Ramadhan: Jembatan Persahabatan Dunia

Kolom Hikmah

Ramadhan: Jembatan Persahabatan Dunia

Eko Ernada - detikHikmah
Rabu, 05 Mar 2025 12:02 WIB
Eko Ernada Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember, anggota Badan Pengembangan Jaringan Internasional (BPJI-PBNU).
Foto: Dokumentasi Eko Ernada
Jakarta -

Di tengah dunia yang semakin bergejolak, ketegangan geopolitik, populisme berbasis agama, dan ketimpangan sosial-ekonomi menciptakan jurang yang semakin dalam antarbangsa dan kelompok masyarakat. Dari perang yang berkecamuk di Timur Tengah hingga meningkatnya retorika supremasi di negara-negara Barat, agama sering kali dijadikan alat untuk memperkuat dominasi politik dan memperdalam polarisasi. Sementara itu, ketidakadilan ekonomi dan sosial semakin memperlebar kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, baik di tingkat individu maupun antarnegara.

Dalam situasi yang penuh konflik dan ketidakpastian ini, Ramadhan hadir sebagai sebuah perenungan kolektif yang menawarkan alternatif bagi dunia yang terpecah. Bulan suci ini bukan hanya tentang ibadah personal, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keadilan sosial, empati, dan solidaritas yang dapat menjadi dasar bagi upaya membangun persahabatan dan perdamaian dunia. Jika nilai-nilai Ramadhan benar-benar dihayati dan diterapkan dalam kehidupan sosial dan politik global, mungkin dunia akan lebih dekat dengan harmoni daripada perpecahan.

Ramadhan mengajarkan kita untuk menahan diri, tidak hanya dari lapar dan haus, tetapi juga dari egoisme, amarah, dan prasangka. Dalam dunia yang sering kali digerakkan oleh kepentingan individu dan nasionalisme sempit, puasa mengingatkan kita bahwa kita hanyalah bagian kecil dari umat manusia yang lebih besar. Kita diajak untuk merasakan penderitaan mereka yang kekurangan, mengasah kepekaan sosial, dan bertindak lebih adil dalam kehidupan sehari-hari. Inilah esensi Ramadhan: sebuah latihan spiritual yang tidak hanya memperkuat hubungan kita dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama manusia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai inisiatif lintas agama telah mengambil momentum Ramadhan untuk membangun jembatan persahabatan. Di Amerika Serikat dan Eropa, tradisi "Iftar Antaragama" telah menjadi sarana efektif untuk mempertemukan pemimpin Muslim, Kristen, Yahudi, dan agama lain dalam suasana kebersamaan. Di Indonesia, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kerap menyelenggarakan buka puasa bersama guna memperkuat solidaritas sosial. Sementara itu, di negara-negara seperti Turki dan Qatar, bantuan kemanusiaan selama Ramadhan tidak hanya ditujukan bagi Muslim, tetapi juga untuk komunitas lain yang membutuhkan, menunjukkan bahwa nilai kepedulian dalam Islam bersifat universal.

Momentum Ramadhan juga dimanfaatkan oleh organisasi internasional untuk memperkuat solidaritas global. UNHCR secara rutin mendistribusikan bantuan makanan kepada pengungsi Suriah dan Rohingya selama bulan suci ini. ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization) menginisiasi berbagai program pendidikan dan pemberdayaan ekonomi yang menargetkan komunitas kurang mampu, memperlihatkan bagaimana Ramadhan dapat menjadi momentum bagi perubahan sosial. Dalam skala yang lebih luas, berbagai negara dengan populasi Muslim besar menggunakan Ramadhan sebagai momentum diplomasi budaya, memperkenalkan Islam sebagai agama yang menekankan kedamaian dan kebersamaan.

ADVERTISEMENT

Dalam konteks perdamaian, Ramadhan sering kali menjadi momen bagi komunitas yang berkonflik untuk meredakan ketegangan dan memulai dialog damai. Di beberapa negara, gencatan senjata atau upaya diplomasi kerap diinisiasi selama bulan suci ini sebagai bagian dari penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual yang dijunjung tinggi. Ramadhan menjadi waktu refleksi bagi semua pihak, baik pemerintah, masyarakat sipil, maupun individu, untuk melihat ke dalam diri dan bertanya: bagaimana kita bisa menjadi agen perdamaian?

Namun, refleksi atas Ramadhan tidak berhenti pada aspek sosial dan ekonomi saja. Ramadhan juga merupakan panggilan untuk merenungkan sejauh mana kita telah menjalani kehidupan dengan penuh kebajikan dan kedamaian. Dalam dunia yang dipenuhi kebencian dan konflik, Ramadhan menjadi pengingat bahwa perdamaian bukan sekadar slogan, tetapi sebuah prinsip hidup yang harus diperjuangkan. Kita dituntut untuk memulai dari diri sendiri-dari cara kita berbicara, bersikap, hingga bagaimana kita memperlakukan orang lain. Keheningan di saat sahur dan berbuka menjadi ruang bagi perenungan, di mana kita bertanya kepada diri sendiri: apakah kita telah menjadi pribadi yang lebih baik dari hari kemarin?

Dalam konteks spiritual, Ramadhan menekankan pentingnya kesabaran dan menahan diri, dua nilai yang krusial dalam upaya meredakan ketegangan global. Seperti yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali, "Puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan diri dari kebencian dan permusuhan." Selain itu, Al-Qur'an menegaskan dalam Surah Al-Hujurat ayat 13: "Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal." Ayat ini menegaskan bahwa Islam menempatkan keberagaman sebagai dasar bagi persahabatan dunia.

Namun, tantangan tetap ada. Islamofobia yang meningkat di beberapa bagian dunia masih menjadi penghalang bagi upaya membangun persahabatan melalui Ramadhan. Di beberapa negara Eropa, kebijakan yang membatasi kebebasan beribadah bagi Muslim, seperti larangan hijab atau pembatasan pembangunan masjid, menunjukkan bahwa masih ada prasangka yang harus diatasi. Di sisi lain, dalam beberapa komunitas Muslim sendiri, interpretasi yang sempit terhadap agama dapat menghambat keterbukaan terhadap dialog dan kerja sama lintas budaya.

Maka dari itu, penting bagi umat Islam untuk terus menampilkan wajah Islam yang damai dan inklusif, terutama melalui momentum Ramadhan. Dengan mengedepankan nilai-nilai universal seperti kasih sayang, keadilan, dan solidaritas, Ramadhan dapat menjadi alat yang ampuh dalam memperkuat hubungan antarindividu, masyarakat, dan negara. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh konflik dan ketidakpercayaan, bulan suci ini dapat menjadi pengingat bahwa persahabatan dan harmoni adalah tujuan yang dapat dicapai jika kita benar-benar mengamalkan esensi dari ibadah yang kita jalankan.

Di penghujung Ramadhan, kita diingatkan bahwa kebaikan bukan hanya untuk satu bulan, melainkan harus terus dilanjutkan sepanjang tahun. Ramadhan bukan sekadar ritual, tetapi sebuah proses transformasi diri yang harus berlanjut dalam kehidupan sehari-hari. Dunia yang kita tinggali saat ini mungkin tidak akan berubah secara instan, tetapi dengan setiap langkah kecil menuju kebaikan-dari berbagi makanan dengan yang membutuhkan hingga membangun dialog lintas agama-kita telah berkontribusi dalam menciptakan dunia yang lebih damai dan berkeadilan. Ramadhan, dengan segala nilai dan refleksinya, mengajarkan bahwa harapan akan dunia yang lebih baik selalu ada, selama kita mau berjalan ke arah itu bersama.

Eko Ernada

Penulis adalah Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember, anggota Badan Pengembangan Jaringan Internasional (BPJI-PBNU).

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)




(erd/erd)

Hide Ads