Efektivitas Pendidikan Anak di Barak dari Kacamata Pakar Sosiologi

ADVERTISEMENT

Efektivitas Pendidikan Anak di Barak dari Kacamata Pakar Sosiologi

Cicin Yulianti - detikEdu
Jumat, 23 Mei 2025 13:30 WIB
Anggota TNI merazia barang bawaan siswa sebelum memasuki barak militer saat program pendidikan karakter dan kedisiplinan di Dodik Bela Negara Rindam III Siliwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (5/5/2025). Ratusan siswa SMA/SMK dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Barat yang memiliki perilaku khusus seperti terlibat tawuran, terafiliasi geng motor, kecanduan permainan daring (game online), mabuk dan perilaku tidak terpuji lainnya menjalani program pendidikan karakter dan kedisiplinan selama 14 hari. ANTARA FOTO/Abdan Syakura/bar
Siswa dibina di barak militer. Foto: ANTARA FOTO/ABDAN SYAKURA
Jakarta -

Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) soal pengiriman anak nakal ke barak militer masih menuai pro-kontra. Di sisi satu menyebut baik sebagai pendisiplinan, tapi di sisi lain mempertanyakan dampak psikologis anak setelah ikut pelatihan.

Pendapat tentang kebijakan ini salah satunya datang dari pakar sekaligus Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rachmad Kristiono Dwi Susilo. Menurutnya, kebijakan demikian cukup berisiko.

"Jika dilihat dari sosiologi, unit sosial terkecil itu keluarga. Di sinilah budi pekerti dan adab anak terbentuk pertama kali. Sebelum menentukan pendekatan pembinaan, kita harus paham dulu latar belakang sosial anak-anak itu," ujar Rachmad dikutip dari laman UMM, Jumat (23/5/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pembinaan Akhlak Tak Bisa Cukup oleh Satu Institusi Saja

Lebih lanjut Rachmad menyebut pembinaan akhlak anak yang bermasalah tak cukup dilakukan guru atau pendidikan lewat militer. Ada banyak elemen sosial yang harus dilibatkan misalnya keluarga, agama, masyarakat hingga lingkungan.

Dengan dilimpahkannya tugas pembinaan kepada militer, Rachmad melihat adanya krisis kepercayaan terhadap sistem pendidikan formal. Ia mengingatkan pendekatan yang cenderung memaksa seperti ini perlu diimbangi penelusuran latar belakang masalah anak.

ADVERTISEMENT

"Banyak dari anak-anak yang berperilaku menyimpang justru berasal dari keluarga yang tidak utuh, memiliki akses pendidikan yang terbatas, atau tinggal di lingkungan yang tidak mendukung perkembangan moral mereka. Oleh karena itu, pendekatan yang hanya fokus pada disiplin dan rasa takut tidak akan menyelesaikan masalah secara mendalam," kata Rachmad.

Perubahan Karakter Lewat Rasa Takut Tak Bertahan Lama

Dalam pengamatannya, perubahan karakter yang dilakukan lewat pemberian efek jera atau rasa takut tidak bertahan lama. Pasalnya, perubahan tak bisa berjalan dalam waktu singkat melainkan harus bertahap dan konsisten.

Pendekatan yang hanya menekankan aspek pembentukan disiplin menurutnya kurang efektif. Ia khawatir ada ketidakcocokkan antara nilai yang diterapkan di barak militer dengan kebutuhan psikososial anak.

"Melalui pendekatan sistemik yang melibatkan asesmen terhadap setiap anak untuk memahami penyebab kenakalan atau masalah perilaku mereka secara lebih spesifik. Pendekatan ini dapat mencakup identifikasi apakah masalah anak berasal dari faktor individual, psikologis, atau bahkan sosiologis," ujarnya.

Penanaman Moral & Karakter Ranahnya di Lembaga Pendidikan

Rachmad juga menggarisbawahi ranah penanaman moral dan karakter yang paling tepat adalah di lembaga pendidikan. Sehingga pendidikan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan anak.

Selain itu, penguatan pendidikan perlu juga dilakukan di ranah keluarga. Bagaimanapun, keluarga adalah pusat pendidikan moral pertama bagi anak.

"Jangan sampai kebijakan semacam ini justru merugikan dan memperburuk kondisi anak-anak yang seharusnya mendapatkan pendidikan yang lebih holistik dan berbasis pada pemahaman terhadap latar belakang mereka," ucap Rachmad.




(cyu/nah)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads