Fikih Safar bagi Jemaah dan Petugas Haji Indonesia

Kolom

Fikih Safar bagi Jemaah dan Petugas Haji Indonesia

Abdul Muiz Ali - detikHikmah
Rabu, 26 Jul 2023 19:10 WIB
Abdul Muiz Ali
Penulis adalah Petugas PPIH Arab Saudi 
Pengurus Lembaga Dakwah PBNU dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI
Foto: Dokumentasi Abdul Muiz Ali
Jakarta -

Sebagian besar jemaah haji Indonesia 1444 H/20123 sudah kembali ke Tanah Air. Mereka sudah kumpul bersama keluarga, tetangga dan sahabatnya setelah sekian lama ditinggal melaksanakan ibadah haji.

Jemaah haji Indonesia ada yang masih belum pulan ke Tanah Air, karena menuntaskan kesempurnaan serangkaian perjalanan ibadah hajinya, yaitu ibadah di masjid Nabawi Madinah sekaligus ziarah ke makam Rasullah shallallahu alaihi wasallam.

Petugas Haji Indonesia sejak sepekan yang lalu sudah ada yang pulang ke Tanah Air karena sudah purna tugas sebagai PPIH Arab Saudi 1444 H/2023 M. Sebagian yang lain kepulangannya ada tanggal 26 dan 27 Juli 2023 hingga awal bulan Agustus 3023.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berkenaan dengan kepulangannya ke Tanah Air, penting mengingat kembali tentang tata cara ibadah selama dalam perjalanan pulang ke Indonesia.

Pulang Bentuk Rasa Cinta Tanah Air

Mencintai Tanah Air atau tempat kelahiran bisa disebut sebagai fitrah dan karakteristik manusia. Seseorang pasti akan ingat kampung halaman. Terlebih saat momentum lebaran seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, kerja di luar negeri, tugas negara atau momentum lainya. Seindah apapun di negeri orang tetap tidak bisa menggantikan keindahan dan kehangatan di negeri sendiri, kumpul bersama keluarga, tetangga dan sahabat.

ADVERTISEMENT

Dikisahkan, karena cintanya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam terhadap kota Makkah, sebagaimana manusia pada umumnya, Rasulullah merasakan sedih ketika meninggalkan kota Makkah. Seandainya bukan perintah Hijrah, tentu Rasulullah tidak meninggalkan kota Makkah. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sangat mencintai tanah kelahirannya, yaitu Makkah.

Ekspresi cinta Rasulullah shalallahu alaihi wasallam terhadap tanah kelahirannya, terlihat dari riwayat Ibnu Abbas dalam hadis riwayat al-Tirmidzi. Ia menjelaskan betapa cinta dan bangganya Rasullullah shalallahu alaihi wasallam pada tanah kelahirannya. Rasa cinta tersebut terlihat dari ungkapan Nabi Muhammad terhadap kota Mekah.

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Alangkah indahnya dirimu (Makkah). Engkaulah yang paling kucintai. Seandainya saja dulu penduduk Makkah tidak mengusirku, pasti aku masih tinggal di sini." (HR: al-Tirmidzi).

Tata Cara Bepergian yang Islami

Selama dalam perjalanan atau bepergian jauh ke tempat yang sudah ditentukan ada dispensasi (rukhsoh) dalam menjalankan ibadah. Dalam istilah fikih, orang yang bepergian atau dalam perjalanan disebut musafir (orang yang bepergian). Bagi musafir boleh mengerjakan salat dengan cara diringkas (qasar salat) atau boleh menggabung dua shalat fardu dalam satu waktu (jamak salat), boleh tidak berpuasa dan dispensasi lainnya.

Seseorang yang melakukan perjalanan jauh hendaknya memperhatikan anjuran dan ketentuan sebagai berikut:

(1). Sunah Salat Sunat Dua Rakat


Bagi jemaah atau petugas haji Indonesia yang hendak balik ke Tanah Air disunahkan melakukan salat sunah safar terlebih dahulu. Niat dan sara salat sunah safar sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى

"Saya niat shalat sunnah perjalanan dua rakaat karena Allah ta'ala."

Pada rakaat pertama dianjurkan membaca surat Al-Kafirun setelah membaca surat Al-Fatihah, dan untuk rakaat kedua membaca surat Al-Ikhlas setelah membaca Al-Fatihah.

(2). Berdoa

Pada saat memulai melakukan perjalanan hendaknya kita memohon kepada Allah agar selamat sampai tujuan.

Berikut ini doa yang selalu dibaca Rasulullah shalallahu alaihi wasallam setiap bepergian;


اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ

"Ya Allah, Engkau adalah teman dalam perjalanan dan pengganti dalam keluarga. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan perjalanan, kesedihan tempat kembali, doa orang yang teraniaya, dan dari pandangan yang menyedihkan dalam keluarga dan harta." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

(3). Boleh Menggabung atau Meringkas Salat

Perjalanan yang sudah mencapai kurang lebih 89 km (88,704 km) maka seseorang diperbolehkan meringkas salatnya atau menggabung dua salat dalam satu waktu.


وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ

"Ketika kalian bepergian di bumi, maka bagi kalian tidak ada dosa untuk meringkas shalat."
(QS. An-Nisa : 101)

Praktik meringkas salat (qasar salat) hanya berlaku untuk shalat bilangan empat rakaat seperti Dzhur, Asar dan Isya yang kemudian diringkas masing-masing menjadi dua rakaat.

Sedangkan praktik menggabungkan dua salat (jamak salat) dalam satu waktu hanya bisa dilakukan untuk salat Zuhur digabung dengan Asar, Maghrib digabung dengan Isya'. Untuk salat Shubuh tidak bisa digabung apalagi diringkas.

جَمَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ سَفَرٍ وَلا خَوْفٍ، قَالَ: قُلْتُ يَا أَبَا الْعَبَّاسِ: وَلِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ.

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjamak antara shalat Dzuhur dan Ashar di Madinah bukan karena bepergian juga bukan karena takut. Saya bertanya: Wahai Abu Abbas, mengapa bisa demikian? Dia menjawab: Dia (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya." (HR. Ahmad).

Perjalanan jauh seperti Arab Saudi-Indonesia atau sebaliknya, dimana durasi waktunya bisa mencapai kisaran 9 atau 10 jam, maka cara melaksanakan salatnya dapat memperhatikan jadwal penerbangan pesawat, seperti sebagai berikut:

a. Jika jadwal pesawatnya terbang jam 03.00 Waktu Arab Saudi, maka salat subuhnya bisa dilakuan di pesawat. Persiapkan wudhu sebelum naik pesawat atau boleh tayamum di pesawat. Salat di pesawat dilakukan dengan cara yang memungkinkan baginya, dan jikapun tidak memungkinkan sebagaimana mestinya, maka salat dapat dilakukan sebisanya; salat duduk, tanpa wudhu dan tidak menghadap kiblat. Salatnya disebut menghormati waktu salat yang diwajibkan. (lihurmatil waqti) . Salat yang dilakukan karena alasan lihurmatil waqti, nanti setelah sampai di Indonesia diulangi kembali (i'adah).

b. Jika jadwal penerbangan pesawatnya jam 19.40 Waktu Arab Saudi, maka jika memungkinkan salat Maghribnya digabung dengan salat Isya' dengan cara salat jama' taqdim sebelum naik ke pesawat. Salat Maghribnya tiga rakaat sebagaimana biasa, lalu dilanjutkan salat Isya', baik empat rakaat atau dua rakaat secara qoshor. Untuk salat subuhnya di pesawat dilaksanakan seperti cara poin 1 di atas.

(4). Boleh Tidak Puasa

Seseorang yang melakukan perjalanan dengan ketentuan jarak tempuh sebagaimana boleh menggabung (jamak) atau meringkas (qasar) salat, ia juga diperbolehkan untuk tidak berpuasa fardu, apalagi puasa sunah. Puasa fardu seperti puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena bepergian wajib diganti setelah bulan Ramadhan.

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"...Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain..." (QS. al-Baqarah: 185)

Dalam kitab fikih ulama banyak menjelaskan ketentuan perihal boleh atau tidaknya bagi seseorang yang sedang bepergian untuk tidak puasa. Misalnya antara lain disebutkan sebagai berikut;


( وَ ) يُبَاحُ تَرْكُهُ ( لِلْمُسَافِرِ سَفَرًا طَوِيلا مُبَاحًا ) فَإِنْ تَضَرَّرَ بِهِ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ وَإِلا فَالصَّوْمُ أَفْضَلُ كَمَا تَقَدَّمَ فِي بَابِ صَلاةِ الْمُسَافِرِ . ( وَلَوْ أَصْبَحَ ) الْمُقِيمُ ( صَائِمًا فَمَرِضَ أَفْطَرَ ) لِوُجُودِ الْمُبِيحِ لِلإِفْطَارِ . ( وَإِنْ سَافَرَ فَلا ) يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحَضَرِ وَقِيلَ يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ السَّفَرِ .

"Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab shalatnya musafir. Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka. Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian. Dikatakan juga ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian" ( Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin, juz 2, hal. 161)

(5). Boleh Cipika Cipiki dengan Keluarga

Menurut Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, seseorang yang baru datang bepergian jauh seperti baru pulang ibadah haji, selain bersalaman, dia juga diperbolehkan berpelukan dengan anggota keluarga, tetangga dan sahabatnya. Bersalaman atau berpelukan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya tetap tidak diperbolehkan meskipun atas alasan lama tidak bertemu. Wallahu A'almu bi ash-Showabi

*) Abdul Muiz Ali
Petugas PPIH Arab Saudi, Pengurus Lembaga Dakwah PBNU dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat




(nwk/nwk)

Hide Ads