Angka Putus Sekolah Masih Tinggi, Wamen Fajar Minta Sekolah Peka Deteksi Hal Ini

ADVERTISEMENT

Angka Putus Sekolah Masih Tinggi, Wamen Fajar Minta Sekolah Peka Deteksi Hal Ini

Devita Savitri - detikEdu
Jumat, 21 Nov 2025 18:00 WIB
Wamendikdasmen Fajar Riza Ul Haq bahas tentang gerakan ARPS untuk tekan angka putus sekolah.
Wamendikdasmen Fajar Riza Ul Haq bahas tentang gerakan ARPS untuk tekan angka putus sekolah. Foto: BKHM Kemendikdasmen
Jakarta -

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) kembali soroti masih tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Fenomena ini paling banyak terjadi di kelompok usia 16-18 tahun.

Berdasarkan Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024, partisipasi sekolah pada kelompok usia tersebut masih jadi yang. Berdasarkan hal ini, tercatat lebih dari 20 persen lulusan SMP memilih tidak melanjutkan ke sekolah ke jenjang SMA/SMK.

Kemendikdasmen kembali mencatut data terbaru Susenas per November 2025. Hasilnya, sebanyak 453.605 murid putus sekolah pada jenjang tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melihat hal ini, Wamendikdasmen Fajar Riza Ul Haq membeberkan angka putus sekolah bisa tinggi karena disebabkan oleh berbagai faktor. Dari faktor ekonomi, psikologis, kondisi keluarga, lingkungan sosial, hingga motivasi belajar.

Anak sekolah zaman sekarang memang hidup di dunia digital yang serba cepat. Keadaan ini ikut menjadi faktor di mana anak remaja saat ini menurut Fajar mudah terpengaruh oleh budaya digital yang serba cepat dan instan.

ADVERTISEMENT

"Pengaruh media sosial membuat banyak anak terjebak pada pola pikir cepat tapi dangkal. Etos belajar melemah karena mereka melihat jalan pintas sebagai hal yang normal," tuturnya dikutip dari keterangan tertulis yang diterima detikEdu, Jumat (21/11/2025).

Gerakan Anak Rentan Putus Sekolah

Untuk menekan angka putus sekolah, Wamen Fajar mengingatkan agar sekolah perlu menumbuhkan rasa peka terhadap muridnya. Terutama dalam mendeteksi perubahan perilaku murid di kegiatan akademik sehari-hari.

Perilaku yang perlu diperhatikan, seperti peningkatan absensi, penurunan capaian belajar, hingga perilaku indisipliner/melanggar yang berulang. Dengan mendeteksi dini berbagai hal ini, sekolah bisa menyiapkan strategi untuk menghadapi murid yang membutuhkan perhatian khusus ini.

Strategi yang dimaksud adalah menyesuaikan pendekatan pembelajaran atau memberikan pendampingan bagi murid. Kemendikdasmen menerapkan proses ini dalam Gerakan Anak Rentan Putus Sekolah (ARPS).

Gerakan ARPS dijabarkan sebagai upaya identifikasi dini, pendampingan, dan penguatan motivasi kepada murid yang menunjukkan kerentanan putus sekolah. Meski disampaikan oleh Kemendikdasmen, gerakan ARPS bersifat sukarela bukan instruksi atau kewajiban yang harus dilakukan.

"Gerakan ini lahir dari kesadaran moral, bukan instruksi. Karena itu nilainya sangat tinggi," tegasnya.

Bukan baru, Direktur SMA Winner Jihad Akbar menjelaskan Gerakan ARPS ternyata sudah hadir sejak 2021. Hingga kini, gerakan tersebut sudah berjalan di 8 provinsi, yaitu Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Aceh, NTB, Maluku Utara, serta Bali, dan telah melibatkan lebih dari 900 sekolah.

Hasilnya baik dengan 8.491 murid teridentifikasi sebagai anak rentan putus sekolah dan 76% di antaranya berhasil dicegah. Dengan begitu, 76% murid dari jumlah tersebut tetap bersekolah melalui pendampingan intensif.

"Tujuan utama gerakan ini adalah menjaga keberlanjutan upaya pencegahan agar setiap anak benar-benar mendapatkan haknya atas pendidikan yang bermutu," papar Winner.

Kapasitas Guru dalam Konseling Perlu Ditingkatkan

Usai melihat berbagai faktor penyebab putus sekolah, Fajar tak bisa memungkiri pembenahan berbagai sektor perlu dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Terutama dalam hal peningkatan kapasitas guru dalam konseling dasar dan dukungan psikologis pada murid.

"Banyak anak menghadapi kelelahan mental. Karena itu semua guru harus punya keterampilan konseling dasar," tegasnya.

Dukungan emosional yang baik dari pihak sekolah bisa menjaga motivasi dan keberlanjutan belajar anak-anak yang rentan. Jika tidak diatasi, angka putus sekolah bisa memberikan dampak serius.

"Jika angka putus sekolah dibiarkan, beban ekonomi dan sosial ke depan akan sangat besar. Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa," sambungya.

Dampak anak putus sekolah tidak hanya akan dirasakan oleh sang individu itu sendiri lantaran kehilangan kesempatan hidup yang lebih baik, tapi juga produktivitas sosial. Oleh karena itu, Fajar berharap agar Gerakan ARPS bisa diikuti daerah lainnya.

"Sehingga tidak ada lagi anak yang kehilangan haknya atas pendidikan," pungkas Fajar.




(det/nah)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads