Integritas Riset Kampus RI Dipertanyakan, Wamen Stella Sebut Upaya Ini

ADVERTISEMENT

Integritas Riset Kampus RI Dipertanyakan, Wamen Stella Sebut Upaya Ini

Trisna Wulandari - detikEdu
Selasa, 05 Agu 2025 16:00 WIB
Wamendiktisaintek Stella Christie
Integritas riset kampus RI dipertanyakan. Wamendikbud Stella Christie menyoroti ekosistem riset yang belum optimal dan upaya perbaikannya. Foto: Ari Saputra/detikcom
Jakarta -

Integritas riset kampus RI dipertanyakan usai masuk daftar kuning hingga merah Research Integrity Risk Index (RI2) dari studi Lokman I. Meho, Profesor American University of Beirut (AUB). Studinya, yang berjudul "Gaming the Metrics? Bibliometric Anomalies and the Integrity Crisis in Global Research", sedang dalam tinjauan.

Merespons isu integritas riset kampus RI, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie mengatakan, hal ini salah satunya dipicu oleh ekosistem yang belum optimal. Sejumlah upaya tengah dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan integritas riset RI.

"Pertama, fakta harus kita lihat, dan ini menjadi suatu lecutan buat kita. Tapi kita juga harus lihat apa sebabnya, ucapnya pada detikEdu di Grha Kemdiktisaintek, Jumat (18/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

Soal Dana

Berdasarkan kunjungan-kunjungan ke daerah, Stella mengatakan dosen RI sangat mumpuni dan dapat ditingkatkan di bidang riset. Terlebih dengan dukungan sarana yang tidak sebanding dengan fasilitas riset luar negeri. Namun, ia mengaku ekosistem riset dalam negeri masih jadi PR, baik dari dana penelitian, peraturan, atau administrasi sehari-hari.

"Mungkin sedikit kabar buruknya itu secara ekosistem kita masih jauh dari optimal. Jadi, secara individu saya rasakan mereka sudah punya kemampuan, tapi secara ekosistem belum didukung. Apa yang saya maksud sebagai ekosistem? Yang pertama tentu saja dana. Anggaran untuk riset, masih kita belum optimal," ucapnya.

Merespons isu dana penelitian, Stella menyatakan Kemdiktisaintek tahun ini sudah melipatgandakan anggaran riset dari APBN melalui kerja sama dengan mitra Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan.

Soal Insentif Peneliti

Sementara itu, pihaknya juga coba merespons PR soal sistem insentif peneliti di Indonesia.

"Kami juga melihat bahwa sistem insentif yang ada ini masih belum mendukung. Misalnya, pada saat ini, untuk dana yang diberikan lewat rupiah murni dari Kementerian, itu tidak diperbolehkan untuk memberikan insentif langsung kepada peneliti. Sehingga terus terang saja, penelitinya kalau dia menang grant, ini tidak boleh satu peser pun untuk sang peneliti. Sistem ini sangat berbeda dengan ekosistem-ekosistem di negara lain yang tentu saja sudah terbukti maju dari segi riset," ucapnya.

Untuk mengubah sistem insentif ini, Stella mengatakan pendanaan dari LPDP yang sudah didapatkan Kemdiktisaintek akan disalurkan kepada individu periset.

"Jadi dosen-dosen ini akan berhak mendapatkan insentif langsung dari grant yang mereka menangkan. Ini membuat sistem yang berbeda. Sistem yang membuat mereka terpacu untuk memberikan proposal yang sebaik-baiknya, agar mereka juga bisa mendapatkan insentif langsung. Ini adalah sistem yang sangat luar biasa umum di ekosistem-ekosistem lainnya, dan karena berbagai alasan, belum diterapkan secara optimal (di Indonesia). Tapi kita mulai dari tahun ini dan berhasil kita akan membuat sistem yang serba baik," ucapnya.

Isu Beban Kerja dan Administratif Dosen

Stella juga menyorot faktor beban kerja dan administratif dosen yang memengaruhi riset sehingga tidak optimal. Ia menjelaskan, dosen di Indonesia memiliki tuntutan publikasi, tuntutan administrasi kampus, tuntutan pengabdian pada masyarakat, hingga mengajar penuh waktu. Sistem ini menurutnya berbeda dengan kampus di negara riset maju seperti AS dan China.

"(Saya) Di Amerika 16 tahun, di Tiongkok 6,5 tahun-- (negara) ini sangat maju dari sistem riset--(dan sistemnya) tidak begitu. Jadi ada mereka (dosen) yang memang lebih mengkhususkan untuk riset, dan sebagian besar dari kita, dosen, itu harus melakukan riset di universitas-universitas ternama. Kita beban risetnya lebih besar daripada beban pengajarannya, walaupun tetap harus mengajar, karena ini sangat penting untuk mengajar berdasarkan riset," ucapnya.

"Namun di Indonesia ini banyak dituntut, setiga-tiganya itu harus sama banyaknya. Ini sulit buat dosen kita, sehingga demi memenuhi, karena kalau tidak memenuhi, ini terpotong tunjangan. Yang sistem dulu ya, yang sistem sekarang sudah agak berubah sebenarnya. Terpotong tunjangan, kalau tidak memenuhi yang namanya beban kerja dosen itu, dulu di tahun-tahun ini, sehingga dicari jalan pintasnya," imbuh Stella.

Beban kerja dosen menurutnya berisiko memicu penggunaan jalan pintas seperti jurnal yang tidak berkualitas, penulisan studi oleh orang lain, sehingga berujung pada masalah integritas.

"Nah jalan pintasnya, salah satunya ya sudah, kita bikin jurnal, atau kita bikin jurnal baru, agar kita pokoknya bisa publikasi, masuk. Atau ya sudah kita pakai jasa servis, bukan kita yang tulis, tapi orang lain yang tulis, agar itu ada lah publikasi, sehingga itulah yang menjadi tadi sistem integritas," kata Stella.

Berkaca pada masalah integritas dan riset di perguruan tinggi, Stella menyatakan ekosistem riset harus dibangun bersama.

"Jadi kita harus berkaca bahwa kita harus membuat ekosistem yang tepat, sehingga, betul sekali, Kementerian, di Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi ini kita benar harus membuat tuntutan yang berdasarkan kualitas . Dan bahkan, memperhatikan agar tuntutannya itu melihat beban-beban lainnya. Itu penting. Jadi jangan lebih membebani, lebih menuntut tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya dikerjakan di realitas," kata Stella.

"Jadi, kalau saya melihat tidak menyalahkan individu, bahkan kita melihat individunya ini sudah luar biasa dengan segala keterbatasan yang ada di negara kita tetap melakukan riset yang berdampak, tetap melakukan riset yang sangat, walaupun memang ada yang kita harus bangun bersama, kita poles bersama. Tetapi ekosistemnya harus kita bangun," ucapnya.

Mengubah IKU dan BKD

Di Kemdiktisaintek sendiri, ia menyatakan pihaknya tengah mengubah Indikator Kinerja Utama (IKU) agar kampus bisa memenuhi pengukuran kinerja dengan tetap menjaga kualitas. Salah satunya yakni soal kerja sama antarkampus untuk publikasi bersama diganti menjadi kerja sama antardosen.

Cara ini menurutnya memberikan keleluasaan bagi individu dosen agar hasil publikasi optimal.

"Jadi kalau kita harus membuat IKU dan BKD (Beban Kerja Dosen), beban kerja dosen yang tepat insentifnya. Lalu juga insentif perorangan untuk naik pangkat, menjadi lektor, lektor kepala, menjadi guru besar, itu apa sistemnya untuk bisa naik. Sehingga, sistem itu membuat mereka sungguh naik dengan kualifikasi dan merit, bukan karena ada sistem yang mereka memaksa menghasilkan sesuatu," ucapnya.




(twu/nah)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads