Empat mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) menggugat Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 Mahkamah Agung, Jakarta. Mereka mengajukan judicial review atau uji materiil untuk mencegah kenaikan UKT akibat aturan tersebut.
Pengajuan judicial review tersebut dilakukan sebagai respons dari pembatalan kenaikan UKT dan IPI di PTN dan PTNBH tahun 2024 yang disebutkan dalam Surat Edaran Dirjen Diktiristek Nomor 0511/E/PR.07.04/2024. Adapun keempat mahasiswa itu ialah Al Syifa Rachman, Adam Surya Ananta, M. Machshush Bil 'Izzi, dan Fitria Amesti Wulandari.
"Jadi hari ini kami berempat sebagai mahasiswa FH UGM sekaligus pengurus HMI Hukum UGM kami mengajukan permohonan keberatan atas material terkait Permendikbudristek No. 2 tahun 2024 tentang SBO PT. Di mana seperti yang kita tahu adanya Permendik ini yang menyebabkan tingginya biaya kuliah," jelas Al Syifa Rachman kepada detikEdu di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (6/6/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui Permendikbudristek tersebut sudah dibatalkan. Namun, Syifa dan rekan-rekannya menyoroti masih adanya potensi kenaikan UKT di tahun depan atau masa mendatang.
"Karena peraturan ini masih dinyatakan berlaku, tidak dicabut," ujarnya.
Ketika ditanya mengenai proses permohonan, Syifa mengaku permohonan telah berhasil diterima tanpa kendala. Ia berharap agar Majelis Hakim bisa mempertimbangkan suara mereka.
"Tadi Alhamdulillah lancar semua, permohonan kami sudah kami daftarkan dan alhamdulillah tidak ada kendala, jadi semoga harapannya nantinya Yang Mulia Majelis Hakim bisa mempertimbangkan," tuturnya.
Poin Gugatan
Dalam gugatan tersebut, Syifa menjelaskan ada beberapa poin yang menjadi sorotan. Pertama mengenai penghitungan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Biaya Kuliah Tunggal (BKT).
Para mahasiswa menyoroti belum adanya perhitungan alokasi APBN untuk PTN atau mahasiswa.
"Sehingga harusnya mahasiswa ini tidak harus membayar UKT sebesar itu, tetap harus ada peran dari negara, peran dari pemerintah dalam pendidikan tinggi," jelasnya.
"Harusnya masyarakat ini kan sebagai peran kontribusi saja, bukan yang harus menanggung beban biaya pendidikan tinggi sepenuhnya seperti itu," imbuhnya.
Syifa juga menekankan jika UKT tidak lagi menyesuaikan ekonomi mahasiswa. Ia dan rekan-rekan menilai kebijakan ini bisa berdampak dalam penetapan UKT kedepannya.
"Lalu juga terkait IPI atau Iuran Pengembangan Institusi, kami juga menyoroti hal ini. Contohnya adalah adanya batas maksimal 4 kali BKT, jadi IPI itu bisa sama dengan 4 kali BKT. Dan itu menurut kami apa dasarnya seperti itu, kami mempertanyakan itu," paparnya.
Di akhir, Syifa dan rekan-rekan memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk menerima dan mengabulkan permohonan mereka untuk mencabut Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 itu.
"Karena apabila Permendikbud Ristek ini masih ada akan selalu ada kemungkinan biaya kuliah ini akan naik," pungkasnya.
(nir/nwk)