Wisuda TK-SMA Diperlukan atau Tidak? Ini Kata PGRI

ADVERTISEMENT

Wisuda TK-SMA Diperlukan atau Tidak? Ini Kata PGRI

Fahri Zulfikar - detikEdu
Jumat, 16 Jun 2023 19:30 WIB
Ditutupnya sekolah akibat pandemi COVID-19 membuat acara wisuda tidak bisa dilaksanakan. Namun para siswa ini memiliki cara agar hari besar itu bisa dirayakan.
Foto: AP Photo/Susan Walsh/Ilustrasi wisuda sekolah
Jakarta -

Pelaksanaan wisuda jenjang TK, SD hingga SMA menuai pro dan kontra dari berbagai warganet. Banyak yang menilai bahwa wisuda sekolah memberatkan biaya orang tua.

Keluhan tersebut turut dilontarkan ke akun instagram Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, dalam salah satu unggahannya.

"Pak Nadiem, sekarang ini di kebanyakan sekolah dari jenjang TK, SD, SMP, dan SMA mengadakan wisuda untuk kelulusan, tolong pak untuk mengambil kebijakan agar di beri larangan supaya tidak memberatkan biaya org tua karena didalam acara tsb org tua mengeluarkan uang untuk sewa toga, make up, sewa gedung, beli buket, dan lainnya sedang kan masih harus memikirkan biaya pendaftaran dan persiapan sekolah selanjutnya. besar harapan kami pak Nadiem mau membantu πŸ™ terimakasih pak sebelumnya salam dari saya," tulis akun @arifin_olif.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Assamualaikum, Pak. Mohon hapuskan wisuda jenjang PAUD-TK-SD-SMP-SMA dengan dibuatkan edaran resmi SK Kemndikbud, Pak! Meresahkan sekali. Tolong, Pak!" timpal komentar dari akun @mohekanwar.


Wisuda Sekolah Lebih Banyak Unsur Seremonial

Merespon polemik ini, Dr Sumardiansyah Perdana Kusuma, MPd, Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) mengatakan bahwa wisuda bagi anak sekolah sebenarnya lebih banyak unsur seremonial daripada substansial.

ADVERTISEMENT

Menurutnya, hakikat kelulusan seseorang pada prinsipnya bukan diukur dari perayaan, melainkan proses dan hasil yang diperoleh sebagai bagian dari pengalaman bermakna di masa sekolah.

Harapannya seseorang bisa melakukan refleksi mengenai sejauh mana pencapaian kompetensi mereka bisa tumbuh dan berkembang untuk kemudian bisa berguna dalam kehidupan nyata.

"Semisal untuk anak PAUD. TK dan SPS (Satuan PAUD Sejenis), rasanya belum terlalu urgen seusia mereka yang menempuh masa pendidikan selama 1 atau 2 tahun sampai dibuatkan semacam wisuda," ucapnya kepada detikEdu, Jumat (16/6/2023).

Masih Ditemukan Pemaksaan Wisuda

Sejatinya, menurut Sumardiansyah, penyelenggaraan wisuda bagi anak sekolah dilihat secara fair dan bijaksana.

Namun faktanya, selama ini masih ditemukan penyelenggaraan wisuda yang mengarah kepada pemaksaan terhadap anak atau orang tua untuk membayar dengan nominal tertentu.

"Ini sama saja dengan pungutan. Apalagi kalau itu diterapkan di sekolah-sekolah negeri yang mengusung model sekolah gratis, zonasi, dan inklusi sebagaimana halnya di DKI Jakarta, penyelenggaraan wisuda berpotensi menimbulkan bentuk diskriminasi baru karena sudah pasti pungutan yang diminta tidak mampu dijangkau oleh siswa dari keluarga tidak mampu," ungkap Guru SMAN 13 Jakarta tersebut.

"Belum lagi soal laporan pertanggungjawaban keuangan yang harus dikelola secara transparan dan akuntabel sesuai dengan RKAS (Rencana Kegiatan Anggaran Sekolah) yang sudah disusun. Penarikan pungutan sudah pasti juga tidak tercantum apalagi menggunakan RKAS, sehingga lagi-lagi kalau itu dilakukan apalagi dengan cara memaksa akan berpotensi menciptakan penyimpangan dalam hal pengelolaan anggaran sekolah," terang Sumardiansyah lebih lanjut.

Jalan Tengah Pemerintah: Tidak Melarang tapi Mengaturnya

Meski begitu, Sumardiansyah menyebut pemerintah bisa saja mengambil jalan tengah. Caranya, tidak perlu melarang wisuda sekolah tetapi dengan mengaturnya.

Menurutnya, dalam konteks tertentu ada sekolah-sekolah terutama yang dari swasta mereka menjadikan wisuda sebagai icon, branding, dan pelayanan prima untuk mereka yang bersekolah di sana.

Konteks semacam ini akan jadi rumit ketika wisuda sekolah dilarang. Sebab, sekolah swasta merupakan lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat memiliki kemandirian dan keleluasaan dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk soal penggunaan anggaran.

"Sehingga yang mungkin perlu dilakukan pemerintah adalah dengan mengaturnya, bukan melarangnya," tegasnya.

Untuk mengatur wisuda sekolah ini, pemerintah bisa membuat pedoman atau panduan penyelenggaraan wisuda dengan catatan.

Misalnya dengan mengakomodasi karakteristik sekolah negeri dan swasta, dikelola dengan transparan dan akuntabel.

Bagi sekolah negeri bisa mengambil anggaran dari BOP/BOS dan wisuda harus diadakan di sekolah, konsep acara yang diusung harus melibatkan siswa dan segenap warga sekolah secara aktif dengan mengedepankan nilai-nilai edukasi dan gotong royong.

"Prinsip utamanya wisuda jangan sampai mengarah kepada perilaku hedonis, memaksa dan membebani orang tua, menciptakan diskriminasi, dan memberi peluang terjadinya pungutan liar. Selama prinsip-prinsip tersebut tidak dilanggar, maka wisuda kalau mau diadakan ya sah-sah saja," tutur Sumardiansyah.




(faz/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads