Siswa SD Bunuh Diri Imbas Di-bully, Pemerhati Anak: Guru-Sekolah Tak Peka!

ADVERTISEMENT

Siswa SD Bunuh Diri Imbas Di-bully, Pemerhati Anak: Guru-Sekolah Tak Peka!

Novia Aisyah - detikEdu
Minggu, 05 Mar 2023 15:30 WIB
Bunuh diri Banyuwangi
Foto: Dok. Istimewa/Polisi saat olah TKP siswa SD bunuh diri di Banyuwangi.
Jakarta -

Baru-baru ini publik dikejutkan oleh tewasnya MR (11), siswa SD asal Banyuwangi yang gantung diri lantaran diduga kerap mengalami perundungan atau bullying dari teman-temannya.

MR diduga mendapatkan perundungan di sekolah dan tempatnya mengaji karena tak memiliki ayah. Bapaknya meninggal setahun yang lalu.

Pemerhati anak dan pendidikan, Retno Listyarti menggarisbawahi, penyebab bunuh diri tidak terdiri atas faktor tunggal. Pada kasus MR, kondisi kehilangan ayah dan dirundung bisa menjadi faktor utamanya mengakhiri hidup.

Retno menilai, kehilangan ayah menjadi tekanan psikologi yang berat bagi MR. Saat luka itu belum sembuh, korban justru di-bully lantaran peristiwa kehilangan tersebut.

"Yang seharusnya dilakukan oleh pendidik adalah membangun empati dan simpati pada sesama anak atas musibah atau ketidakadilan yang dialami orang lain, bukan malah membully," ungkapnya melalui keterangan tertulis pada Minggu (5/3/2023).

Guru Kelas dan Sekolah Dinilai Tak Peka

Retno menyebut adanya ketidakpekaan guru kelas dan lingkungan sekolah MR.

"Kalau menyimak penjelasan pihak sekolah yang membantah ada pem-bully-an, padahal pihak keluarga menyatakan kalau anak korban kerap curhat pada ibunya karena di-bully, bahkan seringkali enggan berangkat ke sekolah. Maka hal itu menunjukkan bahwa guru kelas dan lingkungan sekolah anak korban tidak memiliki kepekaan terhadap anak didiknya," paparnya.

Menurutnya pihak sekolah MR seharusnya belajar melalui kasus ini dan memahami apa yang sebetulnya terjadi di lingkungan sekolah. Terlebih, perundungan itu diduga sudah sejak lama, hampir satu tahun.

Retno menekankan semestinya ada perhatian khusus saat ada perubahan sikap MR, sebab pihak keluarga menyampaikan anaknya menjadi murung sejak di-bully. Tepisan sekolah atas adanya perundungan, kata Retno adalah bentuk sikap lepas tanggung jawab dan upaya menjaga citra sekolah.

"Semestinya ini jadi pembelajaran mahal bagi sekolah dan sekolah harus mulai membangun sistem sekolah yang aman dari kekerasan sebagaimana amanat pasal 54 UU Perlindungan anak dan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan," jelasnya.

Dia menambahkan, Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi seharusnya memeriksa dan memastikan peristiwa yang sesungguhnya. Apabila benar, maka tidak boleh ditutupi, melainkan sistem perlindungan anak di seluruh sekolah di wilayah Kabupaten Banyuwangi harus dibenahi.

Anak yang Sering Lihat Kekerasan akan Menganggapnya Wajar

Mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini mencatat pada awal 2023 ada enam kasus kekerasan baik perundungan maupun kekerasan fisik dan bullying di satuan pendidikan.

Kasus yang dicatat adalah santri yang dibakar santri senior di Kabupaten Pasuruan, kepala madrasah di Gresik menampar 15 anak karena jajan di luar kantin sekolah, siswa membawa parang ke sekolah di Samarinda karena marah kepada guru olahraganya, guru di Garut menampar siswa yang kedapatan merokok dan menyuruh anak lain di kelas tersebut menghukum siswa perokok tersebut, dan terakhir di Kabupaten Banyuwangi ada siswa SD (11 tahun) bunuh diri diduga karena di-bully tidak memiliki ayah.

Retno menerangkan, kekerasan verbal dan fisik yang melibatkan pelaku anak menunjukkan bahwa kekerasan adalah keseharian yang dapat disaksikan bahkan dialami anak-anak. Ini bisa terjadi di pengasuhan di lingkungan keluarga, tempat bermain dan sekolah, maupun media sosial.

Retno menekankan, ketika anak-anak sering melihat dan mengalami kekerasan, lama-lama mereka akan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.

Retno mencontohkan, kasus penganiayaan terhadap David (17) yang salah satu pelakunya masih berstatus usia anak, memperlihatkan bahwa menyelesaikan masalah dengan kekerasan adalah pilihan yang dianggap biasa dan tidak ada kekhawatiran atas risiko hukumnya.

"Anak adalah peniru ulung. Apa yang dia lihat, rasakan, dan alami dari lingkungan dia tumbuh dan dibesarkan, dapat dipastikan akan ditiru dalam perilaku dan bagaimana anak menyelesaikan masalah dengan sesama anak, pendekatan kekerasan menjadi pilihan anak," urainya.

Retno menuturkan, anak bukanlah manusia dewasa yang bentuknya mini, tetapi manusia yang belum dewasa. Maka dari itu, anak belum memahami risiko dan kurang berpikir panjang.

Dia mengungkap, "Oleh karena itu, kesalahan anak tidak berdiri sendiri, karena ada faktor pengasuhan keluarga dan lingkungan dia dibesarkan."

"Pengasuhan keluarga dan di sekolah lah yang seharusnya mengajarkan anak anak mengetahui hal baik dan buruk. Role model dari orang dewasa sekitar anak akan menentukan anak menjadi baik atau tidak," imbuhnya lagi.

Belajar dari Kasus MR

Retno mengingatkan, kasus MR adalah pembelajaran mahal. Saat orang dewasa tidak peka, baik di lingkungan sekolah atau keluarga, maka seorang anak akan merasa tidak ada jalan keluar. Sebab, anak tersebut merasa tidak ada yang dapat menolongnya dan harus menghadapi masalahnya sendiri.

Dia melanjutkan, masalah anak dan orang dewasa berbeda. Anak bisa saja sangat terpukul saat menghadapi suatu masalah yang menurut orang dewasa dianggap sepele.

"Oleh karena itu, ketika anak mengadukan kekerasan atau pembullyan yang diterimanya, maka keluarga harus mendukungnya dan menanyakan anak apa yang dia butuhkan, peluk anak dan katakan bahwa dia tidak sendirian. Hal sesederhana itu saja akan membuat anak tenang dan bisa berpikir logis untuk sama-sama menyelesaikan masalahnya," pungkasnya.




(nah/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads