Kekerasan terhadap anak merupakan masalah serius yang dapat berdampak negatif pada anak, baik secara fisik, emosional, maupun sosial. Kekerasan terhadap anak dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, dan pengabaian. Umumnya anak yang mengalami kekerasan umumnya menunjukkan perubahan perilaku.
Psikolog anak dan remaja Vera I Hadiwidjojo menjabarkan sejumlah tanda-tanda anak mengalami kekerasan. Tanda-tanda ini bisa diamati orang di rumah.
"Tanda paling kelihatan adalah di fisik, seperti luka, anak malas makan dari yang tadinya banyak, terus tidurnya jadi gelisah, sering bangun mimpi buruk, atau tidur terus menerus. Jadi ada pola yang berubah," kata Vera dalam Silaturahmi Merdeka Belajar (SMB): Pendidikan Berkualitas tanpa Kekerasan melalui Permendikbudristek PPKSP, Kamis (24/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tanda-tanda Anak Jadi Korban Kekerasan
Berikut tanda-tanda anak alami kekerasan seperti dijelaskan psikolog anak dan remaja Vera I Hadiwidjojo, disiarkan dari kanal YouTube Kemendikbud RI:
Ada luka pada anak
Luka pada anak dapat diamati orang tua di rumah. Tanda fisik ini menjadi tanda paling jelas atas kekerasan yang berisiko dialami anak.
Ada barang yang rusak atau hilang tanpa alasan yang jelas
Barang yang rusak atau hilang tanpa alasan jelas dapat mengindikasikan anak memberikan barangnya atau menjual barangnya agar mendapatkan uang bagi pelaku kekerasan seperti perundungan.
Pola makan dan tidur anak berubah drastis
Pola tidur dan pola makan anak yang berubah juga dapat menunjukkan tanda-tanda anak menjadi korban kekerasan. Bentuknya antara lain dari yang lahap makan menjadi malas makan, gelisah dan terbangun saat tidur, mengalami mimpi buruk, mengompol padahal sudah tidak mengompol, atau justru jadi tidur terus menerus.
Enggan ke sekolah, nilai turun, kehilangan minat belajar
Vera menjelaskan, kekerasan juga berdampak pada enggannya anak masuk sekolah dan tidak minat belajar. Salah satu contohnya yakni anak tidak masuk sekolah karena mengeluh sakit. Namun saat dicek di dokter, sang anak tidak terdiagnosis sakit.
Punya sedikit teman atau tidak ada sama sekali, menarik diri
Anak korban kekerasan juga cenderung menarik diri di sekolah.
"Temen-temennya sedikit, atau dia jadi malas bersosialisasi, lebih menarik diri," kata Vera.
Mudah emosional, agresif, tertekan, murung
Perubahan emosional juga bisa terjadi pada anak korban kekerasan. Bentuknya dapat berupa ledakan-ledakan emosi, baik di sekolah maupun rumah.
"Ada perubahan emosional. Biasanya korban menunjukkan ledakan emosional yang tidak jelas. Tiba-tiba marah, tiba-tiba jadi kasar ke orang tuanya, ke adiknya," jelas Vera.
Menghindari tempat atau individu tertentu, takut sendirian
Anak korban kekerasan juga cenderung menghindari tempat atau individu tertentu. Contohnya menahan pipis karena tidak berani ke toilet lagi dan takut berpapasan dengan pelaku.
Merasa dirinya tidak cukup baik, menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berdaya
Vera mengatakan, kekerasan juga memengaruhi konsep diri korban jadi negatif. Anak korban kekerasan cenderung merasa tidak berharga, merasa tidak bisa melawan, merasa dirinya tidak cukup baik atau jelek, hingga merasa dirinya kotor.
Lebih jauh, korban kekerasan juga berisiko menyalahkan dirinya sendiri atas kekerasan yang dilakukan padanya. Ia juga berisiko merasa tidak berdaya. Dampaknya, sang anak berisiko tidak percaya lagi pada orang lain karena merasa tidak bisa membantunya.
Minta uang lebih untuk alasan yang tidak jelas
Anak korban kekerasan juga terkadang meminta uang lebih untuk alasan tidak jelas. Sebabnya antara lain mengalami perundungan dan pemerasan, dan lain-lain.
Bicara tentang bunuh diri
Stres akibat mengalami kekerasan dapat memicu depresi dan keinginan bunuh diri. Bicara tentang bunuh diri dapat menjadi salah satu tanda anak mengalami kekerasan.
Enggan bicara tentang sekolah atau teman
Kekerasan di sekolah juga dapat membuat anak tidak mau menyinggung soal sekolah maupun soal teman-temannya di sekolah.
Permendikbudristek Anti Kekerasan di Sekolah
Vera mengatakan, adanya Peraturan Mendikbudristek (Permendikbudristek) No 46 Tahun 2023 penting untuk perbaikan pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan, baik untuk korban, saksi, maupun pelaku.
Ia menegaskan, langkah pencegahan kekerasan dan penanganannya di satuan pendidikan merupakan tugas seluruh pihak. Harapannya, anak merasa aman untuk belajar di sekolah.
"Ini kerja kita ramai-ramai, tidak terikat pada sekolah, guru, orang tua, tapi it takes a country. Langkah menuju ke sana sudah ada, dibuktikan dengan Permendikbudristek ini, keterlibatan lebih jauh dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang angkanya mengerikan," kata Vera.
"Ini sangat mengancam rasa aman, khususnya orang tua saat menempatkan anak di sekolah sebagai rumah kedua. Ketika rumah kedua tidak aman, anak mau dibawa ke mana lagi?" imbuhnya.
Praptono, Plt Sekretaris Ditjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen Kemendikbudristek mengatakan, Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 tentang PPKSP berfokus pada penguatan tata kelola, salah satunya dengan pembentukan tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) baik di sekolah maupun pemda.
Lebih lanjut, satgas PPK di pemda menurutnya penting untuk mengantisipasi kejadian kekerasan di sekolah.
"Sehingga jika kejadian, mekanisme kerjanya sudah sangat jelas, bagaimana laporan diajukan sampai bagaimana inisiatif tindakannya," kata Praptono.
Ia menambahkan, aturan ini juga mendorong kesadaran anak, guru, dan orang tua tentang pencegahan dan penanganan kekerasan.
"(Isinya) Ada rambu-rambu komprehensif soal pencegahan dan penanganan," ujarnya.
(twu/twu)