Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) masih menjadi tantangan krusial untuk Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Salah satu masalah yang tidak bisa dipungkiri terkait hal itu adalah kurangnya jumlah guru pendidikan inklusi.
Mendikdasmen Abdul Mu'ti mengaku masih terus mencari formulasi yang tepat untuk menyelesaikan hal tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menghadirkan crash program untuk guru.
Crash program memungkinkan pengajar di lembaga pendidikan inklusi tidak harus berasal dari lulusan program studi ABK. Tetapi, memungkinkan guru-guru pendidikan umum yang dibekali dengan ilmu serupa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mungkin semacam crash program dulu tidak harus jenjang formal dalam pengertian harus (lulusan) dari program studi untuk anak-anak berkebutuhan khusus, tapi bisa guru-guru yang kita berikan pelatihan untuk nanti mendampingi anak-anak yang berkebutuhan khusus," tutur Mu'ti.
Hal ini disampaikan Mu'ti usai menghadiri acara puncak Festival Harmoni Bintang di Terowongan Kendal, Dukuh Atas, Jakarta Pusat, Minggu (3/8/2025).
Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Masih Banyak Kendala
Tidak hanya masalah guru, Sekum PP Muhammadiyah itu menyatakan pendidikan bagi ABK di Indonesia masih mengalami berbagai kendala, seperti:
1. Kendala Kultural
Mu'ti menyebut pendidikan ABK di Indonesia masih memiliki kendala kultural. Sebagian orang tua di RI masih belum siap bila anaknya satu sekolah dengan murid ABK.
"Ini juga menjadi kendala kultural untuk sekolah inklusi. Sebagian orang tua merasa malu atau merasa khawatir kalau anaknya ini belajar satu kelas dengan mereka berkeputusan khusus," jelasnya.
2. Jumlah Sekolah Luar Biasa Terbatas
Jumlah sekolah luar biasa (SLB) saat ini disebut Mu'ti juga masih terbatas. Oleh karena itu, ia menggaungkan hadirnya sekolah inklusi di mana sekolah umum bisa menerima ABK.
Sayangnya di lapangan Mu'ti juga masih menemukan bila belum semua anak-anak berkebutuhan khusus itu tertampung di sekolah inklusi. Menurutnya ini menjadi persoalan yang harus perlahan-lahan segera diselesaikan pemerintah.
"Kendala-kendala ini kita coba selesaikan secara bertahap, tapi intinya kita berusaha untuk dapat memberikan layanan pendidikan yang terbuka untuk semua secara bertahap (diselesaikan sesuai dengan kemampuan kita," tegasnya.
Ketika ditanya apakah permasalahan pendidikan ABK akan diakomodir dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Mu'ti belum bisa memastikannya. Ia mengungkap saat ini hal tersebut masih bersifat usulan dari berbagai pihak.
"Kami masih dalam proses sekarang menampung aspirasi masyarakat untuk naskah masukan RUU Sisdiknas yang merupakan inisiatif dari DPR," katanya.
Lebih lanjut, Mu'ti menyatakan perbaikan UU Sisdiknas merupakan inisiatif DPR. Pihaknya dalam hal ini berperan sebagai pendukung agar UU ini bisa diselesaikan pada 2025.
"Undang-undang ini kan inisiatif DPR, kami lebih sebagai supporting unit untuk mendukung bagaimana agar undang-undang ini bisa terselesaikan pada tahun ini karena prioritas dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) salah satunya adalah undang-undang tersebut," tandas Mu'ti.
(det/faz)