Presiden Prabowo Subianto menyoroti sektor pendidikan dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR, Jumat (15/8/2025) lalu. Salah satu hal yang menarik perhatian adalah rencananya membagikan 288 ribuan unit Smart TV ke sekolah-sekolah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Langkah ini diklaim sebagai upaya membuka akses pembelajaran virtual dari guru-guru terbaik, bagi anak-anak yang selama ini kesulitan mendapat pendidikan berkualitas. Tapi, benarkah teknologi canggih ini bisa jadi solusi jitu?
Pakar Unair: Potensial, tapi Harus Diiringi Kajian Serius
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pakar sosiologi pendidikan Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Tuti Budirahayu, menilai inisiatif tersebut positif. Namun tidak bisa berhenti pada distribusi perangkat semata.
"Kalau bicara dalam konteks kebaikan, ya, saya rasa baik. Tapi kemanfaatannya itu yang harus dilihat. Apakah infrastruktur internet di desa sudah siap, apakah guru-guru yang mengoperasikan itu sudah paham teknologi dengan baik, lalu bagaimana metode pembelajaran yang tepat dalam memanfaatkan perangkat itu," ujarnya dikutip dari laman Unair, Rabu (27/8/2025).
Menurutnya, Smart TV bisa jadi alat bantu pembelajaran, tapi tetap hanya salah satu bagian dari sistem yang kompleks. Ia melihat siswa di Indonesia sebenarnya masih memerlukan literasi pengetahuan, alih-alih digitalisasi.
"Kalau itu sekadar alat bantu, tentu saja tidak menyelesaikan masalah. Yang perlu adalah bagaimana sumber daya manusianya dan bagaimana infrastruktur bisa bersinergi untuk meningkatkan kualitas siswa. Kalau tidak, kebijakan ini hanya jadi semacam reformasi kosmetik, sekadar untuk memperindah saja," jelasnya
Risiko Tanpa Kajian: Salah Sasaran hingga Penyimpangan
Prof Tuti menegaskan, sebelum Smart TV dikirim ke sekolah, harus ada asesmen kebutuhan. Distribusi secara massal tanpa data yang tepat bisa menimbulkan masalah baru bahkan membuka peluang penyalahgunaan.
"Murid SD tentu berbeda kebutuhannya dengan SMP atau SMA. Semakin tinggi jenjang pendidikan, mungkin kebutuhan teknologi digital semakin besar. Tapi sekali lagi, tetap harus ada kajian yang mendalam. Tidak bisa begitu saja membuat suatu kebijakan. Jadi memang harus diperhatikan kebutuhannya," ucap Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik itu.
Ia menilai, tanpa perencanaan yang matang dan disesuaikan dengan konteks lokal, kebijakan semacam ini berisiko tidak efektif. Lebih lanjut, Prof Tuti mengingatkan bahwa literasi digital di Indonesia masih rendah.
"Kalau itu sekadar alat bantu, tentu saja tidak menyelesaikan masalah. Yang perlu adalah bagaimana sumber daya manusianya dan bagaimana infrastruktur bisa bersinergi untuk meningkatkan kualitas siswa. Kalau tidak, kebijakan ini hanya jadi semacam reformasi kosmetik, sekadar untuk memperindah saja," tegasnya.
Perlu Kolaborasi, Bukan Kerja Sendiri
Terkait rencana menghadirkan pengajar terbaik secara virtual ke pelosok negeri, Prof Tuti menyarankan agar pemerintah tak jalan sendiri. Ia mendorong adanya kolaborasi dengan lembaga-lembaga pendidikan berbasis teknologi yang sudah punya pengalaman.
"Pengalaman-pengalaman itu bisa dijadikan good practices dengan mengadopsi model pembelajaran digital yang sudah ada lalu kita kembangkan. Jangan hanya memberi perangkat, tapi tidak digunakan hingga akhirnya sia-sia," katanya.
Prof Tuti berharap digitalisasi pendidikan tidak sekadar jadi proyek semusim. Ia menekankan pentingnya kerangka kerja dan cetak biru yang jelas.
"Perlu ada kerangka kerja yang jelas, mulai dari pemenuhan sarana prasarana, pengembangan kurikulum, hingga integrasi dengan model pendidikan lain. Dengan begitu, cita-cita menghadirkan pendidikan berkualitas untuk seluruh anak bangsa bisa tercapai," pungkasnya.
Eksekusi program ini ada pada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Kemendikdasmen menargetkan 288.865 sekolah siap melakukan digitalisasi pembelajaran tahun 2025. TV interaktif hingga laptop sudah disebar untuk tahap pertama.
Dalam pelaksanaannya, digitalisasi pembelajaran dikuatkan dengan penyediaan perangkat media seperti nteractive Flat Panel (IFP) atau layar TV interaktif, laptop, media penyimpanan konten pembelajaran (external HDD), dan lainnya.
Tahun 2025 ini, sekolah sasaran yang akan menerima perangkat media yang telah terinstall konten pembelajaran sebanyak 288.865 sekolah, dan hingga bulan Agustus ini sudah berlangsung pengiriman untuk tahap 1, demikian dari rilis Kemendikdasmen, Jumat (22/8/2025), ditulis Sabtu (23/8/2025).
(cyu/nwk)