Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti melarang anak-anak SD main game Roblox. Pendekatan terbaik, tak sekedar melarang, namun juga mendampingi anak dan meningkatkan literasi digital, termasuk pada orang tua dan guru.
"Kita memahami langkah Mendikdasmen sebagai bentuk kehati-hatian terhadap dampak konten digital pada tumbuh kembang anak. Roblox, seperti banyak game online lainnya, memang mengandung elemen yang bisa memicu imitasi perilaku negatif, seperti kekerasan, ujaran kasar, atau interaksi bebas dengan pengguna lain yang tidak terfilter," ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH) Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Syaifudin, SPd, MKesos dalam keterangan tertulis kepada detikEdu ditulis Jumat (8/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anak-anak SD, imbuhnya berada dalam fase perkembangan kognitif dan moral yang sangat mudah terpengaruh. Karena itu, penting sekali kita memilah dan mengawasi konten digital yang mereka konsumsi.
"Namun, alih-alih sekadar melarang, pendekatan terbaik adalah pendampingan dan literasi digital. Orang tua dan guru perlu memahami apa yang dimainkan anak dan menjadikan momen itu sebagai ruang dialog. Tanpa pemahaman, larangan bisa memicu rasa penasaran dan pemberontakan diam-diam," tambah Syaifudin.
Sebenarnya, anak-anak SD kelas 1-3, usia 7-9 tahun sudah boleh dikenalkan penggunaan gawai. Itupun, dengan pengawasan ketat dan sangat selektif. Game online, bisa mulai dikenalkan di usia 10 tahun.
"Untuk game online, sebaiknya dikenalkan di usia di atas 10 tahun, saat anak sudah mulai bisa berpikir logis dan memahami aturan serta dampak perilaku daringnya. Bukan berarti anak dilarang total menyentuh teknologi sejak dini, tetapi prioritasnya adalah penggunaan fungsional (misalnya video belajar, komunikasi dengan keluarga, atau aplikasi edukatif). Game tetap bisa menjadi media pembelajaran, selama dipilih dengan bijak dan didampingi," jelas dia.
Screen Time Ideal
Syaifudin menuturkan sebaiknya screen time anak usia SD memang dibatasi, apalagi bila terkait game. Namun bila screen time itu untuk belajar, pembatasan bisa lebih fleksibel.
"Menurut rekomendasi American Academy of Pediatrics dan WHO, anak usia 6-12 tahun itu maksimal 1-2 jam per hari untuk penggunaan hiburan (termasuk game dan tontonan). Dalam satu minggu tidak lebih dari 10-12 jam screen time non-edukatif. Yang lebih penting kualitas interaksi, bukan sekadar durasinya. Jika screen time digunakan untuk belajar, maka batasannya bisa lebih fleksibel, tetapi tetap harus diselingi aktivitas fisik, sosial, dan kreatif lainnya," sarannya.
Terkadang, justru orang tua mati gaya membuat anak aktif tanpa HP. Apalagi, orang tua yang bekerja. Namun, kegiatan tanpa HP bersama anak, tetap orang tua bisa usahakan.
"Ini tantangan nyata, terutama bagi orang tua yang bekerja atau kelelahan sepulang kerja. Beberapa alternatif yang relatif praktis dan tetap menarik untuk anak-anak SD, seperti kegiatan kreatif: mewarnai, membuat prakarya, puzzle, lego, atau eksperimen sains kecil di rumah. Permainan fisik di rumah seperti bermain bola kecil, lompat tali, atau membuat lintasan rintangan dari kursi dan bantal," jelas dia.
Aktivitas quality time bersama anak ini, imbuh Syaifudin, tak perlu lama-lama. Pendek-pendek saja asal rutin untuk orang tua yang bekerja.
"Kegiatan bersama misalnya menyiapkan makanan sederhana, menyiram tanaman, atau membaca cerita sambil berimajinasi. Bagi orang tua yang sibuk, bisa menggunakan pendekatan 'quality time pendek tapi rutin', misalnya 20 menit khusus bermain atau membaca bersama setiap malam. Itu jauh lebih bermakna dibanding membiarkan anak menatap layar selama berjam-jam tanpa arah," tandas dia.
(nwk/pal)