Hibah Riset Australia-RI Senilai Rp 551 M, Apa yang Diteliti?

ADVERTISEMENT

Hibah Riset Australia-RI Senilai Rp 551 M, Apa yang Diteliti?

Trisna Wulandari - detikEdu
Selasa, 20 Feb 2024 18:01 WIB
Koneksi Connect 2
Koneksi Connect#2, Breaking Barriers: Women Leadership in Science and Research di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Selasa (20/2/2024). Foto: Australian Embassy Jakarta
Jakarta -

Kemitraan pengetahuan Australia-RI, Koneksi, menyediakan peluang kerja sama riset dan inovasi lembaga-lembaga di kedua negara lewat hibah riset kolaboratif. Diharapkan, hasil riset kolaboratif tersebut memicu kebijakan dan teknologi inklusif serta berkelanjutan.

Wakil Dubes Australia untuk Indonesia Steve Scott mengatakan program Koneksi 2023-2027 senilai AUD 50 juta (Rp 511 miliar) tersebut merupakan kerja sama Pemerintah Ausralia dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Scott menjelaskan, call for proposal tahun ini mengangkat topik transformasi digital di bidang kesehatan, energi, dan ketahanan pangan, termasuk ekonomi biru. 632 Pernyataan minat (EoI) dihasilkan dari pembukaan tahun ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelumnya pada 2023, pembukaan call for proposal perdana dengan topik perubahan iklim menghasilkan 613 EoI. Sebanyak 38 kemitraan riset terpilih yang melibatkan 111 organisasi, 87 asal Indonesia dan 24 asal Australia.

"Pada topik riset perubahan iklim, RI dan Australia berharap dapat lebih memahami langkah mitigasi dampak perubahan iklim untuk mengurangi konsekuensi yang dapat terjadi, kerja apa saja yang dapat bantu warga beradaptasi pada dampak perubahan iklim," kata Scott dalam rangkaian perayaan International Day of Women in STEM di Koneksi Connect#2, Breaking Barriers: Women Leadership in Science and Research di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Selasa (20/2/2024).

ADVERTISEMENT

Pada topik riset tahun ini, peneliti diharapkan mendukung kesiapan penyesuaian ekonomi kedua negara atas transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Hasil penelitian diharapkan juga memberi pengetahuan tentang teknologi, industri, dan energi terbarukan apa saja yang dapat dikolaborasikan.

Lebih lanjut, hasil riset transformasi digital diharapkan mendukung kesehatan dan ketahanan pangan yang lebih baik lewat implementasinya pada kebijakan pemerintah nantinya maupun inovasi sektor swasta, korporasi, maupun perusahaan inovator yang bisa dikomersialisasi.

Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial di Riset Australia-RI

Ia menjelaskan, program Koneksi juga berupaya membangun kapasitas para lembaga dalam kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI). Untuk itu, hibah riset Koneksi juga mensyaratkan kriteria GEDSI pada tim riset dan elemen penelitian sebanyak 25-30 persen.

"Perempuan dan kelompok marginal dapat diuntungkan dari pembangunan yang inklusif. Begitu pula soal perubahan iklim. Bagaimana caranya kita dapat memiliki kebijakan sehingga kelompok rentan tersebut tidak terdampak lebih lanjut akibat perubahan iklim dari kelompok yang tidak rentan," ucapnya.

Terkait pemberdayaan perempuan, ia mengaku optimis karena peneliti perempuan sebelumnya juga berdaya dengan proposal ajuannya tanpa ada kekhususan syarat untuk mendorong keterlibatannya di riset.

"Sebab, pendaftarnya sudah datang dengan aplikasi yang kuat. Tanpa memikirkan harus ada perempuan, perempuan yang lolos seleksi sudah mencapai 60%. Kami tidak khawatir soal gender," tuturnya.

"Namun, kami ingin memastikan para ilmuwan dari daerah yang kurang terbangun di timur Indonesia seperti NTT, Maluku Utara, Papua juga trlibat. Kami ingin daerah terpelosok juga terwakilkan, sehingga ketika kembali ke daerahnya, mereka bisa mendorong pembangunan di sana," sambung Scott.

Ia menambahkan, keterlibatan penyandang disabilitas juga penting dalam penelitian pembangunan.

"Disabilitas juga penting karena bukan berarti disabilitas kurang pintar dari yang nondisabilitas. Ketika mereka punya kesempatan yang sama untuk berpartisipasi, mereka sama pintarnya. Terkadang tantangannya adalah lebih mahal biayanya karena mereka kerap butuh pendamping untuk hidup di Australia, tetapi kami mendukungnya," ucap Scott.




(twu/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads