Surga biasa dibayangkan baru bisa dinikmati setelah mati. Nanti jauh di alam sana. Benarkah?
Boleh jadi sebagian orang, atau bahkan sebagian besar orang melihat surga dari sisi pandang seperti itu. Apa sebenarnya hakikat surga? Bukankah surga suatu perlambang kebahagiaan sempurna? Di surga orang tidak perlu gaduh-gelisah, semua kebutuhan sempurna terpenuhi. Surga menyiratkan gambaran teduh, sejuk, semilir angin, kicau burung, gemericik suara air , pepohonan rindang, taman-taman bunga dan para pelayan yang santun dan good looking.
Ada dipan-dipan sofa berkasur empuk, berbantal tebal, tempat duduk, tempat bertelekan dan bersandar. Ruang pertemuan dilapisi permadani tebal. Mereka yang di dalam surga memakai pakaian yang serba mewah serta perhiasan serba mahal. Di hadapan mereka ada minuman yang tidak pernah memabukkan. Termuat dalam gelas-gelas indah yang harganya sulit dirupiahkan. Tersedia berbagai makanan yang lezat dan tidak pernah membuat kekenyangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Duduk di sana dalam perjumpaan yang saling berhadapan. Beradu pandang membicarakan percakapan yang berisikan pujian, syukur dan kepuasan. Ridlo atas setiap keputusan Tuhan. Sungguh suasana kehidupan yang setiap orang pasti inginkan.
Apakah yang demikian hanya di surga akhirat sana? Tidakkah kebahagiaan itu justru dibutuhkan sejak di dunia ini? Sejatinya surga yang sebenarnya memang menunggu pergantian alam. Setelah alam dunia ini berganti dengan alam akhirat nanti. Tapi itu surga akhirat.
Namun, bukankah hakikat surga itu adalah kebahagiaan yang sebenarnya. Bukan kebahagiaan fatamorgana akibat psikotropika dan yang sejenisnya. Gambaran surga dunia mestinya mendekati gambaran surga sesungguhnya di akhirat nanti. Ialah kehidupan yang menyenangkan. Sukses gampang diraih. Kebutuhan serba tersedia secara lapang. Hidup tenang dan selalu senang. Kebahagiaan yang sungguh menjadi idaman setiap insan.
Kalau begitu mengapa harus nanti menunggu di akhirat, bukankah kebahagiaan itu dibutuhkan di dunia ini. Sebelum kebahagiaan yang kekal nanti di akhirat sana?
Lalu bagaimana caranya supaya seorang mampu memperoleh kehidupan surga di dunia ini? Seberapa mahal, seberapa sulit?
Semestinya tidak mahal, juga tidak sulit jika mau. Kecuali enggan. Lalu bagaimana caranya? Gampang! Sempurnakan bakti siapa pun kepada orang tuanya. Kepada mereka berdua Ayah-Ibu kalau mereka masih lengkap. Atau salah satunya jika satunya sudah wafat.
Bagaimana cara berbakti kepada kedua orang tua itu? Gampang, lakukan kebalikan dari sikap durhaka, itulah sikap bakti kepada orang tua!
Bertumpuk fakta empiris menyediakan bukti nyata di dalam kehidupan sehari-hari. Siapa pun di antara sejumlah saudara seayah-seibu yang paling bagus bakti kepada orang tuanya, dialah yang paling nyaman hidupnya. Kalau dia masih pelajar atau mahasiswa, maka prestasi di sekolahnya bagus. Mudah menangkap materi kuliah, gampang lulus. Kalau dia pebisnis. Maka bisnisnya lancar, untung berlipat, usahanya melesat sesuai dengan kualitas baktinya kepada orang tuanya. Beberapa perusahaan nomor satu di Indonesia dikendalikan oleh orang-orang yang bakti kepada orang tuanya sulit ditandingi.
Akan tetapi, bisa jadi ada beberapa anak yang malah durhaka, tetapi terlihat seperti cemerlang, bisa dipastikan kecemerlangannya hanyalah nisbi. Boleh jadi tampilan fisik kelihatan bagus, sedang jiwanya parah menderita.
Sikap durhaka bisa meliputi:
Menimbulkan gangguan terhadap orang tua baik berupa perkataan (ucapan) ataupun perbuatan yang membuat orang tua sedih dan sakit hati.
Berkata 'ah' dan tidak memenuhi panggilan orang tua.
Membentak atau menghardik orang tua.
Bakhil (pelit), lebih mementingkan yang lain dari pada orang tuanya.
Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.
Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua.
Mencaci atau menjadi sebab orang tua dicaci orang.
Membelalakkan mata.
Kesulitan yang mereka peroleh di dunia sebenarnya hanyalah sedikit, sebagai pengantar kesulitan yang akan menyambutnya di akhirat. Mereka yang durhaka: shalatnya tidak diterima, dibenci Allah, diharamkan masuk surga, segala amal perbuatannya dihapus, dosa-dosanya tidak diampuni, bahkan mendapatkan azab di dunia"
Fakta empiris anak-anak yang berbakti kepada orang tuanya.
Tak kurang sejumlah besar konglomerat Indonesia menempati papan atas nama-nama terkenal. Mereka memiliki dan memimpin perusahaan-perusahaan ternama bukan karena bekal kuliahan. Bukan karena produk pendidikan Universitas Paman Sam. Tapi lebih karena mereka memuliakan para orang tuanya melebihi siapa pun. Kisah mereka bertebaran di kanal You Tube atau media sosial yang lain.
Sikap mereka kepada para karyawan pun terkenal menawan. Akibat santun dan sopan kepada para orang tuanya, berimbas kepada kebaikan sikapnya pada para karyawan.
Tokoh-tokoh dunia internasional yang serupa dengan mereka pun tak kurang hitungan. Di seluruh dunia, global. Mereka adalah tokoh-tokoh yang sangat berbakti kepada para orang tuanya. Bakti itu menjadi pemantik sukses siapa pun di seluruh dunia. Tidak terkait suku, ras atau tidak terkait atribut apa pun.
Ada bimbingan Rasulullah yang memang bersifat universal, bimbingan kepada siapa pun yang menginginkan hidup di dunia ini laksana hidup di surga. Hidup bahagia sejahtera, selalu mendapat kemudahan menuju sukses, sukses berlimpah, hati tenang dan selalu senang. Selalu puas dalam ridlo Tuhan.
"Celakalah seorang hamba, jika mendapati kedua atau salah satu orang tuanya masih hidup, namun keberadaan kedua orang tuanya tidak membuatnya masuk ke dalam surga [berkehidupan surgawi-terjemah]." Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah RA.
Melalui hadits ini, rupanya bakti anak kepada orang tua merupakan indikator apakah dia termasuk orang yang benar shalih atau hanya fatamorgana. Bagaimana tidak, jika kepada orang yang paling berjasa saja di dalam hidupnya dia tidak mampu berterimakasih, kepada siapa lagi yang dia pantas melakukannya. Andai dia mendahulukan berterimakasih selain kepada orang tuanya, maka di manakah letak logika sehatnya? Mendahulukan yang bukan pantas daripada yang pantas.
Wajar kalau Rasulullah mengingatkan dosa besar durhaka kepada orang tua itu nomor dua setelah dosa syirik, menyekutukan Allah. "Maukah kalian kuberi tahu tentang dosa paling besar? Yaitu, syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua." Hadits diriwayatkan dalam Ash-Shahihain dari Abu Bakar RA
Semoga setiap kita berebut menikmati kehidupan surgawi dunia-akhirat. Buktikan bahwa kita bukan yang enggan, melalui menyempurnakan bakti kepada orang tua!
Abdurachman
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya.
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
Ada Penolakan, Zakir Naik Tetap Ceramah di Kota Malang
Sosok Ulama Iran yang Tawarkan Rp 18,5 M untuk Membunuh Trump
Respons NU dan Muhammadiyah Malang soal Ceramah Zakir Naik di Stadion Gajayana