Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menghapus tes calistung atau membaca, menulis, dan menghitung pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk jenjang SD/MI.
Kebijakan ini adalah bagian dari program Merdeka Belajar episode 24 tentang Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan yang diluncurkan akhir Maret lalu.
Pakar pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dr Martadi, MSn turut memberikan tanggapannya mengenai hal tersebut. Menurutnya kebijakan penghapusan calistung dalam PPDB SD patut diapresiasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Calistung Bukan Fase Anak 0-6 Tahun
Martadi beralasan, kebijakan ini patut diapresiasi karena salah satu semangatnya adalah meluruskan mispersepsi calistung di jenjang SD atau MI.
"Tes calistung memang belum fasenya diberikan kepada anak usia 0-6 tahun. Selain itu, guru cenderung fokus mengajar calistung ketimbang memaksimalkan enam aspek pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini," jelas Martadi, dikutip dari rilis laman UNESA.
Aspek pertumbuhan dan perkembangan anak yang dimaksud Martadi adalah nilai agama dan moral, fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, dan seni.
Martadi menegaskan orang tua kerap salah memahami seakan-akan PAUD yang hebat adalah yang dapat membuat anak dapat calistung. Sementara, dia melihat kebijakan yang dikeluarkan oleh Nadiem ini dimaksudkan agar PAUD dan SD menerapkan pembelajaran yang menyenangkan atau membangun kemampuan fondasi anak.
"Guru melakukan strategi pembelajaran aktif, eksploratif, interaksi positif, dan menyenangkan sehingga tumbuh rasa ingin tahu dan percaya diri anak," ujarnya.
Kesalahan Penerapan Pendidikan Level Dasar
Pimpinan Lembaga Pendidikan dan Sertifikasi Profesi (LPSP) Unesa itu menyebut kebijakan Merdeka Belajar mampu mengurangi beban siswa dan guru di sekolah sekaligus meluruskan berbagai kesalahan dalam implementasi pendidikan di level dasar.
Salah satu kesalahan dalam penerapan pendidikan level dasar ini adalah langsung menyodorkan huruf dan latihan menulis kepada anak-anak. Padahal, siswa PAUD dan awal SD membutuhkan pembekalan kemampuan pengenalan bentuk.
Menurut Martadi, anak kerap bingung membedakan huruf "b" dan "d". Dua huruf ini diputar dari berbagai sisi akan terlihat sama bagi anak, sebab mereka menggunakan perspektif burung yang melihat dari atas.
"Anak harus diberikan permainan puzzle agar anak bisa mengenali bentuk. Kalau mereka bisa menata puzzle yang jumlahnya sekitar 24 keping itu menjadi dasar penting untuk memasuki fase belajar membaca dan menulis," paparnya.
Martadi menegaskan guru harus tahu cara tepat untuk mengenalkan baca dan tulis secara menyenangkan, agar anak tidak merasa kesulitan dan bosan.
Anak TK Tidak Harus Bisa Baca-Tulis
Kebijakan soal penghapusan calistung dalam PPDB SD ini menurut Martadi harus dipahami seluruh pelaku pendidikan. Selain itu Kemendikbudristek tidak cukup hanya menerbitkan kebijakan, tetapi perlu adanya sosialisasi kepada kepala sekolah dan guru. Di samping itu orang tua pun perlu ditegaskan pemahamannya bahwa anak TK tidak harus bisa membaca dan menulis, tetapi lebih ke pertumbuhan dan perkembangannya.
Adapun jika SD memiliki tes kemampuan, menurut Martadi hal ini bukan untuk seleksi, melainkan diagnosis memetakan kemampuan anak, mengetahui kemampuan anak, potensinya, dan bagaimana guru memilih strategi yang tepat untuk pembelajaran.
Bagi sekolah yang masih melanggar dengan menerapkan tes calistung, Martadi menyarankan agar sekolah tidak langsung dijatuhi sanksi penutupan sekolah. Satuan pendidikan yang bersangkutan bisa diberi surat peringatan terlebih dahulu.
Pakar pendidikan dari Unesa ini berharap kebijakan penghapusan calistung pada tes masuk SD menjadi angin segar dalam meningkatkan kualitas pendidikan di PAUD dan SD. Pasalnya, sekolah pada jenjang ini adalah fondasi yang mempengaruhi tumbuh kembang anak pada fase selanjutnya.
"Semoga 3-4 tahun ke depan semua sekolah sudah menerapkan ini dan membuat anak-anak lebih merdeka belajar dan lebih joyful learning dan bermakna bagi anak," ungkapnya.
(nah/pal)