Robot mulai digunakan di sekolah untuk mendukung pembelajaran sekaligus mendorong sikap santun dan empati siswa melalui interaksi sehari-hari.
Kehadiran robot di sekolah pun kini bukan lagi hal yang mengejutkan. Lalu, bagaimana siswa SD bersikap terhadap robot humanoid?
Penelitian dari SWPS University menunjukkan sebagian besar siswa bersikap sopan kepada robot. Siswa yang lebih muda dan perempuan bahkan lebih cenderung melihat robot sebagai makhluk dengan sifat manusia, seperti bisa diajak berbicara dan diperlakukan layaknya teman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Edisi keempat HumanTech Summit internasional, yang digelar oleh HumanTech Center di SWPS University, Warsawa, membahas topik interaksi manusia-robot, termasuk penerapan teknologi robotik di lingkungan pendidikan untuk meningkatkan hasil belajar dan kemampuan sosial siswa.
Robot di sekolah dapat diprogram untuk menyesuaikan metode pengajaran sesuai kebutuhan tiap siswa, meningkatkan motivasi dan keterlibatan melalui pembelajaran yang menyenangkan, serta memberikan umpan balik secara langsung. Kehadiran robot terbukti membuat siswa lebih antusias, aktif, dan terlibat dalam kegiatan kelas.
Meski menawarkan banyak manfaat, interaksi dengan robot juga menimbulkan kekhawatiran.
Dampak Negatif Interaksi Terlalu Lama dengan Robot
Konrad Maj, PhD, penulis utama studi sekaligus psikolog sosial dan Kepala HumanTech Center for Social and Technological Innovation, menekankan kontak terlalu lama dengan robot bisa berdampak negatif pada perilaku sosial siswa.
Oleh karena itu, penting memahami bagaimana anak-anak berinteraksi dengan robot dan dalam situasi apa interaksi tersebut paling bermanfaat.
Fokus penelitian tim dari Universitas SWPS, yang terdiri dari Konrad Maj, Ariadna Gotebicka, dan Zuzanna Siwinska, dipaparkan dalam makalah "How children learn from robots: Educational implications of communicative style and gender in child-robot interaction" yang diterbitkan di jurnal Computers & Education.
Tanggapan Siswa terhadap Robot
Dalam studi terbaru, para peneliti menggunakan robot humanoid setinggi 120 cm bernama Pepper, buatan SoftBank Robotics, yang dirancang menyerupai anak-anak dan dilengkapi sensor, kamera, serta mikrofon untuk mengenali ucapan, gerakan, dan beberapa isyarat emosi. Partisipan penelitian terdiri dari 251 siswa berusia 7-12 tahun.
Peneliti fokus pada dua hal yaitu gaya komunikasi robot (sopan atau tegas) dan "gender" robot yang ditentukan dari nama Ada atau Adam. Kedua variabel ini memengaruhi cara siswa menafsirkan niat, kehangatan, dan otoritas robot, yang kemudian berdampak pada keterlibatan dan prestasi belajar.
Studi ini meneliti apakah siswa yang diperlakukan sopan oleh robot akan bersikap sopan kembali, apakah siswa yang lebih muda cenderung memberi sifat manusiawi pada robot dibanding yang lebih tua, dan apakah siswa perempuan lebih mungkin melakukannya dibanding laki-laki.
Dalam eksperimen, siswa diperkenalkan pada robot yang meniru perilaku hewan, lalu mengamati reaksi robot ketika seseorang mencoba memotretnya, baik saat robot menanggapi secara sopan maupun tegas. Siswa kemudian diminta merespons situasi tersebut dan menjawab pertanyaan tentang Pepper, misalnya apakah robot bisa merasakan bahagia, bermimpi, atau berimajinasi.
Siswa Meniru Robot di Kelas
Studi menunjukkan siswa yang berinteraksi dengan robot sopan hampir selalu merespons dengan sopan. Bahkan saat robot memberi perintah dengan gaya tegas, sebagian besar siswa tetap bersikap sopan. Ini menunjukkan norma sosial yang sudah ada lebih kuat daripada kecenderungan meniru gaya komunikasi robot.
Hasil penelitian juga memperlihatkan siswa lebih muda dan perempuan lebih cenderung memberi sifat manusiawi pada robot.
Robot yang bersikap sopan lebih sering dianggap memiliki kualitas manusia, terutama ketika nada komunikasinya sesuai dengan ekspektasi gender. Pemberian sifat manusiawi ini paling tinggi terjadi ketika robot sopan dan berjenis kelamin perempuan.
Temuan ini menegaskan pentingnya isyarat sosial dalam interaksi antara siswa dan robot di kelas. Menyesuaikan gaya komunikasi robot dengan tingkat perkembangan siswa dan harapan sosial mereka dapat meningkatkan keterlibatan dan mendukung hasil belajar yang positif.
Konrad Maj menambahkan memahami bagaimana siswa memandang dan merespons robot akan menjadi kunci agar robot bisa menjadi mitra belajar yang efektif di masa depan.
Penulis merupakan peserta program Magang Hub Kemnaker di detikcom.
(nah/nah)











































