Empat mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) akan mengajukan judicial review atau uji materiil terhadap Permendikbudristek No 2 Tahun 2024 ke Mahkamah Agung (MA) pada Kamis (5/6/2024).
Pengajuan judicial review tersebut dilakukan sebagai respons dari pembatalan kenaikan UKT dan IPI di PTN dan PTNBH tahun 2024 yang disebutkan dalam Surat Edaran Dirjen Diktiristek Nomor 0511/E/PR.07.04/2024.
"Sebagai mahasiswa ini adalah salah satu isu yang paling dekat. Pas kita ngawal isu ini terus sampai akhirnya Pak Nadiem mengeluarkan surat edaran pembatalan, jujur awalnya itu cukup melegakan," tutur salah satu pengaju Al Syifa Rachman kepada detikEdu, Rabu (5/6/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Syifa, surat edaran tersebut hanya menunda kenaikan biaya kuliah. Hal tersebut dapat terkonfirmasi dari pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan bahwa UKT kemungkinan naik tahun depan.
Oleh sebab itu, ia bersama Adam Surya Ananta, Muhammad Machshush Bil Izzi, dan Fitria Amesti Wulandari memutuskan untuk menguji materiil Permendikbudristek tersebut untuk mencegah kenaikan di tahun mendatang.
Syifa menilai peraturan soal kenaikan UKT dan IPI di tahun depan seharusnya dicabut. Menurutnya, biaya kuliah yang tinggi sangat merugikan mahasiswa dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah.
"Tapi kalau kita telisik lebih jauh SE itu cuma pembatalan di tahun ini, jadi sepertinya ada kemungkinan ada kenaikan UKT di tahun depan, apalagi Permendikbud-nya itu enggak dicabut," tuturnya.
Pengajian Dilakukan Agar Permendikbud 2/2024 Tak Berkekuatan Hukum
Dalam keterangannya, Syifa menyebut pengajuan judicial review Permendikbud No 2 Tahun 2024 ini diusahakan supaya peraturan tak berkekuatan hukum. Jika demikian, maka kenaikan biaya pendidikan tinggi secara sepenuhnya bisa gagal tidak hanya tahun ini tapi juga tahun berikutnya.
"Setelah kita uji, kayaknya kita bisa melakukan uji materiil Permendikbudristek ini karena kalau kita nggaj mencoba lewat uji materiil sepertinya susah pemerintah ini khususnya Kemdikbud buat mencabut peraturannya," tegas Syifa.
Sebelumnya, permintaan pencabutan Permendikbudristek No 2 Tahun 2024 telah dilakukan oleh DPR. Namun, Syifa melihat kenyataan yang terjadi hanya penundaan.
"Padahal pas diundang ke DPR kemarin Pak Nadiem-nya, itu DPR minta ada revisi bahkan pencabutan SE juga. Tapi yang terjadi hanya pembatalan saja untuk tahun ini," ungkap Syifa kecewa.
Syifa juga mengungkap bahwa pengajuan ini merupakan bentuk respons moralnya sebagai mahasiswa hukum. Ia prihatin jika ke depannya mahasiswa baru harus membayar biaya kuliah yang mahal.
"Moral kita tergerak apalagi kami dengan kemampuan menengah ke bawah kan, jadi kami pikir bagaimana kalau keluarga-keluarga menengah bahkan yang bawah ini jadi enggak bisa kuliah karena adanya kebijakan ini," ungkapnya.
Proses menuju pengajuan judicial review ke MA ini menurutnya cukup menantang. Terlebih Syifa dan kawan-kawannya mengejar pengajuan bisa dilakukan saat momentum polemik UKT ini masih hangat.
"Karena waktu yang cukup singkat, jadi kami perlu nge-press pikiran juga untuk menggali celah terkait Permendikbudristek ini, bagian mana saja yang memang menyebabkan UKT dan IPI ini melambung tinggi," ujar Syifa.
Mewakili seluruh mahasiswa di Indonesia, Syifa berharap upayanya dapat membuahkan hasil yang baik. Ia berharap tak ada lagi alasan mahasiswa putus kuliah akibat biaya mahal.
"Kami berharap dengan uji materil ini Kemendikbud bisa mencabut peraturan ini atau seenggaknya merevisi sehingga tidak ada lagi kemungkinan biaya kuliah ini naik," pungkas Syifa.
(cyu/nwy)