil Magelang.

Mereka datang ke Magelang bukan untuk rapat biasa, tapi untuk mengikuti kegiatan maha penting. Di sana digembleng dengan bekal kepemimpinan lahir dan batin. Mereka disiapkan menjadi nahkoda kapal dengan bendera Asta Cita.

Kini, masuk bulan suci, saatnya kembali menajamkan pertanyaan: Apakah kepemimpinan ini sudah amanah? Apakah kebijakan itu sudah adil? Bagaimana nasib pendidikan bangsa ini ke depan?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tafakkur: Merenung dalam Keheningan

Saat itu, malam mulai larut, suasana Akmil diliputi keheningan, seorang pemimpin menatap laporan di tangannya, dan berkata. "Angka-angka ini terlihat bagus, tapi apakah rakyat benar-benar sejahtera? Di balik grafik pertumbuhan, tidak sedikit yang masih berjuang untuk sesuap nasi."

Retret itu ingin mengajak para pemimpin sadar, keputusan yang dibuat bukan hanya tentang hitungan angka-angka, tetapi tentang nasib jutaan jiwa. Bukan juga hiruk pikuk politik, tapi kebijakan yang lebih berdampak.

ADVERTISEMENT

Penting buat mereka untuk merenung, muhasabah, dan melakukan refleksi mendalam tentang kondisi sesungguhnya. Kebijakan ekonomi yang tampak sukses di atas kertas ternyata belum benar-benar menjangkau semua lapisan masyarakat.

Rakyat tahu, pemimpin itu penting mengikuti retret, seperti halnya dulu Nabi Muhammad ﷺ di Gua Hira. Bukan untuk lari, tapi untuk taffakur lebih dalam. Mereka harus sadar, dalam setiap pengambilan kebijakan perlu merenungkan titah ilahi ini:

"Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil." (QS. An-Nisa: 58).

Titah ilahi itu untuk mengetuk hati. Amanah kepemimpinan harus dijalankan dengan keadilan. Bukan sekadar strategi. Bukan juga sekadar angka. Kebijakan yang baik bukan hanya yang efektif secara administratif, tetapi juga yang selaras dengan nilai-nilai ilahi.

Tazkiyatun Nafs: Membersihkan Hati dari Ego

Dalam momen riyadhah kebangsaan itu, seorang peserta angkat bicara: "Kadang kita terlalu sibuk membangun jalan, tetapi apakah hati rakyat benar-benar merasakan kesejahteraan?"

Tidak ada keraguan, infrastruktur itu sangat penting. Namun buat rakyat, kepemimpinan bukan sekedar tentang hal itu, apalagi cuma pencitraan. Tapi tentang keikhlasan. Tentang ketulusan melayani.

Itulah makna dari raut wajah Prabowo Subiato di balik ide retret itu, tak lain dan tak bukan adalah soal keikhlasan dan ketulusan. Para pemimpin ditantang untuk mencontoh Khalifah Umar bin Khattab yang selalu turun langsung ke lapangan untuk menjawab keluhan rakyatnya.

Dalam riyadhah kebangsaan itu, semua peserta diberikan waktu sendiri. Tanpa ponsel, tanpa asisten. Hanya dengan pena dan kertas. Mereka menuliskan pertanyaan untuk diri sendiri: "Apa yang telah aku lakukan untuk rakyat?" Seperti Nabi ﷺ di Gua Hira, mereka mencari jawaban dalam keheningan.

Salah seorang peserta berkata, "Kadang kita perlu menjauh dari kebisingan politik agar bisa berpikir lebih jernih". Riyadhah kebangsaan ala Presiden ini bukan berarti meninggalkan tugas. Tapi ini 'uzlah yang hakiki. Agar saat memimpin, hati lebih bersih, teguh dalam mengimplementasikan program Asta Cita untuk rakyat.

Nabi Muhammad ﷺ pernah melakukan itu. Beliau menjauh dari masyarakat Quraisy yang penuh dengan praktik jahiliyah, bukan untuk meninggalkan mereka, tetapi untuk kembali sebagai pemimpin yang membawa perubahan besar.

Tentu Ramadan kali ini juga sarana dari cerita tentang retret spiritual itu. Menjauh sejenak dari tekanan duniawi agar bisa kembali dengan energi dan visi yang lebih segar.

Dari Retret Menuju Aksi Nyata

Retret telah berakhir. Tapi ini bukan akhir. Ini awal dari kesadaran baru untuk aksi nyata senyata-nyatanya demi rakyat. Mereka kembali ke kantor masing-masing bukan untuk merapikan dasi tapi untuk mewujudkan janji. Tentu dengan hati yang lebih jernih. Dengan niat yang lebih tulus dan ikhlas.

Riyadhah kebangsaan itu bukan hanya tentang strategi dan kebijakan, melainkan juga tentang perlunya aksi nyata. Ini adalah waktu yang tepat untuk meneguhkan komitmen kebangsaan itu. Karena kepemimpinan bukan hanya soal jabatan. Tapi juga tentang pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

Sudah saatnya, apalagi di Bulan suci, para pemimpin merenungi amanah dan mencari jalan untuk membangun negeri dengan lebih bijaksana. Kita jadikan bulan suci ini sebagai perjalanan batin untuk menyucikan niat, memperdalam kebijaksanaan, dan memperbaiki hubungan dengan rakyat dengan melakukan aksi nyata.

Wardi Taufiq, M.Si.

Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
Ketua Pelaksana LSP Pariwisata Syariah Indonesia

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)




(kri/kri)

Hide Ads