Kepala BSKAP: Di Kurikulum Merdeka, Konten Akademik Dikurangi 20-30 Persen

ADVERTISEMENT

Kepala BSKAP: Di Kurikulum Merdeka, Konten Akademik Dikurangi 20-30 Persen

Trisna Wulandari - detikEdu
Jumat, 01 Jul 2022 18:45 WIB
Guru memberikan pelajaran kepada murid saat uji coba belajar tatap muka di kawasan SDN 11 Pademangan Barat, Jakarta Utara, Rabu (7/4). SDN Pademangan Barat 11 memulai uji coba belajar tatap muka bagi siswa kelas V di tengah pandem COVID-19. Protokol kesehatan menjadi hal utama baik bagi siswa maupun tenaga pendidik.
Ilustrasi pembelajaran di kelas (Foto: Pradita Utama)
Jakarta -

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim saat meluncurkan Merdeka Belajar Episode 15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Belajar menyatakan telah mengidentifikasi sejumlah kelemahan dalam kurikulum nasional yang berlaku saat ini.

"Materi terlalu padat sehingga tidak cukup waktu untuk melakukan pembelajaran mendalam dan sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik," ujar Nadiem, 11 Februari 2022 lalu.

Saat itu, Nadiem pun mengenalkan Kurikulum Merdeka yang telah diuji coba pada 2.500 sekolah penggerak. Salah satu keunggulan Kurikulum Merdeka ini, menurut Nadiem yaitu lebih sederhana dan mendalam. Menurut rencana, kurikulum ini akan digunakan secara nasional mulai 2024 mendatang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tugas "menggodok" kurikulum ini berada dalam ranah tanggung jawab Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek sebuah badan organik Kemendikbudristek yang dibentuk Agustus 2021 lalu.

Institusi ini dipimpin Anindito Aditomo, seorang birokrat muda yang juga doktor dalam bidang Philosophy in Education dari University of Sydney, Australia.

ADVERTISEMENT

Anindito yang akrab disapa Nino beberapa waktu lalu memberi kesempatan pada detikEdu bertemu secara virtual. Ia menjawab seputar penggantian kurikulum nasional menjadi Kurikulum Merdeka dan penerapannya di sekolah penggerak se-Indonesia, termasuk di daerah 3T.

Selain itu, Nino juga merespons kritikan berbagai pihak soal draft RUU Sistem Pendidikan Nasional yang beredar di tengah masyarakat. "Saya ditugasi mas Menteri (Nadiem Makarim) sebagai juru bicara utama terkait RUU Sisdiknas," ujarnya. Berikut wawancara selengkapnya.

Apa urgensi untuk mengganti kurikulum jadi Kurikulum Merdeka?

Kurikulum Merdeka ini harus dilihat sebagai salah satu saja dari upaya Kemdikbudristek melakukan transformasi pendidikan secara lebih menyeluruh, ya. Yang kita upayakan adalah perubahan sistemik, bukan perubahan parsial atau yang temporer, namun mendasar pada sistem pendidikan sendiri, yang tadinya dari banyak elemen, nah salah satunya kurikulum.

Tetapi, perubahan kurikulum sendiri tidak cukup untuk menghasilkan apa yang kita inginkan, harus sistemik. Jadi ini salah satu saja, ada komponen lain. Sistem evaluasi dan penjaminan mutu pendidikan itu kita bongkar, tata ulang secara sangat mendasar. Ada Asesmen Nasional, Rapor Pendidikan, ada perencanaan berbasis data di tingkat sekolah dan pemda, itu satu paket besar reform lainnya terkait bagaimana kita mengevaluasi dan penjaminan mutu pendidikan. Ada akreditasi juga di sana.

Komponen besar lainnya juga adalah guru. Bagaimana kita menyeleksi guru, memberi kesempatan belajar, pelatihan, baik in service maupun pre service terhadap guru, itu satu gigantic reform lainnya.

Di sisi lain, ada juga penataan terhadap pendanaan, infrastruktur, itu juga hal yang luar biasa besar dan menjadi satu paket desain besar Merdeka Belajar.

Kalau tentang pendanaan tadi, kalau ada kesempatan ke media, selalu saya sampaikan karena jarang disorot media. Karena ini juga reform luar biasa. Misalnya, terkait bagaimana kita memberi subsidi pada sekolah. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang tadinya seragam besarannya seluruh Indonesia kini sudah jadi majemuk.

Semakin sekolah terpencil, semakin aksesnya sulit, bantuan yang diterima dari perintah baik swasta atau negeri jadi meningkat. Ada puluhan kota dan kabupaten yang peningkatan besaran dana BOS-nya hingga puluhan persen, bahkan 100 persen lebih. Sekitar 370 kota/kabupaten lebih yang mengalami peningkatan subsidi secara signifikan karena wilayahnya sulit dijangkau.

Kini prinsip pemerataan sebagai hasil. Yang kita inginkan itu pemerataan kualitas, bukan hasilnya. Nah ini tidak bisa kita capai dengan penyeragaman intervensi dan program, kebijakan, itu harus bervariasi, harus konstektual, tidak bisa disamaratakan. BOS selama ini disamaratakan, di pelosok nun jauh di sana, bensin mahal, harga bahan bangunan berkali-kali lipat. Alat tulis lebih mahal, kok bantuannya sama dengan yang diterima sekolah kebanyakan di Jaksel, kan enggak pas ya.

Jadi kembali ke kurikulum, prinsip yang sama kita terapkan. Kebijakan kurikulum kita terlalu sentralistik. Kita berasumsi bahwa supaya kualitasnya sama, maka semuanya harus ditetapkan di pusat. Semua harus di-standarisasi secara ketat dari pusat, dari Kemendikbudristek. Itu niatnya betul, bagus untuk mengurangi kesenjangan kualitas antardaerah, antarsekolah.

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito AditomoKepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo Foto: Dok. Kemendikbud

Tetapi kurikulum yang cocok untuk SD yang anaknya datang ke sekolah masih belum sarapan, atau di rumah belum kenal buku, belum ngobrol dengan ortunya, apakah kurikulum yang cocok bagi mereka itu kurikulum yang cocok bagi mereka di SD kota besar yang anak-anaknya sudah punya keterampilan belajar, pengalaman dengan dunia literasi lebih kaya. Jawabannya, mereka butuh kurikulum yang berbeda.

Karena itu, kita butuh mereformasi kurikulumnya. Kurikulum Nasional seharusnya jadi kerangka saja, kerangka yang jadi benang merah ke-Indonesia-an. Tetapi kerangka itu harus memberi ruang kepada kontekstualisasi pembelajaran yang sesuai dengan anak-anak yang dilayani di sekolah itu. Selama itu tidak terjadi, selama kita inginnya menyeragamkan secara terpusat, otomatis sebenarnya sekolah itu seringkali dipaksakan menerapkan pembelajaran yang seringkali tidak cocok dengan anak-anak murid.

Jadi kalau ditanya urgensinya apa me-reform kurikulum, urgensinya itu. Salah satunya adalah perlu memberi ruang untuk kontekstualisasi pembelajaran di tingkat sekolah.

Urgensi kedua, tidak ada pemerhati pendidikan di Indonesia yang tidak sepakat bahwa pendidikan di Indonesia itu terlalu akademik. Pendidikan karakternya kurang, pendidikan budi pekerti masih lemah, dari banyak sekali pihak menyatakan demikian, kita sepakat sekali. Tetapi yang tidak dilakukan adalah menerjemahkan itu menjadi kebijakan kurikulum.

Kalau kurikulum itu 100 persen jam pelajaran masih konten akademik, sampai kapan pun pembelajaran pengembangan karakter itu jadi afterthought, menjadi sesuatu yang syukur-syukur kalau dikerjakan. Itu yang ditambahkan di Kurikulum Merdeka.

Jadi satu, kita serius mengurangi konten akademik. Harus ada yang dikorbankan, dan yang terpaksa kita korbankan adalah kontek akademik di tiap mata pelajaran. Yang kita wajibkan dari pusat adalah konten akademik yang esensial saja di tiap mata pelajaran.

Pengurangannya bisa cukup signifikan, 20-30 persen, materinya lebih sedikit dibanding Kurikulum 2013. Ini adalah prasyarat. Kalau tidak mengurangi konten akademiknya, mana ada waktu melakukan pengembangan karakter, pengembangan kompetensi. Ini urgensi yang kedua: kenapa kita perlu mengganti kurikulum nasional, karena kita perlu memberi ruang pada pendidikan karakter dan budi pekerti.

Di Kurikulum Merdeka, konten akademik dikurangi 20-30 persen. Jam pelajaran didedikasikan untuk pengembangan karakter. Jadi pembelajaran interaktif, berkelompok, membuat karya seni bersama, bikin project kewirausahaan, penanganan masalah sampah di sekolah, itu sekarang bukan ekstrakurikuler, tetapi intrakurikuler. Dari 20-30 persen kita kosongkan karena berhasil mengurangi konten akademik itu, kita dedikasikan pada pengembangan karakter ini.

PISA 2018, untuk siswa Indonesia skor matematika mencapai 379 dengan di bawah skor rata-rata 487. Sementara untuk sains, siswa Indonesia mencapai 389 juga di bawah dengan skor rerata 489. Pengurangan 20-30 persen yang disebutkan di atas apa tidak menambah defisit pengetahuan bidang Science, Tech, Engineering and Math?

Bedakan antara keluasan dan kedalaman. Yang kita kurang itu adalah kedalaman pemahaman, bukan keluasan konten. Konten itu sekarang at our fingertips, tinggal Google. Fakta, informasi, itu membanjiri. Kita jangan melakukan kesalahan terus menerus bahwa perubahan kurikulum artinya penambahan konten karena adanya perkembangan zaman.

Kita nggak akan pernah bisa mengejar laju pertumbuhan. Yang bisa dan harus kita lakukan adalah menumbuhkan dan menguatkan daya nalar anak-anak, termasuk di bidang STEM.

Ketika butuh konten yang tidak diajarkan di sekolah, mereka tahu cara menggali, menganalisis, menciptakan konten baru. Jadi fokusnya tidak boleh lagi soal memperbanyak konten, tetapi menajamkan daya nalar terkait konten apapun.

Selanjutnya >>>

Makin banyak konten, tidak serta merta memperdalam pengetahuan siswa?

Justru sebaliknya. Makin banyak konten, makin sulit kedalamannya, ada trade off, dan kita harus pilih yang mana.

Berapa yang sudah uji coba?

Kita sudah evaluasi sejak 2019, bahkan sebelum Mas Menteri naik menjabat, Pusat Kurikulum sudah evaluasi kurikulum 2013. Temuannya itu konten akademik tadi. Jadi ciri utama Kurikulum Merdeka, guru mengajak ngobrol anak, memberi umpan balik. Kalau kejar tayang konten, tidak ada waktu menajamkan nalar anak.

2020 itu pengembangan Kurikulum Merdeka. Prototipenya di 2.500 Sekolah Penggerak, sekarang masih berlangsung.

Mulai 2022 nanti Agustus, kita membuka kesempatan bagi sekolah dan madrasah yang berminat mengubah pembelajarannya lewat Kurikulum Merdeka. Perubahan kurikulum adalah kendaraan menyediakan pengalaman belajar lebih baik bagi anak.

Kita tawarkan ke sekolah dan madrasah, 140.000 yang ingin, hampir separuh di Indonesia voluntarily mau menerapkannya. Kita jujur kaget dan bersyukur atas antusiasme sekolah.

Bagaimana evaluasi penerapan kurikulum ini di Sekolah Penggerak, ada kendala?

Ada, betul. Kita evaluasi terus pengalaman ini untuk bahan revisi Kurikulum Merdeka. Ada beberap ayang kita sederhanakan, kita revisi, baik proses implementasinya, jadi ada insight lebih dari Sekolah Penggerak.

Perlu diketahui, Sekolah Penggerak adalah sekolah kebanyakan yang kepala sekolahnya punya antusiasme lebih, mau melakukan perubahan, ada 400-an lebih di 3T. Bukan sekolah favorit. Fasilitasnya terbatas. Ini miskonsepsi, bahwa sekolah penggerak itu sekolah elit, di kota besar saja, terbaik di kota itu, bukan itu. Sekolah Penggerak itu campuran sekali, jadi kita mendapat keragaman penerapan kurikulum di Sekolah Penggerak.

Salah satu perhatian di SMA Penggerak itu sudah tidak ada penjurusan, tapi merancang paket belajar sesuai minat studi di pendidikan tinggi. Rancangan belajar bagi masing-masing siswa ini akan banyak sekali dong yang harus disediakan sekolah?

Ya, perubahan paling kompleks ada di tingkat SMA, karena ingin penjurusan itu ada di level individu siswa, tidak IPA IPS general saja. Ini mengakomodasi minat anak ketimbang secara garis besar, agar anak yang dirilis ke teknik misalnya, bisa belajar Matematika dan Fisika. Kimia dan Biologi mungkin tidak terlalu relevan dan dia tidak senang juga. Kini kan harus dipelajari.

Dengan Kurikulum Merdeka, ini tidak terjadi. Bisa fokus mata pelajaran pendukung juga seperti Bahasa Inggris. Ini terus kita evaluasi, perlu kreativitas dan inisiatif teman-teman guru SMA dan MA untuk menerjemahkan. Salah satunya dengan paket itu.

Tetapi, kita tidak memaksa sekolah menyediakan semua, sesuai resources sekolah saja.

Karena berpengaruh ke perimbangan beban kerja guru juga, ya?

Ya, betul. Ini beban kepala sekolah dan bidang kurikulum untuk membuat tata pembelajaran.

Lalu bagaimana mengakomodasi minat studi anak di sekolah yang terbatas resourcesnya?

Di sekolah itu ada guru IPA dan IPS, jurusan yang hampir semua sekolah buka. Jadi, menyediakan opsi mata pelajaran IPA dan IPS itu hampir semua sekolah bisa melakukan sekarang. Paling tidak, anak yang minatnya saintek soshum bisa terakomodasi di sebagian besar sekolah.

Nah, yang langka itu bahasa, bahasa asing. Beberapa mata pelajaran humaniora juga. Tetapi sesuai demand sekolah juga. Kami di Kemdikbudristek pada prinsipnya tidak memaksa sekolah menyediakan mata pelajaran yang mereka selama ini tidak punya resources untuk mengajarkannya.

Karena penerapan Kurikulum Merdeka di semua sekolah ini perlu adaptif juga bagi sekolahnya. Jadi jangan sampai Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional ini hanya bisa diterapkan di sekolah yang sudah punya resources semuanya.

Kemudian ada pembelajaran berbasis project. Karena kita mengurangi konten akademik, jam pelajaran itu sebagian didedikasikan ke sana. Ruangnya sangat merdeka, bisa dirancang sesuai minat-bakat anak. Nggak ikut mata pelajaran ini, bukan Matematika, Pancasila, ini bisa lintas pelajaran. Sekolah bisa gunakan ruang ini untuk minat anak yang tidak tertampung.

Jika anak senang olahraga, seni, wirausaha, buat project terkait itu. Ini ruang yang sengaja diciptakan di Kurikulum Merdeka untuk diadaptasi dan dikreasikan sekolah dan guru untuk menstimulasi secara holistik, jadi bisa beragam sisi anak yang disentuh di pembelajaran berbasis project.

Selanjutnya >>>

Kalau begitu, guru harus adaptif dan kerja ekstra sediakan instrumen pembelajaran ya?

Betul, sudah seharusnya demikian. Guru itu profesional, seorang profesional itu diakui saat bekerja berlandaskan disiplin keilmuan yang terdefinisi dengan baik. Sama dengan dokter yang mengambil keputusan mengambil diagnosis berdasarkan ilmu, guru juga begitu berdasarkan ilmu kependidikan.

Artinya, guru bukan sekadar pelaksana, tetapi juga profesional yang menggunakan judgement untuk menerjemahkan kebijakan jadi praktik pembelajaran. Harus lebih inovatif, adaptif, kreatif, sudah seharusnya demikian, bukan kerja administratif.

Jika kita takut guru belum bisa melakukan itu (menjadi profesional), mencegah pemerintah untuk memberikan kewenangan, memaksakan guru jadi pelaksana saja, sampai kapan pun tidak akan berubah sistem pendidikan kita.

Sebab, guru jadi dibiasakan jadi pelaksana, menunggu petunjuk teknis, arahan. Kalau birokrat oke, kalau guru nggak boleh, mereka professional workers.

Bagaimana jika penalaran anak sudah berkembang, tetapi terhambat internet atau infrastruktur?

Implementasi pembelajaran kontekstual itu justru harus disesuaikan kondisi lokal. Kalau sekolah susah sinyal, jangan bikin pembelajaran yang mengandalkan sinyal internet kuat. Pembelajaran berbasis project bisa macam-macam.

Contoh, sekolah di 3T bikin project terkait potensi sumber daya kelautan, kayak abon, inovasi pembuatannya. Itu contoh pembelajaran kontekstual, bisa dilakukan di sekolah yang terbatas akses. Jadi sangat memungkinkan, sangat fleksibel bagi sekolah untuk merancang pembelajaran.

Sepakat bahwa kesenjangan infrastruktur itu problem. Tapi ini ada banyak program lain. Kini, sekolah di wilayah terpencil ada subsidi lebih besar di BOS tadi, subsidi dari pemerintah. Ini upaya konkret untuk mereduksi kesenjangan belajar.

Apakah ada kurikulum di negara lain yang dijadikan acuan atau referensi saat menyusun Kurikulum Merdeka ini?

Kalau sebagai referensi, kita kaji banyak kurikulum, termasuk di negara lain, Australia, Ontario, Finlandia, dan lainnya. Tetapi tidak mentah-mentah mengadopsinya, ada konteks berbeda, ada acuan regulasi undang-undang berbeda di Indonesia, kekhasan budaya kita, kita tidak mungkin adopsi begitu saja kurikulum dari tempat lain.

Tetapi, prinsipnya bisa kita sarikan. Salah satunya yaitu tidak membebani siswa dengan konten akademik. Berat sekali kalau diwajibkan terlalu banyak, anak-anak kita tidak semuanya akademik, beragam, tetapi kurikulumnya malah ke akademik semua.

Jadi bukan dari The International Baccalaureate (IB) ya?

IB salah satu referensi, tetapi tidak mungkin kita adopsi satu model kurikulum. Kita punya konteks budaya dan regulasi beda, jadi tidak mungkin terjadi.

Masih akan ada penyesuaian materi Kurikulum Merdeka lagi sampai diterapkan di 2024?

Sampai 2024 masih masa evaluasi dan perbaikan kurikulum. Kita sengaja evaluasi bertahap, dibandingkan dengan strategi dulu, yang mana ditetapkan langsung sebagai kurikulum nasional.

Ini bertahap, ada evaluasi terbatas di sekolah penggerak, implementasi di sekolah yang melakukannya secara paralel. Dua tahun ke depan, kita ambil umpan balik dari lapangan, tidak hanya dari ahli. Sebab ahli kadang juga membayangkan dari lapangan. jadi kita lengkapi pandangan ahli dengan pengalaman sekolah di lapangan.

Jadi kita butuh waktu perbaikan agar 2024 untuk revisi dan perbaikan, sehingga bisa diterapkan jadi kurikulum nasional. Tetapi itu pun ada evaluasi berkala juga, terus memperbaikinya. Hanya saja moga-moga yang fundamental dan prinsipil sudah cukup matang.

Selanjutnya>>>

Selain Kurikulum Merdeka ada juga topik RUU Sisdiknas yang banyak dibicarakan publik, progresnya sudah sampai mana? Adanya ketidakpuasan pegiat pendidikan, apa tanggapan Anda?

Ya, ketidakpuasan itu bagian yang wajar dan sangat valid dalam penyusunan undang-undang dan sistem pendidikan. Kami sangat menerima masukan kritis itu.

Catatannya, ada semacam miskonsepsi atau salah paham yang melandasi kritik itu, yaitu adanya kekhawatiran RUU Sisdiknas ini direvisi, ditulis, disusun diam-diam dan akan segera disahkan. Ini yang perlu dikoreksi. Sekarang ini tahapannya baru di perencanaan, perencanaan ini output-nya atau hasilnya adalah draft awal yang diusulkan Presiden pada DPR. Ini bahkan belum selesai tahap perencanaannya.

Setelah pemerintah membuat draft itu, mengirim pada DPR, ada tahap pembahasan dan penyusunan. Ada dua tahap lagi sebelum dibahas, dibongkar, dikritik pemangku kepentingan bersama DPR.

Jadi jangan khawatir, mohon bantuan teman media meredakan kecemasan, seolah ini sudah final tanpa keterlibatan publik. Ini masih sangat awal. Di tahap ini, yang utama adalah pemerintah antarkementerian itu sepakat dulu tentang garis besarnya seperti apa, normanya seperti apa untuk diusulkan di DPR.

Kami di Kemdikbud sudah melibatkan masyarakat, undang 60 lebih untuk mencermati draft yang sangat awal agar penyusunan usulan pada DPR ini sudah memperhitungkan aspirasi pemangku kepentingan di masyarakat dan perspektifnya, tidak hanya perspektif pemerintah.

Jadi ini sudah mandat UU pembentukan perundang-undangan. Kita akan buka ke publik. Kita tidak ada niat melewatkan masyarakat pada proses itu karena kita sadar sekali pelibatan masyarakat sangat penting agar RUU-nya bisa jadi konsensus nasional, kita sepakati dan implementasi bersama untuk perbaiki tata kelola pendidikan.

Jadi ketika ramai di publik beberapa waktu lalu, draft tersebut memang belum dilaporkan ke Presiden, ya?

Ini masih di tingkat kementerian ya. Berkoordinasi dengan semua kementerian terkait, terutama Kemenag, Kemendagri, Bappenas, Kemenkeu, dan Kemensesneg. Kita sangat intensif berkomunikasi, pada waktunya akan lapor ke Presiden kalau di tingkat menteri sudah selesai.

Jadi wajar kalau Presiden belum tahu, ya?

Sesuai kata Mensesneg, kita belajar sesuai tahapannya. Pada prinsipnya pasti tahu, yang mengirim surat pada DPR itu nanti Presiden kok.

Draf pun masih terbuka peluang untuk berubah?

Setiap hari draft-nya berubah. Kita akan buka draft-nya setelah pemerintah sepakat. Lalu kita kirim ke DPR, kita buka pada masyarakat secara luas. Lalu masih panjang prosesnya, ada pelibatan masyarakat lebih intens.

(Riak-riak di masyarakat) ini masukan, valid, sudah seharusnya demikian. Ini bentuk kepedulian masyarakat yang akan berdampak. Sebab, ini kan urusan kita semua, jadi di satu sisi memang bayak yang kritisi, tapi itu tumbuh dari rasa memiliki pendidikan kita. Insya Allah dialognya akan lebih konstruktif kalau draft-nya (RUU Sisdiknas) sudah disebar luas.


Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads