Universitas Gadjah Mada (UGM) tengah merencanakan pembangunan hunian sementara untuk para warga yang jadi korban banjir bandang dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Menariknya, UGM memanfaatkan sisa kayu yang hanyut selama banjir sebagai bahan baku rumah.
Pembangunan tersebut kini tengah disiapkan oleh grup penelitian "Tangguh" UGM. Tim terdiri dari Prof Ir Ikaputra, M Eng, Ph D, Ir Ashar Saputra, ST, MT, Ph D, IPM, ASEAN Eng, Maria Ariadne Dewi Wulansari, ST, MT, Atrida Hadianti, ST, M Sc, Ph D, dan Ardhya Nareswari, ST, MT, Ph D.
Salah satu anggota dari tim yakni Nares menyebut rencana ini berangkat keprihatinan terhadap kondisi korban di lapangan. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) per (18/12) mencatat sebanyak 147 ribu rumah rusak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyak warga yang rumahnya rusak saat ini masih tinggal di tenda darurat. Adapun pembangunan hunian yang direncanakan pemerintah memakan waktu bertahun-tahun.
"Berarti, bisa jadi warga itu akan berada di lokasi itu sebelum ada hunian yang tetap, itu pasti dalam jangka waktu yang lama. Jadi, terpal atau tenda sementara rasanya kok kurang manusiawi," katanya dikutip dari laman UGM, Minggu (21/12/2025).
Hunian Memanusiakan Penyintas
Nares menekankan upaya UGM dalam menyediakan rumah hunian sementara akan tetap berprinsip memanusiakan penyintas. Ukuran hunian diusahakan berukuran standar dan berbasis keluarga buat kelompok.
"Berarti, bisa jadi warga itu akan berada di lokasi itu sebelum ada hunian yang tetap, itu pasti dalam jangka waktu yang lama. Jadi, terpal atau tenda sementara rasanya kok kurang manusiawi," ujarnya.
Sulap Sisa Kayu Banjir untuk Bahan Hunian
Tim peneliti lainnya Ashar Saputra menyampaikan konsep bahan akan menggunakan papan kayu berukuran 3x12 cm. Kayu tersebut diambil dari sisa hanyutan banjir yang masih banyak berserakan.
"Strukturnya hanya pakai baut saja dan alatnya hanya bor. Harapannya itu, sangat sederhana sehingga orang awam dapat membuat rumahnya sendiri. Tempel, gapit, baut," kata Ashar.
Dengan begitu, Ashar yakin hunian akan cepat terwujud. Adapun masa pakai rumah ini diperkirakan selama 3-5 tahun, bisa digunakan hingga hunian permanen yang direncanakan pemerintah selesai.
"Dari pada kita harus menunggu satu rumah jadi satu-satu. Masyarakat juga akan merasa lebih memiliki, karena ikut serta dalam pembuatannya," tegasnya.
Konsep Rumah Sudah Dipakai di Beberapa Daerah
Nares menambahkan konsep rumah ini telah dipakai juga oleh proyek-proyek di beberapa daerah. Contohnya Jogja, Palu dan Lombok.
Hunian seperti ini memiliki standar luas 36 meter persegi. Setiap lokasi memiliki bahan dan kekhasan sendiri menyesuaikan dengan kondisi tanah, budaya setempat, dan topografi.
"Kalau di Lombok waktu itu pakai baja, lokasinya masih memungkinkan untuk membawa baja dari Pulau Jawa. Kalau Sumatera, lebih susah. Jadi, pemilihan material itu juga sangat tergantung lokasinya," kata Nares.
(cyu/faz)











































