Dengan bekal indeks prestasi kumulatif (IPK) hanya 2,99 dari skala 4, seorang pria asal Vietnam, Trinh Phuong Quan, berhasil menembus persaingan ketat masuk ke Stanford University, Amerika Serikat. Universitas ini dikenal sebagai salah satu kampus terbaik dunia.
Quan diterima di program magister Civil and Environmental Engineering dan lulus pada 2023 dengan dukungan beasiswa sebesar 50 persen. Sebelumnya, ia telah meraih gelar magister Sustainable Design dari National University of Singapore (NUS) serta sarjana Arsitektur dari Ho Chi Minh City University of Architecture.
Kesempatan itu datang ketika Stanford, pascapandemi Covid-19, menghapus syarat tes Graduate Record Examination (GRE). Aplikasi yang ia ajukan pada awal 2022 hanya memerlukan transkrip nilai, statement of purpose, dan bukti kemampuan bahasa Inggris. Berhubung pernah menempuh studi pascasarjana di Singapura, Quan dibebaskan dari persyaratan bahasa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awalnya saya tidak berharap banyak. Dengan IPK 2,99, bahkan di Amerika pun itu tidak memenuhi standar kelulusan," tutur Quan dikutip VnExpress International. Ia mengaku terkejut ketika diterima sekaligus memperoleh beasiswa dua tahun.
Penyesalan Dapat IPK Pas-pasan
Meski begitu, Quan tak menutupi penyesalannya atas catatan akademik semasa kuliah. Lebih dari separuh nilainya hanya B dan C, yang ia sebut akibat kurang fokus belajar. "Waktu itu senior saya bilang nilai tidak penting, yang utama adalah keterampilan dan pengalaman kerja. Sekarang saya sangat menyesal tidak serius belajar," ujarnya.
Selain faktor disiplin, ia menilai IPK rendahnya juga dipengaruhi transisi sistem penilaian di kampus asalnya pada 2009, dari skala 10 menjadi 4. Banyak dosen tetap memberi standar ketat, membuat sebagian besar nilainya jatuh di level B dan C.
Pengalaman itu mengubah pandangan Quan. Kini ia percaya IPK bukan sekadar angka, melainkan cerminan ketekunan, disiplin, serta kemampuan manajemen waktu mahasiswa. Ia menyarankan pelamar beasiswa dengan IPK rendah untuk menyertakan bukti peringkat kelulusan atau sertifikat tambahan, sekaligus menjelaskan konteks penilaian akademik yang mereka jalani.
Quan pun membuktikan kerja kerasnya dengan menempati posisi ke-3 dalam kompetisi The 2023 International Student Tall Building Design dengan proyek bernama "The Eco Steps" seperti dikutip dari laman Council on Tall Buildings and Urban Habitat. Tahun yang sama pula, ia mampu lulus dengan IPK 4,00 dari Stanford University.
Kunci Raih Beasiswa Master: Jujur dan Punya Tujuan
Dalam proses aplikasi ke Stanford University, Trinh Phuong Quan menegaskan komponen terpenting bukanlah nilai semata, melainkan statement of purpose (SoP). Sebelum mendaftar, ia bahkan mengikuti lokakarya penerimaan yang digelar pihak kampus untuk memahami apa yang sebenarnya dicari oleh para profesor.
"Mereka tidak menginginkan cerita hidup, kisah kesulitan, atau daftar panjang prestasi. Itu sudah terlihat di transkrip dan dokumen lain," jelasnya.
Dalam SoP, Quan menekankan minat profesionalnya pada arsitektur berkelanjutan serta menjelaskan keterkaitan antara kurikulum Stanford dengan pengalaman dan rencana kariernya. Ia juga menegaskan target menyelesaikan studi dalam satu tahun agar cepat kembali bekerja.
"Untuk program pascasarjana, nilai saja tidak cukup. Yang penting adalah mampu menjelaskan siapa Anda, apa yang ingin dicapai, dan bagaimana program tersebut akan membantu. Itulah kekuatan statement of purpose," ujarnya.
Quan juga mengingatkan pentingnya kejujuran. Menurutnya, panitia seleksi yang terdiri dari profesor berpengalaman mudah mendeteksi inkonsistensi. Informasi menyesatkan justru bisa merusak peluang, meskipun prestasi pelamar terbilang tinggi.
Ia mencontohkan ada kandidat yang melebih-lebihkan kursus daring singkat sebagai program formal universitas, atau menggambarkan kelompok ekstrakurikuler kecil seolah pengalaman kepemimpinan global. "Jika ketidakjujuran terbongkar, pelamar bisa langsung ditolak," tegasnya.
Berdasarkan pengalamannya, Quan percaya bahwa dengan usaha akademik yang sungguh-sungguh, gelar sarjana dari Vietnam sudah cukup menjadi bekal untuk menembus universitas top dunia. Untuk syarat bahasa Inggris, ia menyarankan skor IELTS 7,0 sudah memadai, sehingga mahasiswa tidak perlu membuang waktu mengejar angka yang lebih tinggi.
Kisah Quan menjadi bukti bahwa IPK rendah bukanlah akhir segalanya. Dengan strategi aplikasi yang matang, kejujuran, dan tekad kuat, peluang untuk meraih mimpi besar tetap terbuka lebar.
(pal/faz)