Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tengah berupaya mewujudkan pendidikan yang bermutu untuk semua. Salah satu upayanya adalah dengan menghadirkan pendidikan inklusif melalui sekolah inklusif.
Sekolah inklusif berarti semua peserta didik belajar bersama di sekolah dan kelas yang sama, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Per September 2025, Kemendikdasmen mencatat murid penyandang disabilitas di seluruh Indonesia sebanyak 363.921 anak.
Sebanyak 199.375 murid belajar di Satuan Pendidikan Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI) dengan jumlah sekolah 60.910. Dibandingkan Juni 2024 yakni sebanyak 42.262 SPPI, jumlah ini meningkat hingga 23%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adanya kenaikan ini tentu perlu diiringi dengan peningkatan kualitas pengajaran serta perbaikan sarana dan prasarana. Di ranah peningkatan kualitas pengajaran, Kemendikdasmen akan membekali guru sekolah umum keterampilan untuk melayani ABK.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus (Dirjen Pendidikan Vokasi PKPLK) Kemendikdasmen Tatang Mutaqin menjelaskan pembekalan itu akan dilakukan mulai 2026. Tujuannya agar semakin banyak guru yang bisa mendampingi ABK di sekolah umum.
"Makanya di 2026, kita berkolaborasi dengan Dirjen GTK itu ingin memperluas guru-guru yang ada dengan pengetahuan dan keterampilan terkait pelayanan anak berkebutuhan khusus," tutur Tatang dalam acara Coffee Morning Hari Disabilitas Internasional di Sunyi Coffe Jalan Barito I, Jakarta Selatan, Jumat (28/11/2025).
"Dengan seperti itu maka nanti sekolah-sekolah inklusif itu betul-betul (memiliki) orang-orang yang bisa menangani anak berkebutuhan khusus," imbuhnya.
Bisa Dihitung sebagai Kewajiban Mengajar
Tatang menyebut, seluruh proses pelatihan guru memang berada di ranah Direktorat Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru (Ditjen GTKPG), termasuk pelatihan bagi guru umum terkait keterampilan melayani ABK.
Kendati demikian, pihaknya akan membuat sebuah modul yang nantinya digunakan sebagai bahan pelatihan guru di 2026. Modul ini telah disiapkan tinggal diterapkan dalam pelatihan.
Guru yang mengikuti pelatihan diharapkan bisa menjadi guru pembimbing khusus (GPK). Peran mereka sebagai GPK bisa dihitung sebagai kewajiban mengajar mereka.
Seperti yang diketahui, kewajiban jam mengajar guru adalah minimal 24 jam tatap muka per minggu. Namun, dalam Permendikdasmen Nomor 11 Tahun 2025 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru, dijabarkan bila kewajiban ini bisa mencakup tugas lain selain mengajar tatap muka.
Salah satunya adalah GPK yang bisa disetarakan dengan 6 jam tatap muka per minggu. Pemenuhan jam mengajar ini menurut Tatang juga bisa jadi jaminan untuk mendapat tunjangan sertifikasi.
"Jadi ini bagian dari bagaimana para guru bisa memenuhi kewajiban mengajarnya, termasuk membimbing, mendampingi sehingga bisa menjamin untuk tunjangan sertifikasi. Sebenarnya itu sangat berhubungan," katanya.
Saat ini, Tatang melihat masih ada guru yang kesulitan dalam memenuhi kewajiban 24 jam mengajar tatap muka per minggu. Untuk itu, menjadi pembimbing bisa menjadi solusinya.
"Dengan pendampingan, dengan kesempatan membimbing itu juga bisa dinilai sebagai bagian itu (memenuhi kewajiban jam mengajar)," sambungnya.
Tatang belum bisa menjabarkan berapa jumlah kuota pelatihan ini karena berada di ranah Ditjen GTK. Ia sebagai kepala Direktorat Vokasi PKPLK juga tidak berada di posisi yang bisa mengusulkan kuota.
"Dari kita sih sebenarnya tidak pada posisi mengusul, cuma lebih banyak akan lebih baik. Tapi nanti akan disesuaikan dengan ketersediaan dana yang ada di Ditjen GTK selaku penyelenggara," pungkas Tatang.
(det/nah)











































