Sejarah Dwifungsi ABRI, Ramai Dibahas Menyusul Rapat RUU TNI

ADVERTISEMENT

Sejarah Dwifungsi ABRI, Ramai Dibahas Menyusul Rapat RUU TNI

Novia Aisyah - detikEdu
Senin, 17 Mar 2025 09:30 WIB
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (kedua kiri) bersama Menteri Hukum Supratman Andi Agtas (kanan), Wakil Menteri Pertahanan Donny Ermawan (kedua kanan) dan Wakil Menteri Sekretaris Negara Bambang Eko Suhariyanto (kiri) saat menyampaikan paparan pada rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/3/2025). Rapat tersebut membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Menhan bahas RUU TNI dengan Komisi I DPR. Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI bersama Pemerintah membahas Revisi Undang-Undang (RUU) TNI di Hotel Fairmont, Jakarta pada Jumat (14/3/2025) hingga Sabtu (15/3/2025).

Dan kini tengah ramai di media sosial mengenai beredarnya video beberapa orang yang mengatasnamakan diri dari Koalisi Reformasi Sektor Keamanan memasuki rapat RUU TNI tersebut. Mereka meminta agar rapat tersebut dihentikan.

"Kami dari Koalisi Reformasi Sektor Keamanan pemerhati di bidang pertahanan, hentikan, karena tidak sesuai ini diadakan tertutup," ujar salah satu peserta aksi di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (15/3/2025), dikutip dari detikNews.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bapak-Ibu yang terhormat, yang katanya ingin dihormati, kami menolak adanya pembahasan di dalam, kami menolak adanya dwifungsi ABRI, hentikan proses pembahasan RUU TNI," sebutnya.

Menyusul, media sosial pun ramai membicarakan rapat tersebut hingga kemudian muncul pembahasan soal dwifungsi ABRI.

ADVERTISEMENT

Sejarah Dwifungsi ABRI

Konsep dwifungsi ABRI pada mulanya dilontarkan oleh AH Nasution dalam peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) pada 12 November 1958 di Magelang.

Istilah dwifungsi itu kemudian diperkenalkan pada rapat pimpinan Polri di Porong pada 1960, seperti disebutkan dalam buku Sistem Politik Indonesia Era Reformasi oleh Prof DR Budi Winarno, MA.

Dwifungsi adalah istilah yang digunakan untuk menyebut dua peran yang dikerjakan oleh militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi pembinaan wilayah atau masyarakat.

Menurut Nasution, TNI bukan sekadar alat sipil sebagaimana di negara-negara Barat dan bukan juga rezim militer yang memegang kekuasaan negara. Dwifungsi dinilai sebagai kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya.

Sementara, dikutip dari buku Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas XII SMA oleh Aim Abdulkarim, konsep yang diperkenalkan oleh AH Nasution ini disebut sebagai konsep "jalan tengah".

Penerapan konsep tersebut dalam penafsiran militer dan penguasa Orde Baru, mendapat landasan yuridis konstitusional dalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945.

Maka di bidang politik militer, TNI/Polri mendapat jatah di lembaga-lembaga politik DPR dan MPR melalui penunjukan dan pengangkatan. Sehingga, militer otomatis mendapat jatah keanggotaan di lembaga-lembaga tersebut tanpa melalui pemilihan umum.

Kondisi tersebut menunjukkan paradigma ketatanegaraan yang tidak lazim dalam negara demokrasi.

Tentangan Masyarakat pada Era Orde Baru

Pada era Orde Baru, pelaksanaan dwifungsi ABRI mendapatkan banyak tentangan mulai dari tokoh masyarakat, intelektual, mahasiswa, bahkan dari kalangan militer sendiri.

Pada 1977 muncul kritik dari Seskoad di Bandung yang merupakan lembaga pendidikan tertinggi di Angkatan Darat. Para perwira Seskoad menulis dokumen yang kemudian dikenal sebagai Seskoad Paper.

Dikutip dari buku Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004 tulisan Abdoel Fattah, Seskoad Paper intinya mendesak ABRI untuk menahan diri dari keberpihakan dalam pemilihan umum. Kertas ini juga menyarankan pimpinan ABRI untuk menjadikan ABRI sebagai kekuatan yang tidak berpihak kepada kelompok mana pun dalam masyarakat, tetapi tetap berdiri atas semua golongan (Jenkins 1984: x).

Kertas ini juga meminta ABRI memegang prinsip bahwa politik ABRI adalah UUD 1945, bukan politik kelompok. Pengkritik merujuk amanat Jenderal Soedirman yang menekankan bahwa UU Dasar Negara adalah asas dan politik tentara.

Sekelompok mantan perwira tinggi berpengaruh juga melakukan "pernyataan keprihatinan". Hal itu diumumkan pada 12 April 1978 oleh KSAD Jenderal Widodo.

Kritik Mahasiswa atas Dwifungsi ABRI

Antara 1974-1978, banyak mahasiswa melakukan aksi antipemerintah dan ABRI (Jenkins 1984: 263). Keberpihakan ABRI kepada Golkar pada waktu itu menyebabkan tentangan mahasiswa berlanjut.

Sekitar 1978, di Jakarta dan Bandung banyak mahasiswa memasang poster dan menulis kaosnya dengan kalimat "Kembalikan ABRI kepada Rakyat" (Salim Said 2001: 24). Mahasiswa bertindak demikian lantaran ABRI dinilai sudah jauh dari rakyat dan menjadi milik Soeharto dan Golkar, serta digunakan untuk membela kepentingan pribadi/golongan, bukan kepentingan rakyat.

Kritik dari mahasiswa atas dwifungsi ABRI berlanjut hingga jelang lengsernya Soeharto dan setelah itu.

Pada 20 Mei 1998, warga Universitas Gadjah Mada menuntut Soeharto mundur sebagai syarat reformasi dan menuntut "Kembalikan ABRI pada Rakyat", juga menolak segala tindakan kekerasan dalam perjuangan reformasi (Diro Aritonang 1999: 120).

Kongres mahasiswa Indonesia 1999 pun menetapkan visi reformasi, antara lain reformasi ke arah sistem demokratis harus ditandai dengan berakhirnya dwifungsi ABRI.

Di kampus-kampus terpajang poster "Dwifungsi ABRI harus berakhir".

Menurut mahasiswa, sistem demokratis tak akan terwujud jika dwifungsi ABRI tidak dihapuskan (Brosur Kongres Mahasiswa Indonesia 1999).




(nah/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads