Bagaimana jika siswa kelas 3 SD punya kemampuan literasi dan numerasi seperti anak kelas 1 SD?
Kerisauan tersebut diutarakan seorang guru SD diJember, Jawa Timur. Di kelasnya, lebih dari 50 persen siswa mengalami kondisi itu.
Ia menuturkan, para siswa bisa membaca, tetapi tidak sampai memahaminya. Siswa yang sebelumnya mengalami sekolah di tengah pandemi pada kelas 1 dan 2 tersebut juga kurang membaca, kesulitan berbahasa Indonesia di kelas, dan sehari-harinya berbahasa daerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sang guru mengaku kesulitan karena jumlah siswa di tingkat literasi kelas 1 tersebut banyak. Lantas, bagaimana cara mengatasinya?
Mencari Tahu Tingkat Literasi dan Numerasi Siswa
Eri Yusron dari organisasi nonprofit Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) menuturkan, hal pertama yang perlu dilakukan yakni mencari tahu tingkat literasi numerasi para siswa agar agar intervensi yang diberikan tidak keliru dan dapat sesuai dengan tujuan.
Ia menambahkan, kondisi para siswa juga dapat jadi landasan diskusi guru untuk berkolaborasi lebih lanjut. Contohnya dengan tidak langsung memberikan materi tertentu, tetapi diarahkan pada kemampuan dasar agar lebih kuat.
"Contoh di literasi, sudah mengenal kosa kata yang baik. Dari situ bisa membaca suatu kalimat. Bisa juga gunakan PMM (Platform Merdeka Mengajar), banyak video di sana, modul yang bisa dipelajari terkait cara meningkatkan literasi," tuturnya dalam webinar Ngobrol Publik: Praktik Baik Literasi Membaca & Numerasi di kanal YouTube Semua Guru Semua Murid (SMSG), dikutip Jumat (17/3/2023).
"Jadi diketahui levelnya, dikomunikasikan dengan guru lain untuk kolaborasi cari metode yang tepat. Kita juga bisa cari referensi dari YouTube, dari PMM, untuk intervensi yang bisa diberikan," imbuh Eri.
Eri sendiri merupakan Lead Pemantik dari PSPK. Pemantik merupakan akronim dari Pengukuran Mandiri Literasi dan Numerasi PSPK, yaitu perangkat asesmen untuk mengukur kemampuan literasi dan numerasi anak usia 6-12 tahun.
Ia menjelaskan, Asesmen Pemantik diharapkan dapat menjadi acuan perencanaan pembelajaran yang sesuai tahap kemampuan anak.
"Contoh, ada sebuah yayasan menggunakan Pemantik di sekolah-sekolah yang ia naungi. Ada kasus siswa di kelas tinggi, tetapi kemampuan literasi dan numerasinya berada di tingkat kelas rendah. Itu jadi suatu pemantik terkait apa yang bisa diberikan, harus seperti apa. Hal ini bisa jadi landasan diskusi guru untuk berkolaborasi," terangnya.
Cari Tahu Penyebabnya
Ketua Kampus Guru Cikal Marsaria Primadonna menuturkan, bila tingkat kemampuan literasi atau numerasi siswa jauh di bawah kompetensinya, hal pertama yang perlu dicari tahu adalah penyebabnya.
"Apakah ada hal di luar kebutuhan murid tersebut yang perlu diakomodir. Kebutuhan murid beda-beda, dan perlu dicaritahu, misalnya apakah ada permasalahan bahasa," tutur Pima.
"Saya pernah ketemu murid yang susah membaca di kelas 4, ternyata disleksia. Ternyata kalau membaca, simulasinya berbeda (bagi siswa disleksia), tidak bisa yang langsung baca sesuai usianya." imbuhnya.
Pima menuturkan, usai mencari tahun penyebabnya, perlu intervensi sesuai kebutuhan siswa.
Anak disleksia sendiri dapat didiagnosis pada usia anak 5-7 tahun atau usia pra sekolah oleh psikolog klinis anak dan dokter anak spesialis neurologi, seperti dikutip dari laman Asosiasi Disleksia Indonesia.
Sementara itu, bila kondisi literasi dan numerasi di kelas terjadi pada lebih dari 50 persen siswa, Pima menyarankan agar guru tidak ragu melakukan asesmen ulang dari awal. Contoh asesmen sederhananya dapat dilakukan lewat buku bacaan paling mudah untuk anak.
"Jika jumlahnya (siswa dengan kemampuan literasi dan numerasi di bawah tingkat kelasnya) lebih dari 50 persen, pertama dilakukan asesmen ulang lagi di awal," tuturnya.
Jangan Ragu Ajari Ulang
Pima mengatakan, jika kondisi kemampuan literasi dan numerasi siswa di bawah tingkat kelasnya ini terjadi pada banyak siswa di kelas, maka pembelajaran berdiferensiasi perlu dilakukan, bukan intervensi.
Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran yang mengakomodir kebutuhan belajar murid, seperti dikutip dari laman Ayo Guru Berbagi Kemdikbud. Contohnya, guru menyiasati strategi memberikan materi lewat games di kelas atau di luar kelas, membaca bersama, dan lain-lain.
"Kalau perlu diajar ulang, ajari saja, memang harus ulang. Kalau tetap dipakai kelas 3, tidak bisa. Kadang harus mundur dulu, supaya bisa start dengan benar, pungkasnya.
(twu/nwk)