Wacana sekolah libur sebulan penuh selama Ramadan tengah menjadi perbincangan hangat. Hal ini menuai beragam tanggapan baik dari siswa, orang tua, guru, hingga pakar pendidikan.
Seperti diketahui, kebijakan pendidikan saat ini memberikan siswa libur sekolah di awal dan akhir Ramadan. Libur akhir Ramadan ini juga untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri yang biasa diisi dengan mudik atau pulang ke kampung halaman.
Adapun kebijakan tersebut telah ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Sempat terhenti, Presiden Megawati Soekarnoputri kembali melanjutkan kebijakan libur di awal dan akhir Ramadan hingga saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wacana libur sekolah satu bulan penuh selama Ramadan ini menyeruak usai Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengatakan pondok pesantren akan libur selama Ramadan. Namun untuk sekolah-sekolah negeri maupun swasta di bawah Kementerian Agama (Kemenag), libur masih bersifat wacana. Peserta didik diharapkan untuk menunggu pengumuman.
"Khususnya di pondok pesantren itu libur. Tetapi sekolah-sekolah yang lain juga masih sedang kita wacanakan. Nanti tunggulah penyampaian-penyampaian," kata Nasaruddin dikutip dari detiknews, Selasa (31/12/2024).
Pengaruh Libur Sekolah Sebulan Penuh Selama Ramadan
Menanggapi hal ini, Bukik Setiawan selaku Ketua Guru Belajar Foundation mengatakan jika kebijakan tersebut perlu mempertimbangkan keseluruhan aspek. Menurutnya, anak di sekolah bukan semata-mata belajar tapi juga melakukan berbagai aktivitas sehari-hari.
"Ketika sekolah diliburkan, anak akan tinggal di rumah, padahal orang tua masih tetap bekerja," ujarnya kepada detikEdu, Kamis (2/1/2025).
Bukik melanjutkan, libur selama Ramadan ini akan menimbulkan dua hal pada anak, yakni kekurangan aktivitas bermakna dan risiko penggunaan teknologi digital.
"Pada sisi lain, anak di rumah selama libur panjang juga akan menambah kerepotan orang tua," imbuhnya.
Sarankan Durasi Sekolah Fleksibel
Saat ditanya mengenai pengaruh libur sekolah satu bulan penuh selama Ramadan, Bukik mengatakan jika kebijakan ini bisa berpengaruh besar pada anak. Oleh karena itu, ia berpendapat jika pemerintah tidak melakukan perubahan drastis secara nasional.
"Hendaknya tidak melakukan perubahan drastis secara nasional. Beri kewenangan pada sekolah untuk mengantisipasi pengaruh tersebut sesuai dengan kondisi daerah dan kapasitas sekolah yang mengacu pada kebutuhan murid," tutur pemikir Merdeka Belajar ini.
Bukik menyarankan agar pemerintah memberikan kewenangan pada sekolah untuk fleksibel mengatur durasi masuk sekolah. Misalnya, sekolah bisa mengurangi jam pelajaran atau menambah jam untuk kegiatan yang lain.
Selama Ramadan, sekolah juga bisa mengadakan kegiatan yang bersifat merawat dan meningkatkan kesehatan siswa.
"Aktivitas refleksi, perenungan, lingkar membaca cerita, membuat jurnal pengalaman (tulisan/podcast/video), meditasi atau tidur siang, riset tentang tradisi selama bulan puasa (lintas agama)," pungkasnya.
(nir/twu)