Simbol dan bendera One Piece menjadi fenomena yang tengah terjadi di masyarakat jelang HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia. Fenomena ini memicu polemik lantaran pemerintah merespons dengan pernyataan tuduhan makar hingga memecah belah bangsa.
One Piece merupakan serial fiksi populer yang telah ada sejak 1997. Bendera One Piece yang tengah ramai dikibarkan masyarakat memiliki ciri berwarna dasar hitam dan terdapat simbol tengkorak dengan empat bujur tulang diagonal.
Bendera itu disebut Jolly Roger, yang dikibarkan oleh karakter kru Bajak Laut Topi Jerami pimpinan Luffy, sang tokoh utama. Bendera ini memiliki makna kebebasan atau simbol seseorang yang bebas menurut kehendaknya sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jelang kemerdekaan, simbol dan bendera One Piece marak dipasang di berbagai tempat. Namun, pemerintah justru merespons fenomena ini dengan tuduhan provokasi jelang hari ulang tahun kemerdekaan, makar, hingga mengganggu stabilitas nasional.
Bendera One Piece Jadi Ekspresi Kritis Warga
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Perdana Wiratraman mengatakan, pengibaran bendera One Piece atau memasangnya di media sosial merupakan ekspresi kritis warga ketika mereka sudah lelah dengan negeri yang tidak kunjung memberi kabar baik buat warga bangsanya.
"Jadi menempatkan bendera One Piece itu sebenarnya, bagian yang tidak terpisahkan dari ekspresi kritis dari warga bangsanya sendiri," katanya kepada detikEdu, Selasa (5/8/2025).
"Nah, ekspresi itu kan macam-macam. Ada yang dalam bentuk tulisan, ada yang dalam bentuk puisi, nyanyian, mural, dan seterusnya," imbuhnya.
Bendera One Piece, lanjutnya, termasuk salah satu ekspresi simbol. Hal ini tidak berarti orang yang memasangnya, akan berbuat makar.
"Itu tidak berarti, mereka yang mengibarkan bendera One Piece atau yang memasang di status laman social medianya, itu hendak berbuat makar, berbuat (yang menjadi) tuduhan-tuduhan (seperti) anti NKRI. Enggak begitu," jelas Herlambang.
Pemerintah Seharusnya Merespons dengan Terbuka
Menurut Herlambang, sebagai bagian dari ekspresi kritis, pemerintah seharusnya merespons dengan terbuka, misalnya dengan fokus terhadap tanggung jawab atas kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat.
"Saya kira, itu ekspresi kritis yang hadir di ruang publik. (Itu) harus ditanggapi dengan respons yang terbuka dan lebih bertanggung jawab dari pemerintah terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dianggap selama ini merugikan masyarakat," ujar lulusan S1 Ilmu Hukum Universitas Airlangga tersebut.
Ia menyebut, pemerintah perlu hati-hati dalam merespons publik., apalagi jika ada unsur ancaman yang intimidatif.
Herlambang berpendapat, pernyataan yang dikeluarkan pemerintah harusnya dipahami terlebih dahulu, terlebih sampai menyebut makar hingga mengganggu stabilitas nasional.
"Kita perlu lebih hati-hati ya, merespons publik dengan ancaman-ancaman yang sifatnya intimidatif dan justru melanggar hak asasi manusia. Kenapa? karena misalnya, saya mendengar tuduhannya makar. Ini jangan-jangan tidak paham apa itu makar. Karena konstruksi pasal makar itu ada sendiri. Konstruksi pasal makar itu ada basis putusan Mahkamah Konstitusi di tahun 2017, kemudian ada kualifikasi di KUHP, dan seterusnya," paparnya.
Narasi yang Pernah Ada pada Zaman Orde Baru
Terkait pernyataan pemerintah bahwa pemasangan bendera One Piece bisa mengganggu stabilitas nasional, Herlambang menyebut, narasi semacam itu sudah ada sejak zaman Orde Baru (Orba).
"Ada pernyataan, mengganggu stabilitas nasional. Sebenarnya, ini juga stigma yang mengulang saja, narasi yang ada di masa orde baru di mana rezim yang sangat antidemokrasi, itu ingin menuduhkan sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak dalam posisi mengganggu stabilitas," ungkapnya.
Ia menyoroti juga pernyataan yang akan membawa ke ranah hukum. Menurutnya, respons semacam ini sudah berlebihan.
"Apalagi sampai ada pernyataan yang mau mempidanakan dengan dasar merusak kewibawaan, terkait dengan simbol negara ataupun mengganggu simbol nasional, dan seterusnya. Saya kira terlalu jauh, terlalu berlebihan, paranoid terkait dengan ekspresi kritis warga," lanjut Herlambang.
Pakar dari Fakultas Hukum UGM tersebut menekankan, ekspresi kritis warga seperti yang menjadi fenomena saat ini, merupakan legitimate (sah). Hal ini masih dalam bentuk ekspresi yang dilindungi oleh hukum, termasuk dalam Undang-Undang Dasar.
"Jadi sebaiknya, pemerintah tidak perlu panik, pemerintah tidak perlu paranoid, pemerintah tidak perlu membuat pernyataan yang intimidatif terhadap warga karena itu justru akan semakin menimbulkan ketidakpercayaan di ruang publik terhadap siapa yang memimpin hari ini di pemerintahan atau siapa yang harusnya bertanggung jawab atas realitas ketidakadilan yang terus menerus terjadi," tuturnya.
Herlambang turut menyayangkan tindakan penertiban yang telah dilakukan di lapangan. Misalnya di Tuban, bendera One Piece milik warga disita oleh aparat dan di Sragen, mural bergambar simbol One Piece diminta untuk dihapus.
Menurutnya, tindakan yang terjadi termasuk pelanggaran hukum atas ekspresi kritis warga negara. Ia menyebut, hukum justru mengarah ke arah represif.
"Tindakan itu tidak ada dasar hukumnya, dan justru menjelaskan aparat melakukan pelanggaran hukum dan bahkan menciderai hak konstitusional warga negara mengekspresikan kritik. Sangat disayangkan, dan hukum kita semakin dilemahkan oleh kepentingan politik hukum represif," pungkasnya.
(faz/nah)