6 Poin Ini Dianggap Sebagai Kelemahan PPDB DKI Jakarta 2022

6 Poin Ini Dianggap Sebagai Kelemahan PPDB DKI Jakarta 2022

Devi Setya - detikEdu
Selasa, 14 Jun 2022 18:48 WIB
Siswa di SDN Jati 01 Pagi, Pulo Gadung, Jakarta Timur, jalani swab tes massal. Tes dilakukan sebagai upaya cegah penyebaran virus Corona di lingkungan sekolah.
Ilustrasi siswa SD di Jakarta Foto: Pradita Utama
Jakarta -

PPDB DKI Jakarta 2022 sudah dimulai sejak Mei 2022 dan proses kegiatan belajar tahun ajaran baru akan dimulai pada Juli mendatang. Ternyata PPDB DKI Jakarta ini menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Terdapat pro dan kontra terkait persyaratan PPDB DKI Jakarta untuk jenjang SD, SMP maupun SMA atau SMK. Rangkaian PPDB DKI Jakarta 2022 ini dianggap memiliki beberapa kelemahan.

Dalam diskusi yang digelar KOPAJA (Koalisi Kawal Pendidikan Jakarta), Selasa, 14 Juni 2022 terdapat beberapa poin yang disebut sebagai kelemahan dari PPDB DKI Jakarta 2022. KOPAJA yang terdiri dari beberapa komunitas seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kopel Indonesia (Komite Pemantau Legislatif), JPPI (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia), Suara Orangtua Peduli serta Perkumpulan Wali Murid Koloni 8113 ini menganggap proses PPDB DKI Jakarta 2022 ini belum memenuhi hak anak sekolah.

Berikut beberapa poin yang dianggap sebagai kelemahan PPDB DKI Jakarta 2022:

1. Berdasarkan Usia

Batasan usia dijadikan syarat untuk mengikuti PPDB DKI Jakarta 2022. Diungkapkan Ubaid Matraji selaku Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) usia menjadi hal yang sangat membingungkan bagi para orang tua siswa.

"Katanya zonasi, kok ngukur usia. Di tempat lain mengukur jarak, ini malah mengukur usia. Ini bikin gaduh, sudah 3 tahun para orang tua di Jakarta merasa bingung," ujar Ubaid.

2. Kursi sekolah negeri yang minim

Kapasitas sekolah negeri di Jakarta tidak sebanding dengan jumlah anak usia sekolah. Alhasil, tidak semua anak bisa duduk dan mengenyam pendidikan di sekolah negeri.

"Soal kursi negeri, memang sangat tidak cukup. Akibatnya, anak usia sekolah di DKI Jakarta ada 47 persen (SMP) dan 67 persen (SMA/SMK) harus masuk swasta dengan biaya mahal. Mana tanggung jawab pemprov yang mestinya membiayai kebutuhan sekolah dan menjamin hak dasar pendidikan di DKI Jakarta," jelas Ubaid.

Hal ini berdasarkan beberapa Undang-Undang dan Perda terkait hak pendidikan bagi anak usia sekolah. Salah satunya UUD 1945 pasal 31 ayat 2 menegaskan bahwa: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

3. 23% Jalur Prestasi

Dalam proses PPDB DKI Jakarta 2022 memang terdapat beberapa jalur yang bisa diikuti para calon siswa. Salah satunya adalah jalur prestasi. Menurut Ubaid, jalur prestasi ini sebaiknya dihapuskan sehingga kuota peserta didik bisa dipenuhi dari jalur zonasi.

"Ada 23 persen jalur prestasi. Sistem zonasi adalah pemerataan kualitas sekolah dan pemberian kesempatan yang sama bagi anak untuk akses sekolah. Jadi tidak perlu ada jalur khusus prestasi yang potensial dimanipulasi dan membuat kesenjangan," lanjut Ubaid.

4. Fenomena kelas unggulan Sekolah Penggerak

Adanya sekolah penggerak ini dianggap menimbulkan status kesenjangan baru. Dulu ada istilah sekolah unggulan. Sekarang menjadi sekolah penggerak. Ada diskriminasi antara sekolah penggerak dan bukan sekolah penggerak.

5. Kesenjangan Mutu Sekolah

Harus diakui, di DKI Jakarta mutu sekolah belum merata sepenuhnya. Artinya masih ada kesenjangan antara sekolah satu dengan sekolah lainnya.

"Mestinya ini yang jadi prioritas di DKI Jakarta dalam mendukung jalur zonasi. Jadi orang tua murid tidak perlu harus daftar di sekolah tujuan. Karena disekolah manapun, sama kualitasnya. Jadi siswa bisa sekolah di sekolah yang terdekat dari rumah," ujar Ubaid.

6. Pembiayaan pemerintah di sekolah swasta hanya "Bantuan"

Sistem pembiayaan juga menjadi hal yang dianggap sebagai kelemahan dari proses PPDB DKI Jakarta 2022. Selama ini Pemprov DKI Jakarta hanya membiayai anak yang sekolah di sekolah negeri. Sementara anak yang sekolah di sekolah swasta hanya mendapat bantuan dengan nilai yang tidak seberapa.

"Pembiayaan pemprov kepada anak di Jakarta mestinya bukan bantuan, tapi pembiayaan penuh. Kenapa kalau di sekolah negeri skemanya pembiayaan penuh, sementara di swasta tidak semua dibantu. Kalaupun ada, itu hanya sebatas bantuan yang tidak mengcover semua kebutuhan," lanjut Ubaid.

Dalam hal ini Anwar Razak selaku Koordinator Komite Pemantau Legislatif (KOPEL Indonesia) juga menyampaikan pendapatnya. "Jadi benar sifatnya bantuan Hibah yg berarti memang tidak masuk dalam skema penganggaran program APBD murni tapi masuk dalam skema hibah," ujarnya saat dihubungi detikEdu (14/6).

Lebih lanjut Anwar menjelaskan hal ini berarti pemerintah provinsi DKI tidak merasa berkewajiban untuk membiayai operasional sekolah anak-anak se-DKI apalagi yang tersisih karena zonasi. Tentu ini menyalahi amanat Konstitusi UU 45 bahwa negara berkewajiban memenuhi hak pendidikan setiap warga negara Indonesia.

"Mungkin karena sifatnya hibah, maka sepertinya pemprov tidak lagi menghitung secara rasional kecukupan anggaran tersebut. Dalam hitungan KOPEL Indonesia anggaran di atas jatuhnya maksimal hanya sekitar Rp 50 ribu per anak per bulan. Tentu ini sangat kecil dan tidak rasional membiayai operasional pendidikan anak," beber Anwar.

Terkait PPDB, dengan anggaran yang sedikit ini sudah pasti akan ada pembebanan biaya baik pada PPDB maupun setelah anak-anak sudah masuk di sekolah. Disini jelas terjadi ketidakadilan anggaran terutama bagi anak dan orang tua yang memiliki keterbatasan penghasilan. "Anak-anak di sekolah negeri mendapatkan fasilitas yang baik dengan biaya yang ditanggung oleh negara. Sementara anak-anak di sekolah swasta terus terbebani dengan untuk harus mendapatkan fasilitas belajar. Padahal hak anak atas layanan pendidikan dari pemerintah sama," pungkas Anwar.



Simak Video "Gedung SMP di Yahukimo Papua Dibakar, Ulah KKB?"
[Gambas:Video 20detik]
(dvs/lus)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia