Kasus keracunan massal di sekolah pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus bermunculan. Melihat kondisi ini, Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene, mengusulkan pembentukan Undang-Undang (UU) MBG agar program ini berjalan lebih sistematis dan berkelanjutan.
Merespons usulan tersebut, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. King Faisal Sulaiman, S,H, LLM, menilai pembentukan UU MBG bisa menjadi langkah strategis. Menurutnya, dasar hukum akan memberikan legitimasi lebih kuat sekaligus menjawab berbagai persoalan tata kelola yang dinilai masih lemah.
"Sangat penting jika diatur melalui undang-undang agar keberlanjutannya terjamin. Kalau hanya berbasis Perpres, jelas terlalu lemah. UU akan memberikan kepastian hukum, baik dari sisi kewenangan maupun pembiayaan," ujar King dalam laman UMY dikutip Kamis (2/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tegaskan Peran Pemerintah Pusat dan Daerah
Lebih lanjut, kehadiran UU MBG dapat menegaskan pembagian peran antara pemerintah pusat dan daerah. Menurut King, selama ini banyak aturan yang kabur, terutama terkait mekanisme pendanaan dan tanggung jawab daerah. Akibatnya, pemerintah daerah hanya dimintai pertanggungjawaban saat terjadi masalah.
"Misalnya soal alokasi anggaran, jangan hanya dibebankan pada APBN. Perlu ada porsi dari APBD agar pembagian tanggung jawab lebih proporsional," jelasnya.
King menegaskan, kasus keracunan makanan belakangan ini menjadi sinyal perlunya evaluasi menyeluruh. Tanpa dasar hukum yang kuat, sistem pengawasan akan sulit ditegakkan.
Aspek Substansial dalam UU MBG
King menambahkan, aspek substansial juga harus diperhatikan agar UU MBG tidak sekadar normatif. Beberapa poin penting yang harus masuk termasuk tata kelola, mekanisme pengawasan, alokasi anggaran, hingga keterlibatan masyarakat.
"Undang-undang ini jangan hanya normatif. Harus jelas soal tata kelola, siapa mengawasi siapa, bagaimana mekanisme anggarannya, dan bagaimana masyarakat bisa ikut serta," ungkapnya.
Menurutnya, partisipasi masyarakat sangat penting dalam MBG. Selain memperkuat pengawasan, program ini juga dapat membuka lapangan kerja baru.
"Jadi dampaknya bukan hanya pada gizi, tapi juga ekonomi," ujarnya.
Selain itu, UU MBG menurutnya juga perlu mengatur sanksi hukum untuk mencegah penyalahgunaan. Potensi penyimpangan di lapangan, mulai dari kontrak hingga standar penyediaan makanan, harus dapat diproses secara hukum.
"Kalau hanya Perpres, tidak ada ruang mengatur sanksi pidana, bahkan sanksi administrasi pun lemah. Karena itu, pengaturan sanksi administratif maupun pidana sebaiknya dimasukkan dalam UU," tegasnya.
(nir/twu)











































