Alasan Dakwah Sunan Ampel Mudah Diterima oleh Penduduk Jawa

Alasan Dakwah Sunan Ampel Mudah Diterima oleh Penduduk Jawa

Jihan Najla Qatrunnada - detikHikmah
Minggu, 12 Nov 2023 17:00 WIB
wali songo
Ilustrasi Sunan Ampel dan alasan kenapa dakwahnya mudah diterima penduduk Jawa. Foto: Ilustrasi: Fauzan Kamil
Jakarta -

Sunan Ampel berdakwah di tengah masyarakat Jawa yang kala itu masih kental dengan budaya Hindu-Buddha. Meski demikian, dakwah Sunan Ampel mudah diterima oleh penduduk Jawa. Apa alasannya?

Sebagai seorang muslim di Indonesia, terutama tanah Jawa, tentu kita tidak asing dengan nama Sunan Ampel. Ia termasuk dalam salah satu sunan di deretan nama-nama wali songo yang ada di Jawa.

Sunan Ampel adalah keturunan ke-12 dari Husein bin Ali RA. Ia memiliki nama asli Ali Rahmatullah dan merupakan anak dari Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim dengan Putri Champa, sebagaimana dijelaskan dalam buku Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa karya Alik Al Adhim.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sunan Ampel lahir pada tahun 1401 di Campa, Aceh. Ia memiliki akhlak dan akidah yang sama dengan ajaran Islam sebab ia dibesarkan dalam keluarga yang kental keislamannya.

Disebutkan dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam karya Yusak Burhanudin dan Ahmad Fida', Sunan Ampel adalah salah satu wali yang berdakwah di tanah Jawa, tepatnya di kota Surabaya.

ADVERTISEMENT

Setelah pindah ke Jawa Timur, ia sering disebut dengan nama Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Ia memiliki kepribadian yang alim, bijaksana, dan berwibawa.

Sunan sendiri adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat untuk kewaliannya, sedangkan Ampel adalah tempat tinggalnya, yakni di daerah Ampel atau Ampel Denta.

Saat ini wilayah Ampel menjadi bagian dari Surabaya. Setelah wafat, Sunan Ampel dimakamkan di tempat yang sama, yaitu sebelah barat Masjid Ampel.

Ajaran Sunan Ampel sangat mudah diterima oleh masyarakat Jawa kala itu. Padahal kebudayaan Hindu-Buddha masih kental di antara mereka. Lantas, apa yang membuatnya demikian?

Alasan kenapa dakwah Sunan Ampel mudah diterima oleh penduduk Jawa adalah karena ia menggunakan pola pengajaran tasawuf dalam pengajaran agama Islam. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku Sejarah Lengkap Islam Jawa: Menelusuri Genealogi Corak Islam Tradisi yang ditulis oleh Husnul Hakim.

Dakwah ajaran Islam yang dikembangkan di pesantren Sunan Ampel dan selanjutnya oleh para wali songo adalah ajaran Islam model tasawuf, bukan model fikih. Hal ini disebabkan karena masyarakat Jawa sudah sangat kental dengan sistem dan pola pengajaran dukuh, dengan ajaran yamabrata dan niyamabrata.

Singkatnya, yamabrata adalah tata cara pengendalian diri untuk tidak berbuat buruk. Adapun, niyamabrata adalah sikap menghiasi diri dengan sifat-sifat ilahi atau suci.

Sebagaimana dijelaskan di atas, masyarakat Jawa kala itu masih sangat erat kaitannya dengan ajaran Hindu-Buddha. Tentu saja para pendakwah Islam tidak bisa langsung menghapus atau memutus seluruh hubungan antara masyarakat dengan ajaran mereka.

Oleh sebab itu, Sunan Ampel memilih untuk memanfaatkan ajaran Hindu-Buddha ini untuk mendekatkan dan mengenalkan ajaran Islam kepada mereka.

Sunan Ampel mengubah pendidikan Syiwa-Buddha yang disebut dengan "dukuh" dan lembaga kapitayan yang disebut dengan padepokan menjadi lembaga pendidikan Islam.

Sunan Ampel mengubah istilah "susuhunan" menjadi "sunan", "sashtri" dan "cantrik" menjadi "santri", serta "dukuh" dan "padepokan" menjadi "pesantren" (dalam bahasa Indonesia disebut pesantrian).

Sunan Ampel mengajarkan ajaran Islam dengan model tasawuf, di mana masyarakat menganggap pengetahuan rohani Islam tidak berbeda dengan Syiwa-Buddha. Apalagi, pola pengajaran ini di dukuh-dukuh tidak beda jauh dengan pola pengajaran tasawuf.

Pengajaran ini menitikberatkan pada pembentukan watak mulia, budi pekerti murid yang luhur, jujur, tidak membenci, suka menolong, menjalankan syariat dengan baik, selalu bersyukur, dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan.

Selain itu, alasan kenapa dakwah Sunan Ampel mudah diterima oleh penduduk Jawa adalah karena beliau mengganti istilah berbahasa Arab dengan istilah-istilah yang lebih mudah dan masih mengandung kapitayan dan Hindu-Buddha.

Contohnya adalah menggunakan "Kanjeng Nabi" untuk memanggil "Nabi Muhammad SAW", "susuhunan" untuk menyebut "syekh", "kiai" untuk memanggil "al-'alim", "guru" untuk menyebut "ustadz", dan masih banyak lagi.

Sunan Ampel dan para wali songo juga mengambil alih anasir-anasir tradisi keagamaan Syiwa-Buddha dan kapitayan ke dalam adat kebiasaan masyarakat Islam. Contohnya adalah penggunaan beduk untuk penanda waktu sembahyang.




(kri/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads