Kemendikbud: Kurikulum Merdeka Memang Sulit, Tapi...

ADVERTISEMENT

Kemendikbud: Kurikulum Merdeka Memang Sulit, Tapi...

Trisna Wulandari - detikEdu
Senin, 22 Jul 2024 20:00 WIB
epala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo  dalam konferensi pers kurikulum untuk jenjang PAUD, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah di Gedung A Kemendikbudristek, Jakarta, Rabu (27/3/2024).
Kepala BSKAP Kemendikbudristek menanggapi kritik atas implementasi Kurikulum Merdeka yang dinilai sulit, khususnya soal pembelajaran yang berpusat pada murid. Foto: Trisna Wulandari/detikEdu
Jakarta -

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikburistek, Anindito Aditomo mengakui pembelajaran yang berpusat pada murid pada implementasi Kurikulum Merdeka merupakan hal yang sulit bagi guru. Untuk itu, kualitas implementasi Kurikulum Merdeka perlu diperbaiki.

Ia menggarisbawahi, kurikulum-kurikulum sebelumnya sejak 1980-an juga telah meminta guru untuk melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada murid. Kurikulum Merdeka menurut Nino lebih memudahkan guru untuk melakukannya ketimbang kurikulum-kurikulum sebelumnya.

Hal tersebut disampaikan Nino saat menanggapi sejumlah hasil studi The Smeru Research Institute dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) RI pada pada Forum on Education and Learning Transformation (FELT) 2024 di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, Senin (22/7/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kritik-kritik yang menganggap Kurikulum Merdeka sulit karena meminta guru berpusat pada anak, itu juga berlaku untuk kurikulum sampai yang 20 tahun lalu," kata Nino.

"Pertanyaannya, apakah Kurikulum Merdeka memudahkan guru-guru melakukan itu dibandingkan kurikulum-kurikulum sebelumnya? Dan jawabannya iya. Karena Kurikulum Merdeka punya karakteristik yang sengaja dirancang agar guru lebih mudah melakukan pembelajaran yang berpusat pada murid," sambungnya.

ADVERTISEMENT

Lebih Memudahkan Guru

Desain Kurikulum Merdeka tersebut menurut Nino dapat lebih memudahkan guru untuk mengajarkan siswa sesuai kemampuannya (teaching at the right level) dan melakukan pembelajaran berdiferensiasi.

"Semuanya langsung bisa melakukan? Nggak. Tapi perbandingannya harus tepat: dibandingkan kurikulum sebelumnya, guru lebih mudah mana melakukan hal itu, diferensiasi pembelajaran, pembelajaran yang berpusat pada murid," ujarnya.

"Bukan nggak ada kesulitannya. Sulit memang. Tapi itu masih lebih mudah dengan ketika guru dibebani dengan materi yang banyak banget di K-13 (Kurikulum 2013) sekaligus disuruh ngajarin karakter, akhlak mulia, sekaligus konsep matematika," ucapnya.

Ia juga mengatakan, bahwa dalam Kurikulum Merdeka, akan diberi waktu khusus untuk pendidikan karakter. Hal itu dikatakan bisa lebih mudah untuk mengembangkan pendidikan karakter.

Tantangan Guru Mengajar dengan Kurikulum Merdeka

Sebelumnya pada acara yang sama, penanggap diskusi Senior Research Fellow The Smeru Research Institute Dr Asep Suryahadi menjabarkan beberapa tantangan implementasi Kurikulum Merdeka dari studi Smeru tahun lalu.

Asep menuturkan, guru selama puluhan tahun terbiasa atas pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered learning). Untuk itu, tidak mudah bagi guru untuk mengubah metode pembelajaran menjadi berpusat pada murid.

"Para guru juga banyak yang memiliki keyakinan bahwa sangat penting untuk mengajarkan semua materi yang ada di dalam kurikulum. Ini tentu berbeda dengan yang ada di Kurikulum Merdeka, yang sebenarnya menuntut guru untuk mengajar at the right level--mengajar sesuai kemampuan siswanya, sehingga memilih mengajarkan hanya yang benar-benar esensial," terangnya.

"Oleh karena itu, guru melihat penerapan KBM (Kurikulum Merdeka Belajar) itu bisa mengakibatkan terhambatnya penyampaian seluruh materi pembelajaran yang ada di kurikulum," imbuh Asep.

Kapasitas Guru Jadi yang Paling Utama

Dalam kesempatan yang sama, penanggap Kepala Pusat Riset Pendidikan BRIN, Trina Fizzanty PhD menambahkan, berdasarkan beberapa riset BRIN terkait Kurikulum Merdeka, perlu juga untuk memastikan guru punya kapasitas untuk memilih materi esensial bagi siswa dalam menerapkan pembelajaran yang berpusat pada murid.

"Kapasitas guru menjadi yang paling utama karena guru yang nanti akan mencoba memfasilitasi, mendorong siswanya untuk belajar sendiri dan seterusnya. Kami melihat persepsi belum sama di tingkat praktisi pendidikan," ucapnya.

"Masih ada yang menganggap Kurikulum Merdeka itu P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Kan tidak demikian ya. Karena persepsi yang masih ada demikian, (dianggap) menimbulkan biaya, padahal basisnya sebenarnya kemampuan lokal yang harus dibangun. Jadi persepsi yang sama ini dulu yang perlu kita tingkatkan, baru kapasitas meningkat," imbuhnya.




(twu/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads