Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyorot aturan Sistem Peneriman Murid Baru (SPMB ) 2025. Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) No 3 Tahun 2025 tentang Sistem Penerimaan Murid baru dinilai sangat membingungkan dan ambigu, terutama soal penerapan jalur penerimaan.
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mencontohkan, pada pasal 43, terdapat penentuan penerimaan calon murid baru jalur domisili jenjang SMA didasarkan pada kemampuan akademik, bukan jarak tempat tinggal ke sekolah.
Berdasarkan Permendikdasmen No 3 Tahun 2025 pasal 30, persentase kuota murid baru jalur domisili SMA paling sedikit 30% dari daya tampung sekolah. Kemudian pada pasal 43 tertuang, jika calon murid baru jalur domisili jenjang SMA melampaui jumlah kuota yang ditetapkan pemerintah daerah, penentuan penerimaan murid baru dilakukan dengan urutan prioritas yakni kemampuan akademik, lalu jarak tempat tinggal terdekat ke satuan pendidikan, lalu usia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan pada jalur domisili jenjang SD, jika jumlah calon murid baru melebihi daya tampung, maka penentuan penerimaannya didasarkan pada urutan prioritas usia, kemudian jarak tempat tinggal terdekat ke satuan pendidikan.
Sementara itu pada pasal 44, jika calon murid baru jalur afirmasi melebihi daya tampung sekolah, maka penentuan penerimaan murid didasarkan pada jarak tempat tinggal terdekat dengan satuan pendidikan.
"Pusing bukan? Saya yang mengikuti tiap tahun saja pusing, apalagi orang tua," ucap Ubaid dalam keterangannya, Jumat (20/6/2025).
Jalur Domisili Rasa Prestasi
Ia menambahkan, peraturan di daerah seperti Yogyakarta dan DKI Jakarta terkait semua jalur pada akhirnya tetap mengutamakan prestasi akademik, baik jalur prestasi, domisili, mutasi, dan afirmasi. Empat model jalur yang diharapkan mampu membuka akses sekolah secara lebar menurut JPPI justru banyak menghadapi kebuntuan.
"Ironi memang, meski jarak domisili anak dekat dengan sekolah dan dari keluarga miskin pula, tidak menjamin akan bisa melenggang lolos seleksi bila tidak berprestasi," kata Ubaid.
Sebagai contoh, berdasarkan Keputusan Gubernur Jakarta No 414 Tahun 2025, penerimaan jenjang SMP, SMA, dan SMK tahap 2 hanya dapat diikuti calon murid cadangan yang berdomisili di DKI Jakarta. Jika jumlah pendaftar SMP dan SMK melebihi daya tampung, seleksi dilakukan dengan urutan total pembobotan indeks prestasi akademik, urutan pilihan sekolah, kemudian waktu mendaftar.
Sementara itu, jika pendaftar SMA melebihi daya tampung, seleksi dilakukan dengan urutan kemampuan akademik, urutan pilihan sekolah, kemudian waktu mendaftar.
Sedangkan pada jalur afirmasi prioritas kedua dan jalur mutasi jenjang SMP, pendaftar yang melebihi daya tampung diseleksi dengan urutan langkah wilayah penerimaan murid baru prioritas, total pembobotan indeks prestasi akademik, urutan pilihan sekolah, kemudian waktu mendaftar.
Di SPMB Yogyakarta, berdasarkan Keputusan Gubernur DIY No 131 Tahun 2025, calon murid jalur domisili radius, jalur domisili wilayah, maupun jalur afirmasi yang memiliki prestasi dapat diberikan penghargaan dalam bentuk penambahan nilai pada jumlah nilai gabungan.
Nilai gabungan adalah jumlah rata-rata nilai hasil penghitungan rapor pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, dan IPA murid SMP/MTs dari semester 1-5. Bobotnya yakni 40% ditambah jumlah nilai asesmen standardisasi pendidikan daerah (ASPD), dikalikan koefisien tertentu, diberikan bobot 60%.
Masih Diskriminatif
JPPI menilai SPMB 2025 masih diskriminatif dan belum sepenuhnya memenuhi prinsip perlindungan "hak semua anak" atas pendidikan. Ia menekankan, hak semua anak atas pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara dan dijamin oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1, "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan."
Ubaid mengatakan SPMB 2025 masih terjebak dalam masalah klasik perebutan kursi di sekolah negeri, tanpa memberikan solusi komprehensif bagi mayoritas anak yang tidak tertampung.
Sebagai contoh, rata-rata daya tampung SMA negeri di berbagai provinsi sekitar 30%. Maka, pemenuhan hak pendidikan 70% anak yang tidak tertampung perlu dipikirkan agar tidak menambah angka putus sekolah di jenjang SMA dan rendahnya angka partisipasi sekolah.
"Inilah pintu masuk kasus jual beli kursi, pungli, dan manipulasi yang susah diberantas. Ada permintaan yang sangat tinggi (demand), sementara penyediaan (supply) yang sangat minim," ucapnya.
"Ibarat naik bus (sekolah negeri), ini kapasitas bus sudah jelas-jelas tidak muat, mengapa pemerintah hanya sibuk urus seleksi calon penumpang yang ingin naik bus? Padahal penumpang (calon murid) yang tidak tertampung jauh lebih banyak?" imbuhnya.
(twu/pal)