Universitas di Inggris tengah memangkas sejumlah penelitian penting, termasuk riset berkelas dunia tentang penyakit mematikan seperti kanker dan jantung. Laporan terbaru menyebut, kekurangan dana dari pemerintah maupun lembaga amal menjadi pemicu utama.
Studi yang disusun Universities UK menemukan, 1 dari 5 universitas di Inggris telah mengurangi aktivitas riset, terutama di bidang ilmu hayati, kedokteran, dan sains lingkungan. Bahkan, banyak kampus memperkirakan pemotongan akan lebih tajam ke depan seiring meningkatnya tekanan finansial.
Padahal, lembaga amal kesehatan selama ini menjadi penyandang dana utama riset bernilai tinggi di bidang medis dan ilmu kehidupan, termasuk onkologi dan demensia. Namun laporan itu menegaskan universitas mulai "menjauh" dari riset yang didanai amal karena beban biaya tambahan yang harus ditanggung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Situasi ini butuh perhatian serius. Kami perlu bekerja sama dengan pemerintah dan para penyandang dana untuk mencari solusi," kata Deputi Direktur Kebijakan Universities UK, Dan Hurley seperti dikutip dari Guardian.
Menurutnya, mayoritas riset yang didukung lembaga amal berada di ranah kesehatan sehingga dampaknya terasa signifikan. Laporan yang juga melibatkan Campaign for Science and Engineering serta Association of Research Managers and Administrators ini memperingatkan, keterbatasan dana yang berlarut-larut berpotensi menggerus kontribusi riset universitas terhadap perekonomian Inggris, yang saat ini diperkirakan mencapai Β£54 miliar (Rp 1,2 kuadriliun) per tahun.
Dalam tiga tahun terakhir, jumlah peneliti di bidang biologi, matematika, dan fisika menurun 4%, sementara tenaga riset di kedokteran, gigi, dan kesehatan turun 2%, terutama di cabang kedokteran klinis yang biayanya sangat mahal.
Mahasiswa Asing Berkurang, Subsidi Riset Menurun
Kesulitan pendanaan ini juga merusak iklim akademik seperti semangat dan kesejahteraan peneliti menurun, partisipasi dalam konferensi berkurang, dan peneliti muda makin sulit mendapat dukungan untuk membangun jejaring.
Salah satu penyebabnya, dana riset dari pemerintah yang semestinya berbasis kualitas justru terkikis inflasi. Sementara pemasukan dari mahasiswa internasional yang biasanya membantu subsidi riset ikut melemah akibat turunnya jumlah pendaftar.
"Fluktuasi penerimaan mahasiswa asing berpengaruh besar. Karena riset tidak bisa menutup biaya ekonominya sendiri, kampus selama ini terpaksa melakukan subsidi silang dari uang kuliah internasional," ujar Hurley.
Kesimpulannya, laporan tersebut menilai posisi Inggris sebagai pemimpin global di bidang riset dan inovasi kini berada dalam ancaman. Universitas diperkirakan makin banyak mengambil "keputusan sulit" dengan pemangkasan lebih jauh jika tidak ada langkah penyelamatan.
"Efisiensi internal kampus sudah dilakukan habis-habisan, tapi itu saja tak cukup. Pemerintah perlu segera mengkaji ulang skema pendanaan berbasis kualitas yang selama satu dekade terakhir tak mampu mengimbangi inflasi. Stabilitas riset hanya bisa dipulihkan dengan dukungan konkret dari negara," tegas Hurley.
Menanggapi laporan itu, juru bicara pemerintah Inggris menyatakan pihaknya tetap berkomitmen mendukung riset. "Inovasi adalah mesin pertumbuhan ekonomi. Hingga 2030, pemerintah telah menyiapkan Β£86 miliar (Rp 1,9 kuadriliun) untuk penelitian dan pengembangan publik agar universitas kelas dunia di Inggris tetap memimpin penemuan yang membawa manfaat bagi masyarakat. Kami juga akan segera merilis rencana reformasi pendidikan tinggi untuk menjaga keberlanjutan finansial sektor ini," ujarnya.
*) Penulis adalah peserta Program PRIMA Magang PTKI Kementerian Agama di detikcom