×
Ad

Soal Rencana Batasi PUBG, Pakar: Adakan Program Kesehatan Mental di Sekolah

Cicin Yulianti - detikEdu
Rabu, 12 Nov 2025 11:30 WIB
Game PUBG. Foto: Level Infinite Indonesia
Jakarta -

Pasca insiden ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta, pemerintah berencana membatasi permainan PlayerUnknown's Battlegrounds (PUBG). Hal ini kemudian menuai sorotan banyak pihak.

Dalam rilis kasus ledakan SMAN 72 Jakarta di Polda Metro Jaya pada Selasa (11/11/2025) kemarin diungkapkan beberapa fakta terkait pelaku ledakan yang adalah salah satu siswa sekolah itu. Kepribadian pelaku disebut tertutup, menarik diri dari lingkungan, tidak punya teman curhat dan tertarik pada konten kekerasan dari situs gelap (dark web).

Lukman Hakim, Dosen Informatika Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) menyebutkan wacana pelarangan PUBG ini menunjukkan niat baik untuk melindungi generasi muda dari pengaruh negatif hiburan digital.

Akan tetapi, ia menyarankan kepada pemerintah agar tidak tergesa-gesa dalam mengambil kebijakan. Pembatasan game ini perlu berbasis bukti.

"Langkah ini harus dilaksanakan dengan hati-hati, berbasis bukti, dan seimbang agar tidak sekadar menjadi respons emosional, tetapi menjadi bagian dari strategi pembinaan digital yang integratif," jelasnya dikutip dari laman UM Surabaya, Rabu (12/11/2025).

Game Online Bentuk Pelarian Tekanan Emosional

Menurut Lukman, game PUBG sering kali menjadi bentuk pelarian psikologis bagi remaja. Sehingga game ini jika dinilai dari sisi positif baik untuk meredakan tekanan emosional atau sosial mereka.

Sehingga, menyalahkan game menurut Lukman justru berisiko menutup pandangan terhadap isu yang lebih mendasar. Contohnya lemahnya sistem deteksi dini terhadap stres, depresi, dan kekerasan sosial di sekolah.

Adakan Program Kesehatan Mental di Sekolah

Ia menegaskan pembatasan game tidak boleh hanya berbasis asumsi. Hal itu dapat menimbulkan kesan represif terhadap ruang ekspresi digital remaja serta tidak bisa menyelesaikan akar persoalan yang sesungguhnya.

Lukman menyarakan pemerintah agar memusatkan perhatian terhadap langkah yang lebih konstruktif dan jangka panjang. Contohnya, dengan mengadakan program kesehatan mental di sekolah.

Kemudian, membuka layanan konseling profesional, dukungan teman sebaya, dan pelatihan guru untuk mengenali tanda-tanda depresi atau isolasi sosial.

Literasi Digital yang Sehat Perlu Dibangun

Lukman juga menekankan soal literasi digital yang sehat. Tak hanya membatasi game, pemerintah juga perlu mengajarkan siswa dalam berpikir kritis, memberi edukasi dalam bermain game, dan mengajak mereka memahami konteks kekerasan di media.

Ia menambahkan, kebijakan publik sebaiknya disusun berdasarkan hasil riset akademik yang kuat. Sehingga hasilnya bisa sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

"Kebijakan publik harus berbasis data empiris dari penelitian psikologi, pendidikan, dan sosiologi anak muda, bukan sekadar reaksi terhadap peristiwa tragis," tambahnya.

Lukman juga mengutip hasil penelitian dari jurnal internasional "Escaping through virtual gaming: What is the association with emotional, social, and mental health? A systematic review."

Dalam hasil penelitian tersebut dijelaskan bahwa game bisa berperan sebagai bentuk eskapisme, atau pelarian sementara dari tekanan kehidupan nyata. Dengan demikian, pembatasan game tanpa memahami konteks sosial dan psikologis pemain justru berpotensi kontraproduktif.

"Kunci utamanya adalah bagaimana memastikan pelajar tetap dapat menikmati hiburan digital secara sehat, namun sekaligus terlindungi dan memiliki resiliensi terhadap potensi risiko di dunia nyata," pungkasnya



Simak Video "Video Survei: 34,9% Remaja Alami Masalah Mental"

(cyu/nwk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork