Peringkat perguruan tinggi seringkali hanya menilai tingkat selektivitas kampus berdasarkan nilai dan skor tes standar. Sementara itu, peran perguruan tinggi dalam menyamakan peluang bagi mahasiswa minoritas, kelompok yang kurang terwakili, dan calon sarjana pertama di keluarganya justru tidak disorot.
Dalam makalah terbarunya di Journal of American Sociology, peneliti Christina Ciocca Eller mengatakan, pemeringkatan perguruan tinggi kini perlu mengukur dampak sebuah kampus terhadap lulusannya di berbagai kelompok mahasiswa. Sebab, pengalaman kuliah mahasiswa di AS saat sangat tidak setara berdasarkan latar belakang ras dan sosioekonominya.
Ia mencontohkan, mahasiswa kulit hitam, Latin, orang asli Amerika, dan yang berpenghasilan rendah punya peluang lebih kecil kuliah di perguruan tinggi elit dibandingkan dengan kelompok yang punya privilege. Mahasiswa dari kelompok yang kurang terwakili di kampus persaingan rendah ini juga berisiko tidak selesai kuliah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat Peran Perguruan Tinggi dalam Penyetaraan Peluang Mahasiswa
Penelitian Ciocca Eller juga membuat model pengukuran dampak perguruan tinggi pada penyetaraan peluang pendidikan mahasiswa dengan satu pendekatan. Ia menggunakan set data anonim sebuah perguruan tinggi negeri yang menerima sekitar 250 ribu mahasiswa per tahun.
Berdasarkan data set selama 20 tahun di PTN tersebut, ia membandingkan tingkat kelulusan di tiap fakultas, jurusan, dan demografi mahasiswa. Hasilnya akan dapat menunjukkan seberapa baik perguruan tinggi tersebut memengaruhi peluang lulus tiap kelompok mahasiswa dari latar belakang berbeda.
Dikutip dari The Harvard Gazette, penelitian ini merupakan yang pertama dalam menganalisis dampak penyetaraan peluang mahasiswa pada PTN nonelit. Kampus negeri nonelit sendiri menerima 85 persen mahasiswa se-Amerika Serikat. Ini artinya, PTN ini membuka kesempatan pendidikan tinggi jauh lebih banyak bagi calon mahasiswa dengan nilai tes masuk rata-rata.
Hasil penelitian Ciocca Eller menunjukkan perguruan tinggi memiliki efek signifikan dalam menyamakan peluang pendidikan. Dampak ini khususnya tampak pada siswa yang mungkin menghadapi hambatan ekonomi atau sosial.
Pada studinya, 9 dari 11 fakultas memiliki efek pemerataan yang kuat. Artinya, fakultas-fakultas ini berhasil mengurangi kesenjangan penyelesaian kuliah pada mahasiswa dari kelompok yang kurang terwakili dan mahasiswa yang terwakili dengan baik.
Di sisi lain, fakultas dengan banyak jurusan sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) punya dampak lebih rendah atas penyelesaian kuliah mahasiswanya. Ciocca Eller menegaskan, untuk mengatasinya, kampus harus bekerja lebih keras untuk memungkinkan mahasiswa yang kurang mampu dapat diterima dan tidak putus kuliah.
"Jangan sampai malah mengurangi proporsi mahasiswa di jurusan STEM," ucapnya.
Ciocca Eller berpendapat, pendekatan di atas dapat memberi gambaran yang lebih akurat tentang peran perguruan tinggi dalam mendorong kesetaraan dan kesuksesan mahasiswa, terlepas dari latar belakangnya. Menurutnya, pemeringkatan baru yang mempertimbangkan efek pemerataan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di dunia pendidikan tinggi.
Namun, untuk mencapai kesetaraan dan inklusi di dunia pendidikan tinggi, diperlukan usaha yang lebih besar. Perguruan tinggi perlu memperbaiki sistem secara menyeluruh, mulai dari penerimaan, beasiswa kuliah, dan dukungan setelah lulus.
Di samping itu, identifikasi hambatan mahasiswa dari berbagai latar belakang juga diperlukan. Contohnya seperti kurangnya akses terhadap dukungan akademik, kebutuhan biaya yang tidak terpenuhi, dan sebagainya. Dengan cara tersebut, perguruan tinggi dapat menjadi lebih inklusif dan bantu memastikan tiap mahasiswa punya peluang sukses yang sama.
(twu/twu)