Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menyebutkan larangan anak-anak untuk bermain gim Roblox. Larangan tersebut ia lontarkan tatkala mengetahui ada banyak siswa bermain Roblox, dalam momen meninjau Cek Kesehatan Gratis (CKG) perdana di SDN Cideng 02 Pagi, Gambir, Jakarta Pusat pada Senin (4/8/2025).
Mu'ti memberikan larangan ini karena ia menilai permainan digital tersebut mengandung kekerasan. Sebuah agensi riset asal Inggris, Revealing Reality juga mengungkap beberapa risiko berbahaya terkait gim tersebut.
Beberapa poin yang mereka dapati berdasarkan riset yang dilakukan Revealing Reality tentang Roblox adalah:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terdapat ruang yang berfokus pada tema dewasa yang dapat diakses oleh anak di bawah 13 tahun.
Langkah-langkah verifikasi usia yang ada mudah dielakkan.
Orang dewasa dan anak-anak dapat mengobrol tanpa pengawasan yang jelas.
Kontrol keamanan yang ada memiliki efektivitas terbatas dan masih terdapat risiko yang signifikan bagi anak-anak di platform ini.
Lantas, bagaimana menurut psikolog soal larangan Mendikdasmen itu?
Baca juga: Pemerintah Bisa Blokir Game Roblox Jika.. |
Bisa Jadi Upaya Awal Lindungi Anak
Psikolog klinis sekaligus konselor di SD Cikal Lebak Bulus, Rut Eli Hadadsha, SPsi, MPsi mengatakan Roblox bukanlah suatu gim dengan konten tunggal, tetapi sebuah platform yang memungkinkan penggunanya membuat dan bermain berbagai gim buatan komunitas. Dikarenakan hal itu, menurut Rut ada potensi di dalamnya mengandung elemen kekerasan ringan atau konten kurang sesuai.
"Larangan Kemendikdasmen dapat menjadi upaya awal untuk melindungi anak dari konten yang tidak sesuai dengan usianya. Namun, efektivitas larangan ini tentunya masih perlu dipertanyakan mengingat bahwa paparan terhadap kekerasaan bukan hanya berasal dari Roblox," jelasnya kepada detikedu pada Kamis (7/8/2025), ditulis Jumat (8/8/2025).
Sementara, psikolog dan konselor SMP Cikal Lebak Bulus, Rahma Dianti, MPsi mengatakan Roblox memang memiliki fitur parental control dan privacy setting yang bisa digunakan oleh orang tua untuk menyaring konten yang tak sesuai usia dan membatasi komunikasi dengan orang tak dikenal, tetapi menurutnya fitur-fitur ini tidak sepenuhnya menghapus potensi risiko yang dihadapi pengguna anak-anak.
Ia menggarisbawahi tidak menutup kemungkinan ada kebocoran dari fitur-fitur Roblox.
"Potensi risiko ini juga tidak hanya muncul khusus pada Roblox, tetapi juga platform online digital lainnya, termasuk gadget yang digunakan oleh anak-anak dalam kehidupan sehari-hari," ujarnya.
Namun, ia menyebut platform digital ataupun gadget juga dapat berpeluang mengembangkan berbagai fitur hingga permainan yang bermanfaat untuk anak-anak dan pembelajaran. Rahma mencontohkan hal ini melalui game-based learning.
Rahma tak menampik beberapa gim dapat membantu melatih kemampuan kognitif seperti keterampilan spasial, memori, penyelesaian masalah, kreativitas, dan teamwork.
"Pada beberapa anak, platform digital dan game online mendorong munculnya kreativitas, sehingga mereka bisa jadi ingin mencoba mempelajari coding atau 3D modeling yang dapat menjadi bentuk keterampilan yang mereka gunakan di masa depan. Ada juga anak-anak dan remaja yang belajar bahasa Inggris melalui platform digital dan game online," paparnya.
"Hanya saja, kita tidak dapat menutup mata bahwa risiko bagi anak-anak ketika mengakses game di platform digital, terlebih jika anak-anak tidak diawasi dan juga cukup tinggi," imbuh Rahma.
Gim Online Juga Berisiko untuk Kesehatan Fisik
Ia menambahkan risiko gim digital tidak hanya dalam bentuk paparan konten tak sesuai usia, tetapi juga risiko kesehatan mental, kesejahteraan anak, kemampuan bersosialisasi, kecanduan, hingga dampak fisik.
Oleh sebab itu ia menegaskan salah satu faktor yang jadi penting dalam memastikan anak-anak tidak terpapar dan mendapatkan dampak negatif dari gim online adalah pengawasan, bimbingan, dan arahan orang tua.
Risiko dampak negatif gim online terhadap anak-anak menurutnya dapat meningkat dari akses yang tidak dibatasi, disaring, maupun diawasi oleh orang tua.
"Mereka dapat terpapar konten yang belum sesuai dan belum mampu diproses berdasarkan tahapan perkembangan usia anak tersebut, serta dapat membentuk kebiasaan yang berisiko bagi kesehatan dan kesejahteraan mereka," ucapnya.
(nah/nwk)